Perempuan adalah pengatur perekonomian rumah tangga. Para bapak memberikan penghasilan kepada ibu, lalu para Ibu bertugas sebagai bendahara atau pengelola keuangan. Perempuan dituntut agar mampu mengelola keuangan dengan arif dan bijaksana. Para ibu bukan hanya memikirkan kebutuhan dapur tetapi juga pendidikan dan masa depan anak. Pemenuhan hal-hal di atas dianggap sebagai tanggungjawab perempuan. Setidaknya, begitulah tradisi di Masyarakat Adat Si Ria-Ria pada tahun 1970-an.
Selain sebagai identitas, tanah bagi perempuan adat Si Ria-Ria adalah juga sumber mata pencaharian. Sebagaimana petani, mereka menggantungkan hidupnya pada tanah Si Ria-Ria yang subur dan tombak haminjon (hutan kemenyan) yang memberikan getah berlimpah. Namun, secara tiba-tiba hadir pihak-pihak yang hendak merampas tanah mereka. Kemudian, mereka mulai kebingungan memikirkan cara untuk makan dan menyekolahkan anak jika tanah dirampas. Perempuan adalah pihak yang paling banyak merasakan dampak perampasan ruang hidup ini. Perampasan ruang hidup benar-benar memukul perempuan. Inilah yang mendorong perempuan untuk berada di baris terdepan dalam memperjuangkan tanah adatnya.
Saya berkesempatan bercerita dengan para perempuan adat sekaligus demonstran pada tahun 1979. Mereka berjalan kaki dari Si Ria-Ria menuju Tarutung dan menerima kriminalisasi dari aparat karena memperjuangkan wilayah adat Si Ria-Ria. Dari puluhan kaum ibu yang turut berjuang pada masa itu, tinggal beberapa orang saja yang masih hidup, itu pun sudah ada yang pikun.
Tindakan represif pemerintahan Orde Baru akan selalu membekas. Tanpa bermaksud membuka luka lama, saya tetap berpendapat bahwa sejarah memang harus dituliskan. Kebetulan, para perempuan adat yang saya wawancarai dengan senang hati menceritakan kronologi kejadian pedih tersebut dan sepakat cerita mereka dipublikasikan. Saya jadi memahami bagaimana pada saat-saat itu perempuan sama sekali tidak diperhatikan oleh negara.
Negara sebut tanah adat sebagai kawasan hutannya
Pada tahun 1963, wilayah adat Si Ria-Ria diklaim negara sebagai kawasan untuk pelaksanaan program reboisasi seluas kurang lebih 2.500 hektar. Setelah itu, pihak kehutanan mulai menanami wilayah adat dengan pohon pinus. Tanpa negosiasi, negara dengan fasihnya menyebut wilayah tersebut sebagai kawasan hutan lindung.
“Mereka tanami pinus di hutan kemenyan, di ladang hingga ke perkampungan kami; kemudian kami cabuti pinus tersebut sebagai bukti kami tidak sepakat terhadap program penghijauan (reboisasi). Berulang kali mereka menanam, kami selalu cabut hingga akhirnya mereka menangkap kepala kampung dan wakil kepala kampung kami pada tahun 1979”, Ujar Op. Dipson Boru Lumban Gaol.
Kepala Kampung (Kepala Desa) Si Ria-Ria saat itu bernama Boni Siregar dan wakilnya bernama Jamedan Siregar. Mereka berdua dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan dicintai masyarakat. Itu sebabnya para ibu rela berjuang menjemput keadilan. Menurut pengakuan para ibu, kepala kampung dan wakil kepala kampung mereka ditangkap, disiksa hingga ditelanjangi di Kantor Koramil. Setidaknya itulah cerita yang mereka dapatkan.
“Kami bersembunyi di semak-semak hingga kelaparan; kami membuat timbunan yang tinggi agar tentara dan polisi tidak melihat kami; kami tidak ingin ditangkap karena memperjuangkan tanah leluhur; saat itu saya baru saja keguguran; bidan desa pun saat itu tidak ada untuk merawat saya. Pedih sekali saat-saat itu”, Ucap Op. Paulus Boru Lumban Batu.
