ksppm
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa
Donation
No Result
View All Result
en English id Indonesian
ksppm
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa
Donation
No Result
View All Result
en English id Indonesian
ksppm
Donation
Banjir Bandang Di Baktiraja dan Kerusakan Hutan Di Hulu Aek Silang
  • Oleh:
  • Dion Pardede
  • •
  • 24 November 2023
Banjir Bandang Di Baktiraja dan Kerusakan Hutan Di Hulu Aek Silang
Reading Time: 4 mins read
A A

“Hanya Kebaikan Tuhan yang Menyelamatkan Kami”, tanggapan beberapa warga yang terdampak banjir bandang di Baktiraja mensyukuri selamatnya mereka dari bencana ekologis yang terjadi pada Selasa, 14 November 2023 lalu di kampung mereka.

Hujan yang turun sejak pagi, membuat warga yang baru bangun dari tempat tidurnya tidak bisa berbuat banyak selain menanti hujan reda. Bukannya reda, tapi hujan semakin deras dan debit sungai Aek Silang semakin tinggi, sekitar pukul 10.00 WIB air sudah mulai merendam jalan-jalan desa. Sungai Aek silang meluap. Mengingatkan warga pada peristiwa banjir bandang 2017 lalu.

Ada empat desa yang terdampak banjir di lembah Bakkara, yaitu Desa Marbun Tonga Dolok (Martodo), Desa Marbun Toruan, Desa Siunong-Unong Julu (Sinju) dan Desa Simamora. Banjir yang merupakan bencana ekologis ini berdampak pada kerusakan pemukiman dan persawahan. Dari hasil pemantauan tim KSPPM, puluhan hektar sawah mengalami kerusakan. Selain persawahan, rumah yang tersebar di Dusun I Kompleks GBI, Dusun II Kompleks Gereja HKBP, Desa Marbun Tonga, Marbun Dolok, Dusun III Marbun Toruan, Siunong Unong Julu ikut terdampak.

Baca Juga

DPRD Simalungun Gelar Rapat Pansus Bahas Banjir Parapat, TPL Disebut Sebagai Penyebab Utama.

Nestapa Buruh Harian Lepas dalam Sistem yang Dikendalikan

Beberapa rumah bahkan terendam sampai tidak bisa ditinggali lagi.

“Ini rumah di depan saya, tergenang air dan lumpur. Total lumpur yang dibersihkan setelahnya ada sebanyak dua mobil pickup” ujar Op. Elisa Lumban Gaol, salah satu warga Desa Martodo.

Op. Elisa masih sedikit beruntung, karena rumahnya tidak sampai terendam karena posisinya yang lebih tinggi dari jalan desa. Walau ia dan keluarganya pun tidak bisa keluar rumah karena dikelilingi genangan air.

Foto: Op. Elisa Lumbangaol. doc. ksppm-2023

“Hanya kebaikan Tuhan yang membuat kami selamat, kalau tidak mungkin semua air dari Aek Silang sudah turun ke sini dan seluruh Desa akan terendam” pungkasnya.

Hal itu disampaikannya, karena ternyata pada saat Aek Silang meluap, salah satu bendungan di Tombak Sulu Sulu jebol tembok pembatasnya. Jebolnya tembok ini membuat konsentrasi luapan air tidak hanya ke Desa Martodo, melainkan dialirkan ke aliran sungai lain yang sudah sempat kering.

Dampak lebih parah bisa mereka bayangkan, dan fakta jebolnya tembok bendungan mau tidak mau membuat mereka sedikit mensyukuri yang mereka alami.

Sementara penduduk Desa Siunong Unong Julu, menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir, bencana banjir terjadi sebanyak dua kali. Sebelum kejadian ini, banjir pernah terjadi pada tahun 2020. Namun tidak pernah separah ini, apa lagi sampai dapat disebut Banjir Bandang.

“Kami tidak tahu pasti kenapa belakangan banjir bandang melanda, 25 tahun saya telah hidup di kampung kami ini, belum pernah sebelumya terjadi banjir separah ini. Tapi kami tahu, di dekat hulu, di Hutagalung memang ada penebangan, jadi air pun tidak ada lagi yang menahan. Mungkin juga karena pembangunan bendungan (PLTA)”, terang salah seorang ibu.

