
Aerial views of Pargamanan Bintang Maria customary land, Simataniari Village, Humbang Hasundutan Regency. North Sumatra on June 5th, 2021
Pargamanan-Bintang Maria (20/03/22).Di hari Minggu yang baik ini, selain melaksanakan ibadah minggu seperti biasa, komunitas Masyarakat Adat (MA) Pargamanan-Bintang Maria juga melakukan partangiangan boni, atau mendoakan benih padi agar tumbuh baik dan membuahkan hasil yang maksimal. Ritual ini tentu bukan sebuah agenda gereja biasa, melainkan acara/ritual adat yang diadakan setiap tahun.
Pendeta GKLI Gilbert Simbolon menggunakan Mazmur 126 ayat 5-6 untuk mendoakan benih padi yang dibawa ibu-ibu ke depan gereja. “Ayat itu merupakan sebuah pengharapan, dimana apabila seseorang dengan sungguh-sungguh mengerjakan pekerjaannya (dalam hal ini menanam padi) dan masih dalam jalan yang benar dalam Kristus, pasti hasilnya juga akan diberkati olah Tuhan” ujarnya saat berbincang-bincang santai di kedai milik Op. Wasti, salah satu anggota komunitas Pargamanan-Bintang Maria.
Acara partangiangan boni biasanya menjadi acara tahunan di mana seluruh masyarakat komunitas MA Pargamanan-Bintang Maria berkumpul dan raja-raja adat menyampaikan kapan baiknya bersama-sama menanam bibit padi di sawah, dan lalu masyarakat akan serentak turun ke sawah. Hal ini dilakukan untuk tujuan baik, yaitu mengontrol hama.
“Kalau seperti sekarang, di mana masyarakat tidak lagi sejalan semuanya, hama seperti burung pipit dan tikus jadi tidak terkontrol karena masyarakat sudah tidak serentak lagi turun ke sawah. Sederhananya, kalau serentak kami turun sawah, hama hama seperti itu jadi terkontrol, karena padi itu akan sama-sama tumbuh, sama-sama matang, dan sama-sama panen, sehingga tikus dan burung pipit pasti lebih mudah untuk diatasi” cerita Eva Junita Lumbangaol, tokoh perempuan komunitas.

Bona taon dalam bahasa Indonesia berarti awal tahun, atau oleh masyarakat diartikan menjadi awal dalam mengerjakan sesuatu, yang dalam konteks ini adalah awal untuk menanam padi di sawah. Dalam acara inilah diumumkan jadwal kapan masyarakat turun ke sawah secara serentak.
Kegiatan bona taon memiliki ketuanya sendiri yang berbeda dari ketua komunitas. Ketua Bona tapn biasanya dipilih lima tahun sekali walaupun banyak juga yang belum selesai periodenya tapi sudah minta untuk diganti. Ketua bertugas untuk mengatur acara bona taon, dari persiapan teknis sampai kepada penyampaian keputusan raja-raja huta.
Di komunitas Pargamanan-Bintang Maria, Raja Huta yang dimaksud adalah marga Sitanggang dan Simbolon, termasuk juga Lumbangaol sebagai keluarga boru yang sama-sama membuka kampung di Pargamanan-Bintang Maria. Maka, keputusan kapan turun ke sawah ada di tangan mereka; ketua Bona Taon hanya menyampaikan ke masyarakat lainnya.
Walaupun sudah ada pergeseran budaya di komunitas ini, intisari dari Partangiangan boni dan bona taon memperlihatkan bahwa ritual adat seperti itu bukan hanya seremonial, namun benar-benar memiliki manfaat secara langsung bagi masyarakat yang menjalankannya.
Bukan hanya Partangiani Boni dan Bona Taun, segala elemen yang berkaitan dengan adat pastinya bukan sekedar seremonial, seperti hukum adat atas tanah yang mengatur secara rinci kepemilikan dan pengelolaan masyarakat adat terhadap tanahnya. Hukum Adat bukan sekedar simbol dan cerita-cerita belaka, namun terkait secara nyata dengan keberlangsungan hidup manusia, setidaknya bagi orang-orang yang masuk ke dalam komunitas tersebut.
“Omong kosong menghargai keragaman budaya, tapi sampai sekarang tidak ada pengakuan atas masyarakat adat” ujar Eva Junita Lumbangaol pada saat berdiskusi di Parapat (15/03), hendak menegaskan bahwa pengakuan sebagai masyarakat adat bagi komunitas yang berkonflik dengan kawasan hutan negara dan perusahaan mestinya bukan pengakuan seremonial atau simbol eksotisme keberagamaan budaya di Indonesia, tapi pengakuan yang terkait erat dengan hidup matinya manusia di dalamnya.
Hak Masyarakat Adat berkaitan dengan hubungan manusia dengan tanahnya, yang ditandai dengan adanya hukum adat dan perayaan seperti Partangiani Boni dan Bona Taun. Tentu bukan hanya padi-padi yang ada di sawah, namun juga hutan kemenyan yang dijaga oleh masyarakat melalui hukum adat.
Kemenyan atau masyarakat menyebutnya haminjon sudah lama menjadi komoditas primadona masyarakat Pargamanan-Bintang Maria dan Kecamatan Parlilitas secara lebih luas. Namun, semenjak Hutan digunduli dan digantikan oleh pohon Eukaliptus milik PT TPL, sedikit demi sedikit produksi haminjon berkurang dan bahkan satu tahun terakhir penurunannya sangat drastis.
“Tahun lalu, di tombak (hutan) tempat suami saya bekerja, satu hamparan tersebut dapat menghasilkan 60 kilo haminjon; namun terakhir, di tempat yang sama, haminjon yang keluar tinggal 20 kilo” cerita Eva Junita Lumbangaol. “Maka dari itu sebenarnya sekarang kami sedang sibuk mengerjakan sawah dan perkebunan kami” tambahnya.