Di saat yang sama pula, aparat berdatangan ke Si Ria-Ria untuk menangkap sebanyak-banyaknya masyarakat. Siapa saja yang dianggap melakukan pemberontakan dibawa dan dipenjarakan. Segala macam teror dilakukan untuk membuat masyarakat takut. Tidak sedikit pula masyarakat yang diintimidasi, disiksa dan diancam. Masyarakat Si Ria-Ria tidak ingin terus-menerus dibelenggu rasa takut. Para ibu memutuskan untuk melakukan demonstrasi dengan tuntutan agar kepala kampung dan wakilnya dibebaskan serta wilayah adat Si Ria-Ria dikeluarkan dari Kawasan Hutan Negara.
Perempuan adat yang berani
“Berkumpullah kami para ibu-ibu untuk melakukan demonstrasi ke Kantor Camat Dolok Sanggul dan Kantor Koramil. Saat itu, semua kaum bapak bersembunyi di tombak (hutan); ada yang pergi ke daerah lain hanya untuk melindungi diri. Kami membawa air minum dan bekal kami sendiri untuk kami nikmati di jalan jika kelelahan berjalan kaki. Intinya kami tidak boleh pulang sebelum permasalahan mendapat titik terang”, kata Op. Dipson.
Berjalan kaki berjam-jam, tidak sedikit hambatan yang mereka diterima, mulai dari ditertawakan orang hingga direpresi oleh aparat. Namun, saat tiba di tempat tujuan, mereka memperoleh informasi bahwa tahanan sudah dipindahkan ke Tarutung. Kemudian, para ibu pulang ke Si Ria-Ria berjalan kaki dengan penuh rasa kecewa.
Demonstrasi ini tidak berjalan sesuai harapan masyarakat adat Si Ria-Ria. Seperti biasa, aparat selalu melakukan tindak kekerasan bagi masyarakat yang hendak menuntut keadilan. Massa demonstran dibubarkan. Lalu, dengan keberanian yang tersisa, seorang ibu bernama Nai Timanur Boru Lumban Gaol mengambil paksa sebuah senjata laras panjang yang digunakan aparat untuk mengintimidasinya. Perampasan senjata dari tangan polisi tersebut dilakukan untuk membuktikan bahwa para perempuan itu tidak takut pada segala ancaman terhadap mereka. Perampasan senjata itu terjadi tepat di jalan aspal Si Risi-Risi, beberapa menit setelah polisi menembakkan peluru ke langit.
“Ke bola mataku ini tembakkan peluru itu; saya sudah siap mati untuk tanah kami”, ucapnya dengan lantang saat itu. Kemudian ia merebut senjata tersebut dan membawanya pulang ke Si Ria-Ria. Saat itu pula lima orang ibu ditangkap. Mereka dipenjara dan disiksa hingga salah satu dari mereka mengalami keguguran.
“Nai Japutar (Si Gurdung), Nai Jujur, Nai Ensas, Nai Timanur, Nai Minar ditunjangi anggota Koramil. Mereka dipukuli hingga berlumuran darah”, Ujar Op. Marta Boru Tampubolon. “Sekarang ini mereka semua sudah meninggal dunia”, katanya lagi.
Keesokan harinya, anggota Koramil datang beramai-ramai ke Si Ria-Ria dengan tujuan menakut-nakuti, lalu mencoba bernegosiasi dengan masyarakat Si Ria-Ria agar senjata yang diambil dari aparat sehari sebelumnya dikembalikan dengan imbalan pembebasan kepala kampung dan wakilnya. Namun, aparat negara mengingkari janjinya. Setelah senjata tersebut dikembalikan, masyarakat justru menerima kriminalisasi yang semakin masif dan tahanan yang dijanjikan akan dibebaskan dilupakan begitu saja. Kemarahan para perempuan adat Si Ria-Ria tidak dapat dibendung lagi. Mereka memutuskan untuk menjemput keadilan ke Tarutung.
“Kami berangkat dari Si Ria-Ria pukul 6 pagi dan tiba di Tarutung pukul 4 sore. Berjalan kaki selama 10 jam, kami tidak diizinkan membeli air minum sebab para polisi mengancam para penjaga warung agar tidak memberikan dagangannya untuk kami beli. Punya uang tetapi tidak bisa kami gunakan, sehingga kami terpaksa menahan haus dan lapar”, ucap Op. Marta kepada saya sambil sesekali mengusap air matanya.
Para ibu berjalan kaki sejauh 70 km. Seperti pada demonstrasi sebelumnya, mereka juga kerap direpresi di tengah jalan. Mereka dipaksa pulang oleh aparat, diawasi sepanjang jalan, hingga diancam akan dibunuh. Tetapi, semua upaya yang dilakukan oleh aparat untuk menghalangi para ibu selalu gagal. Ketertindasan yang dialami masyarakat adat atau dalam hal ini perempuan adat muncul karena negara mengabaikan eksistensi mereka. Negara sejatinya hadir untuk melindungi rakyatnya, namun sejak awal, negara justru menjauhkan diri dari perempuan adat Si Ria-Ria.