Warga Desa Martodo lainnya tidak hanya mengalami dampak banjir pada kediaman, tetapi juga areal sawahnya. Salah seorang warga bermarga Marbun mengalaminya. Sekitar 5 petak sawahnya terendam air saat banjir dan tertimbun pasir, lumpur, dan bebatuan yang membuatnya tidak mungkin ditanami lagi.

Lagi-lagi mereka tetap bersyukur, karena mereka bisa membayangkan dampak yang lebih besar. Di samping fakta bahwa konsentrasi luapan air terbagi, banjir juga terjadi hanya beberapa hari sebelum mereka melakukan penanaman. Sebagaimana disampaikan seorang Ibu Boru Purba, bahwa kalau semua luapan air sungai dari hulu terkonsentrasi ke arah Desa mereka, mungkin semua areal sawah akan batal ditanami.

“Baiknya Tuhan itu, air itu dibuat terbagi. Coba kalau tidak, bisa-bisa kami batal marsuan (menanam padi), harus mulai rendam bibit dari awal lagi, atau malah tidak bisa menanam apa-apa karena sawah ditimbun batu semua” ujarnya sembari tersenyum.

Bencana ekologis ini tidak bisa tidak dikaitkan dengan kerusakan ekosistem di hulu Sungai Aek Silang. Selain PLTA yang kaitannya perlu dikaji lebih lanjut, perlu dicermati pula kondisi Hutan Produksi serta wilayah Konsesi Perkebunan Eukaliptus di Sektor Tele.

Hal ini mencermati pernyataan dalam konferensi pers pihak perusahaan Toba Pulp Lestari, menanggapi bencana ekologis banjir bandang di Sihotang. Ia mengakui, bahwa Daerah Tangkapan Air TPL mengalir ke arah barat daya (Aek Silang) dan barat laut (Lau Renun). Kerusakan hutan yang terjadi di DAS Aek silang sejak kehadiran perusahaan tersebut tidka bisa dipungkiri, di mana hutan-hutan alam yang tadinya menjadi hulu Aek Silang tepatnya di Kecamatan Pollung saat ini hampir seluruhnya berubah menjadi tanaman monokultur eukaliptus.

Artinya, ada hubungan antara aktivitas perkebunan tersebut dengan bencana ekologis yang terjadi di Kecamatan Bakti Raja dan daerah hilir Sungai Aek Silang. Fakta tersebut harus dicermati serius oleh pemangku kepentingan khususnya pembuat kebijakan untuk mengevaluasi izin-izin perusahaan yang berkontribusi merusak hutan dan lingkungan di Kawasan Danau Toba.  Jika tidak mengambil langkah cepat, bisa jadi ke depan kita akan lebih sering memanen bencana daripada memetik nikmatnya kesejahteraan.

“Kalau sudah begini, rakyat kecil yang paling besar kerugiannya. Sementara yang menyebabkannya adalah kerjaan orang-orang kaya dan pemerintah” tutup Op. Elisa Lumban Gaol. ***

Oleh: Josua Sihite, Dion Pardede

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Dion Pardede
  • atau artikel terkait
  • Berita, Humbahas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Sebelumnya

Wilayah Adat, Kehadiran Negara, dan Kedaulatan Masyarakat Adat

Artikel Berikutnya

Laporan Investigasi Banjir Bandang: Desa Simangulampe, Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan-Sumatera Utara

Banjir Bandang Di Baktiraja dan Kerusakan Hutan Di Hulu Aek Silang
  • Oleh:
  • Dion Pardede
  • •
  • 24 November 2023
Reading Time: 4 mins read
A A

“Hanya Kebaikan Tuhan yang Menyelamatkan Kami”, tanggapan beberapa warga yang terdampak banjir bandang di Baktiraja mensyukuri selamatnya mereka dari bencana ekologis yang terjadi pada Selasa, 14 November 2023 lalu di kampung mereka.

Hujan yang turun sejak pagi, membuat warga yang baru bangun dari tempat tidurnya tidak bisa berbuat banyak selain menanti hujan reda. Bukannya reda, tapi hujan semakin deras dan debit sungai Aek Silang semakin tinggi, sekitar pukul 10.00 WIB air sudah mulai merendam jalan-jalan desa. Sungai Aek silang meluap. Mengingatkan warga pada peristiwa banjir bandang 2017 lalu.