Kenyataan ini tidak hanya dialami oleh keluarga ibu Eva, namun juga oleh kebanyakan petani kemenyan di Pargamanan-Bintang Maria. “Satu tahun terakhir, saya sampai tidak mengerjakan kemenyan saya lagi karena bila dihitung-hitung tidak menguntungkan lagi hasilnya” ujar Abed Nego Siregar, salah satu petani kemenyan yang baru mau memulai kembali untuk martombak (mengerjakan hutan kemenyan) pada tahun 2022 ini.
Sebelum tahun 2000 keadaannya sungguh berbeda. Saat itu satu keluarga dapat memperoleh 250 kg kemenyan tiap tahunnya. Namun semenjak masyarakat mengetahui pada tahun 2000 eukaliptus sudah merajalela di hutan sekitar mereka, produksi kemenyan mengalami penurunan. “Pada sekitar tahun 2005 kami baru sadar ada penurunan produksi yang nyata” jelas Rajes Sitanggang. Sampai sekarang produksi kemenyan terus mengalami penurunan, dan pada tahun 2021 masyarakat merasakan penurunan yang sangat drastis.
Sungguh ironis melihat komunitas MA Pargamanan-Bintang Maria saat ini dimiskinkan olehkerusakan alam, khususnya hutan Tele yang selama ini menjadi hulu dari air yang menjadi sumber kehidupan komunitas sudah menjadi lautan Eukaliptus. Hutan Tele berada jauh di atas ketinggian wilayah adat Pargamanan-Bintang Maria, sehingga air yang mengalir dari hulu membawa sisa zat-zat kimia yang digunakan untuk pemeliharaan pohon Eukaliptus. Selain itu pohon kemenyan tidak dapat tumbuh dengan baik apabila kualitas air dari hulu tidak sehat lagi.
Dahulu, kemenyan benar-benar ibarat emas bagi komunitas, di mana seluruh kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Guru Sekolah Dasar, Ama Clara Silalahi menceritakan bahwa sudah ratusan sarjana berasal dari Pargamanan-Bintang Maria, bahkan ada yang bergelar Doktor. “Dahulu banyak sekali anak dari desa ini yang menjadi juara umum di Humbang Hasundutan, dan ada ratusan sarjana yang seluruh biaya sekolahnya berasal dari tombak haminjon” ujarnya. “Mungkin sekarang prestasi anak anak SD menurun karena penghasilan keluarga tidak lagi seperti dahulu; makanan yang dihidangkan di rumahpun tidak sebaik dahulu, di mana anak-anak kita memperoleh makanan yang enak dan bergizi” tambahnya.
Op. Wasti Boru juga menceritakan bagaimana penghasilan haminjon mampu menyekolahkan ke-enam anaknya hingga sarjana. “Iya, semua biaya pendidikan anak-anak dari haminjon, karena dahulu kami dapat menjual haminjon setiap minggu” jelasnya.
Saat berdiskusi di rumah ketua komunitas, kami secara sederhana menghitung kerugian yang dialami keluarga petani kemenyan semenjak hutan alam Tele menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) Sektor Tele. Menurut keluarga Rajes Sitanggang dan keluarga Ama Clara Silalahi, dahulu (2005) paling sedikit satu keluarga memproduksi 250 kg, dengan harga pada waktu itu per kilogramnya sebesar Rp 90.000 hingga Rp 120.000 (sekitar Rp 22.500.000 per tahun). Sekarang, walaupun harganya Rp 250.000 sampai Rp 300.000, produksi satu tahunnya hanya 50 Kg (sekitar Rp 12.500.000 per tahun).
Namun kurs rupiah sebelum tahun 2005 berbeda dengan tahun 2022. Sebagai acuan pengukuran, sebelum tahun 2005, harga satu kaleng beras adalah Rp. 30.000, sedang sekarang senilai Rp 150.000. Artinya, kenaikan 5 kali lipat. Jika memakai harga beras ini sebagai patokan, seharusnya harga kemenyan juga naik 5 kali lipat. Maka jika penghasilan mereka di masa dulu dihitung dengan kurs rupiah saat ini, penghasilan yang mereka dapat dalam satu tahun mencapai Rp 112.500.000. Bayangkan perbedaan interval harga tersebut dibandingkan dengan penghasilan yang mereka dapatkan sekarang. Maka, sejak eukaliptus ada di hutan Tele, masyarakat merugi Rp 100.000.000 per tahun.
Hitung-hitungan sederhana ini memperlihatkan secara sederhana ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Pargamanan-Bintang Maria. Dahulu sebelum Eukaliptus datang, masyarakat dapat memprediksi naiknya debit air sungai Simonggok, dan dapat mempersiapkan diri kalau perlu memindahkan lokasi persawahannya. Sekarang, bencana seperti banjir tidak dapat diprediksi lagi. Burung palma yang berasal dari laut dan dulu secara rutin bermigrasi ke hutan Tele dan Pargamanan-Bintang Maria, sekarang sudah semakin enggan untuk bertengger karena sudah tidak ada lagi makanan bagi mereka di hutan Tele.
Komunitas seakan dipaksa untuk melupakan masa jayanya, dan menatap masa depan yang tidak pasti semenjak perusahaan datang ke pekarangan rumah mereka. Maka dari itu, mereka menganggap penting dan wajib memperjuangkan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat dan Wilayah Adat. Hutan Adat, Hukum Adat, Partiangan Boni, dll bukan hanya seremonial dan ajang unjuk gigi, namun benar-benar berkaitan dengan hidup dan matinya mereka. Tanah leluhur mereka sudah harus segera diakui oleh negara.**