Gayung pun bersambut. Berita mengenai perlawanan perempuan di Tano Batak mulai menjadi perbincangan yang hangat di tingkat nasional kala itu. Para jurnalis mulai meliput kejadian tersebut hingga Menteri Sudomo dan Gubernur Sumatera Utara, EWP Tambunan, akhirnya turun tangan. Tahanan dibebaskan dan Bupati Tapanuli Utara mengeluarkan SK No.138/Kpts/1979 tentang Pengakuan Tanah Adat Penduduk Si Ria-Ria atas areal Sigende, Parandalimanan, Parhutaan, Adian Padang dan Sipiuan seluas 794,6 hektar.
Kemenangan perempuan adat Si Ria-Ria kala itu sangat perlu diapresiasi. Sebagai pihak yang paling sering diabaikan dan pihak yang paling banyak menerima dampak dari kebijakan pemerintah, perempuan adat Si Ria-Ria telah mengambil peran yang penting dalam memperjuangkan wilayah adatnya.
Setelah menerima SK Pengakuan Tanah Adat, Masyarakat Adat Si Ria-Ria kala itu melakukan syukuran atas kemenangan yang diperoleh. Kegiatan tersebut juga dilakukan untuk menyampaikan penghormatan bagi perempuan-perempuan adat Si Ria-Ria yang rela berlumur darah demi memperjuangkan ruang hidup bersama.
‘Ditipu’ lagi oleh Negara
Puluhan tahun sejak perjuangan yang sangat traumatis itu, masyarakat adat Si Ria-Ria mengelola tanahnya dan memperoleh hasil. Kemudian, sekitar tahun 2020, Program Food Estate dicanangkan di Si Ria-Ria. Penataan batas tanah mulai dilakukan. Kemudian pada tahun 2021, panitia tata batas kawasan hutan melakukan tata batas di Desa Si Ria-ria. Hasil dari kegiatan tata batas tersebut cukup mengejutkan masyarakat adat karena sebagain besar wilayah adat masuk dalam kawasan hutan negara berdasarkan SK.579/Menhut–II/2014 yang ditetapkan tanggal 24 Juni 2014.
Mengingat telah adanya SK tersebut, masyarakat adat merasa kaget dan kecewa dengan hasil tata batas Kawasan Hutan yang dilakukan pada Agustus 2021 tersebut.
“Jahat sekali Negara ini; tanah adat Sigende masuk lagi ke dalam kawasan hutan padahal tahun 1979 sudah dibebaskan”, keluh Op. Dema Boru Lumban Gaol.
Tanah milik Masyarakat Adat Si Ria-Ria dibagi menjadi Calon Pengelola dan Calon Lahan (CPCL) untuk Program Food Estate masyarakat Parsingguran I. Setelah itu, masyarakat Si Ria-Ria menelesuri lahan tersebut dan ternyata di lokasi tersebut ada tiga pamflet Kelompok Tani Hutan (KTH), yaitu KTH Makmur, KTH Siboan Tua, dan KTH Parona. Kemudian, masyarakat adat bersama KSPPM melakukan pemetaan partisipatif. Mereka kembali terkejut mengetahui bahwa luas wilayah adat mereka sebenarnya adalah 5939,462 hektar. Masyarakat Adat Si Ria-Ria sebagai pewaris tanah tersebut selama lebih dari 15 generasi telah sepakat untuk memperjuangkan seluruh wilayah adatnya.
Perempuan adat Si Ria-Ria mulai menunjukkan diri. Sejarah akan terulang. Perempuan akan berada di baris terdepan dan mengambil andil yang besar dalam perjuangan. Kegelisahan mengenai ketidakpastian hak atas wilayah adatnya mulai terlihat. Kemarahan-kemarahan kecil pun sudah tidak mampu disembunyikan lagi. Perempuan-perempuan ini sudah mulai mengorganisir diri dengan membentuk Lembaga Perempuan Adat. Mereka sepakat untuk melanjutkan perjuangan orang tuanya puluhan tahun yang lalu. Kelembagaan Perempuan Adat ini akan digunakan sebagai wadah perjuangan dan cikal bakal kemerdekaan perempuan.**