Ada empat desa yang terdampak banjir di lembah Bakkara, yaitu Desa Marbun Tonga Dolok (Martodo), Desa Marbun Toruan, Desa Siunong-Unong Julu (Sinju) dan Desa Simamora. Banjir yang merupakan bencana ekologis ini berdampak pada kerusakan pemukiman dan persawahan. Dari hasil pemantauan tim KSPPM, puluhan hektar sawah mengalami kerusakan. Selain persawahan, rumah yang tersebar di Dusun I Kompleks GBI, Dusun II Kompleks Gereja HKBP, Desa Marbun Tonga, Marbun Dolok, Dusun III Marbun Toruan, Siunong Unong Julu ikut terdampak.

Baca Juga

DPRD Simalungun Gelar Rapat Pansus Bahas Banjir Parapat, TPL Disebut Sebagai Penyebab Utama.

Nestapa Buruh Harian Lepas dalam Sistem yang Dikendalikan

Beberapa rumah bahkan terendam sampai tidak bisa ditinggali lagi.

“Ini rumah di depan saya, tergenang air dan lumpur. Total lumpur yang dibersihkan setelahnya ada sebanyak dua mobil pickup” ujar Op. Elisa Lumban Gaol, salah satu warga Desa Martodo.

Op. Elisa masih sedikit beruntung, karena rumahnya tidak sampai terendam karena posisinya yang lebih tinggi dari jalan desa. Walau ia dan keluarganya pun tidak bisa keluar rumah karena dikelilingi genangan air.

Foto: Op. Elisa Lumbangaol. doc. ksppm-2023

“Hanya kebaikan Tuhan yang membuat kami selamat, kalau tidak mungkin semua air dari Aek Silang sudah turun ke sini dan seluruh Desa akan terendam” pungkasnya.

Hal itu disampaikannya, karena ternyata pada saat Aek Silang meluap, salah satu bendungan di Tombak Sulu Sulu jebol tembok pembatasnya. Jebolnya tembok ini membuat konsentrasi luapan air tidak hanya ke Desa Martodo, melainkan dialirkan ke aliran sungai lain yang sudah sempat kering.

Dampak lebih parah bisa mereka bayangkan, dan fakta jebolnya tembok bendungan mau tidak mau membuat mereka sedikit mensyukuri yang mereka alami.

Sementara penduduk Desa Siunong Unong Julu, menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir, bencana banjir terjadi sebanyak dua kali. Sebelum kejadian ini, banjir pernah terjadi pada tahun 2020. Namun tidak pernah separah ini, apa lagi sampai dapat disebut Banjir Bandang.

“Kami tidak tahu pasti kenapa belakangan banjir bandang melanda, 25 tahun saya telah hidup di kampung kami ini, belum pernah sebelumya terjadi banjir separah ini. Tapi kami tahu, di dekat hulu, di Hutagalung memang ada penebangan, jadi air pun tidak ada lagi yang menahan. Mungkin juga karena pembangunan bendungan (PLTA)”, terang salah seorang ibu.

Warga Desa Martodo lainnya tidak hanya mengalami dampak banjir pada kediaman, tetapi juga areal sawahnya. Salah seorang warga bermarga Marbun mengalaminya. Sekitar 5 petak sawahnya terendam air saat banjir dan tertimbun pasir, lumpur, dan bebatuan yang membuatnya tidak mungkin ditanami lagi.

Lagi-lagi mereka tetap bersyukur, karena mereka bisa membayangkan dampak yang lebih besar. Di samping fakta bahwa konsentrasi luapan air terbagi, banjir juga terjadi hanya beberapa hari sebelum mereka melakukan penanaman. Sebagaimana disampaikan seorang Ibu Boru Purba, bahwa kalau semua luapan air sungai dari hulu terkonsentrasi ke arah Desa mereka, mungkin semua areal sawah akan batal ditanami.

“Baiknya Tuhan itu, air itu dibuat terbagi. Coba kalau tidak, bisa-bisa kami batal marsuan (menanam padi), harus mulai rendam bibit dari awal lagi, atau malah tidak bisa menanam apa-apa karena sawah ditimbun batu semua” ujarnya sembari tersenyum.

Bencana ekologis ini tidak bisa tidak dikaitkan dengan kerusakan ekosistem di hulu Sungai Aek Silang. Selain PLTA yang kaitannya perlu dikaji lebih lanjut, perlu dicermati pula kondisi Hutan Produksi serta wilayah Konsesi Perkebunan Eukaliptus di Sektor Tele.

Hal ini mencermati pernyataan dalam konferensi pers pihak perusahaan Toba Pulp Lestari, menanggapi bencana ekologis banjir bandang di Sihotang. Ia mengakui, bahwa Daerah Tangkapan Air TPL mengalir ke arah barat daya (Aek Silang) dan barat laut (Lau Renun). Kerusakan hutan yang terjadi di DAS Aek silang sejak kehadiran perusahaan tersebut tidka bisa dipungkiri, di mana hutan-hutan alam yang tadinya menjadi hulu Aek Silang tepatnya di Kecamatan Pollung saat ini hampir seluruhnya berubah menjadi tanaman monokultur eukaliptus.

Artinya, ada hubungan antara aktivitas perkebunan tersebut dengan bencana ekologis yang terjadi di Kecamatan Bakti Raja dan daerah hilir Sungai Aek Silang. Fakta tersebut harus dicermati serius oleh pemangku kepentingan khususnya pembuat kebijakan untuk mengevaluasi izin-izin perusahaan yang berkontribusi merusak hutan dan lingkungan di Kawasan Danau Toba.  Jika tidak mengambil langkah cepat, bisa jadi ke depan kita akan lebih sering memanen bencana daripada memetik nikmatnya kesejahteraan.

“Kalau sudah begini, rakyat kecil yang paling besar kerugiannya. Sementara yang menyebabkannya adalah kerjaan orang-orang kaya dan pemerintah” tutup Op. Elisa Lumban Gaol. ***

Oleh: Josua Sihite, Dion Pardede

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Dion Pardede
  • atau artikel terkait
  • Berita, Humbahas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Sebelumnya

Wilayah Adat, Kehadiran Negara, dan Kedaulatan Masyarakat Adat

Artikel Berikutnya

Laporan Investigasi Banjir Bandang: Desa Simangulampe, Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan-Sumatera Utara

Related Articles

DPRD Simalungun Gelar Rapat Pansus Bahas Banjir Parapat, TPL Disebut Sebagai Penyebab Utama.

DPRD Simalungun Gelar Rapat Pansus Bahas Banjir Parapat, TPL Disebut Sebagai Penyebab Utama.

29 April 2025
Nestapa Buruh Harian Lepas dalam Sistem yang Dikendalikan

Nestapa Buruh Harian Lepas dalam Sistem yang Dikendalikan

8 April 2025
Pimpinan DPRD Taput:  PT TPL harus menghentikan aktivitas di Wilayah Adat Onan Harbangan

Pimpinan DPRD Taput: PT TPL harus menghentikan aktivitas di Wilayah Adat Onan Harbangan

3 Februari 2025
Demi Pendudukan yang Terorganisir: Bona Taon Komunitas Golat Naibaho 2025

Demi Pendudukan yang Terorganisir: Bona Taon Komunitas Golat Naibaho 2025

3 Februari 2025
Tanah dan Kehidupan: Transformasi Strategi Perjuangan Masyarakat Adat dengan Inisiatif DaMaRA dalam Bona Taon Komunitas Golat Simbolon

Tanah dan Kehidupan: Transformasi Strategi Perjuangan Masyarakat Adat dengan Inisiatif DaMaRA dalam Bona Taon Komunitas Golat Simbolon

3 Februari 2025
Surat Petani Food Estate Ria-Ria kepada Pemerintah di Jakarta

Surat Petani Food Estate Ria-Ria kepada Pemerintah di Jakarta

27 Januari 2025

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. Pada tahun 1984, pendahulu kami sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia…Selengkapnya 

  • Girsang 1, Kec. Girsang Sipangan Bolon, Kab. Simalungun - Parapat, Sumatera Utara 21174
  • pksppm@yahoo.com
  • +0625 42393
Facebook Instagram X-twitter Youtube

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. Pada tahun 1984, pendahulu kami sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia…Selengkapnya 

  • Girsang 1, Kec. Girsang Sipangan Bolon, Kab. Simalungun - Parapat, Sumatera Utara 21174
  • pksppm@yahoo.com
  • +0625 42393
Facebook Instagram X-twitter Youtube
© Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat - KSPPM. All Rights Reserved.
Home
Home
Buletin
Buletin
Channel
Channel
Explore
Explore
No Result
View All Result
en English id Indonesian
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa