Sungguh rumit menggambarkan perasaan para korban banjir bandang di Kenegerian Sihotang. Upaya mereka untuk meminta pertanggungjawaban negara pasca bencana ekologis tersebut tidak berbuah hasil sebanding aspirasi. Sempat timbul harapan oleh banyaknya perhatian di beberapa hari pasca bencana, kini mereka dipertontonkan fakta setengah hatinya tanggung jawab negara.
Disangka panas sampai petang, rupanya hujan di tengah hari.
Mereka bukannya tidak resah, malah mereka sadar betul bahwa ada tanggung jawab negara yang harus ditagih. Karena itulah pada 4 Desember 2023 , mereka melakukan aksi di Kantor Bupati Samosir. Di sana, mereka menyampaikan beberapa tuntutan.
Massa aksi menuntut paling tidak tiga hal; Bupati merekomendasikan pencabutan izin usaha PT. Toba Pulp Lestari (TPL) ke presiden, pemerintah dan TPL memulihkan ekosistem hutan Sitonggitonggi, dan ganti kerugian dari TPL. Yang disanggupi Bupati dari tuntutan pertama adalah memohon pembentukan tim independen oleh Gubernur untuk melakukan investigasi penyebab bencana dan evaluasi izin. Itupun hingga kini tidak dilakukan.
Praktis, banjir bandang yang terjadi pada 13 November 2023 lalu ditanggungjawabi setengah hati oleh pemerintah. Di tingkat kabupaten, bantuan sosial yang diterima oleh para korban hanya berupa sembako selama sekitar sebulan pasca banjir. Setelahnya, tanggung jawab hanya diterjemahkan melalui pengerahan alat berat untuk pemulihan sawah pada 24 Januari 2024. Itupun, melalui operator diketahui bahwa alat berat hanya dapat digunakan selama 5-7 hari, tidak ada target pemulihan lahan yang spesifik.
Di tingkat provinsi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah menyediakan tenda darurat untuk sekolah, dan bantuan-bantuan standar mitigasi lainnya. Terakhir, hanya tenda darurat yang masih berdiri mewakili tanggung jawab pemerintah. Di Desa Siparmahanan, TK dan SMP masih melaksanakan proses belajar-mengajar di tenda darurat tersebut.
Warga Sihotang harus melakukan pemulihan pasca bencana sendiri. Mereka membersihkan kediamannya, memecah dan memindahkan material banjir, merenovasi rumah, dan beradaptasi dengan kondisi pasca bencana. Salah satu warga yang kehilangan rumah dan anggota keluarganya, memanfaatkan material bencana untuk membangun ulang kediamannya. Mereka memulihkan dirinya sendiri.
Janji para pejabat di setiap kunjungannya sempat menghadirkan harapan bahwa segala kerugian akan ditanggungjawabi negara. Tetapi apa mau dikata, sampai kini upaya pemulihan oleh pemerintah tidak cukup signifikan bahkan terbilang setengah hati.
Bukan hanya dalam pemulihan, tanggung jawab negara untuk melakukan upaya pencegahan bencana juga tampak tidak serius. Tentu warga mengapresiasi pemulihan tanggul sungai di Batu Rahas, Desa Siparmahanan oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera Utara. Tanggul dibangun sepanjang 300 m dengan tinggi bronjong 9 m. Namun ini tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Pemulihan tanggul akan meminimalisir dampak meluapnya sungai sewaktu-waktu, namun apa yang membuat sungai meluap? Ini tampaknya tidak dipertimbangkan sebagai upaya pencegahan bencana.
Fakta bahwa Kenegerian Sihotang berada di hilir sungai harusnya cukup bagi pemerintah untuk melakukan investigasi ke areal hulu yang dikelilingi hutan Sitonggitonggi. Namun tidak dilakukan, dan akhirnya justru dilakukan sendiri oleh warga.
Hasil investigasi inilah yang membuat tuntutan warga Kenegerian Sihotang untuk mencabut izin TPL di Sektor Tele menjadi amat berdasar. Betapa tidak? Di areal hulu, aktivitas bisnis perkebunan inilah yang memungkinkan luapan air yang menyebabkan banjir bandang. Melalui pemantauan kamera drone terlihat bahwa sisa hutan dihitung dari hulu hingga garis ujungnya hanya sekitar 1 Km.
Bayangkan, bagaimana mengharapkan hutan berluasan tersebut untuk mencegah luapan air jika intensitas hujan sedang tinggi-tingginya. Apalagi, hutan yang tersisa itu langsung berbatasan dengan wilayah konsesi TPL Sektor Tele, tepatnya di Huta Galung. Sebagaimana perkebunan monokultur, maka penebangan besar-besaran adalah wajib pada saat pemanenan.
Menurut warga, luasan areal penebangan mencapai ribuan hektare. Pemantauan kamera drone juga menunjukkan bahwa ada ‘panen raya’ di Huta Galung.
Dari fakta-fakta itu saja, mudah dipahami bahwa aktivitas TPL berkelindan erat dengan bencana ekologis yang terjadi.
Namun, ada yang lebih menjengkelkan. Sebagian kawasan yang ditebangi masuk dalam areal hutan lindung berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 8088 tahun 2018. Artinya, selain bisnis yang dibiarkan legal oleh pemerintah melalui izin usaha, rangkaian bencana ini juga diiringi pelanggaran hukum oleh TPL.
Artinya, sebetulnya sangat beralasan jika pemerintah daerah maupun pusat mengevaluasi, bahkan mencabut izin usaha TPL. Tanpa menafikan kerugian lain yang ditimbulkannya, kontribusi TPL atas terjadinya bencana ekologis adalah sangat besar. Dan untuk mengambil kebijakan untuk mengendalikan pengurasan sumber daya alam adalah tanggung jawab negara dalam melindungi rakyatnya.
Hendaknya pemerintah tidak memahami penanggulangan bencana secara sempit. Karena secara normatif pun, UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan penanggulangan bencana meliputi penetapan kebijakan atas pembangunan dengan risiko bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
UU tersebut bahkan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk melakukan perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya. Bencana ekologis Sihotang harusnya dipandang sebagai indikasi kuat bahwa eksploitasi sumber daya alam telah melebihi kemampuan alam. Artinya, pemerintah bisa menggunakan wewenang ini sebagai dalil untuk mencabut izin usaha TPL.
Maka harusnya mudah dipahami, tanpa upaya pencegahan, serangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah pasca bencana tidak bisa disebut penanggulangan bencana. Jangankan di pencegahan yang sama sekali tidak dilakukan, tanggap darurat dan rehabilitasi pun dilakukan setengah hati. Bahkan dengan wewenang yang sudah diatur secara normatif, pemerintah tidak melaksanakannya. Apa yang terjadi di Sihotang bukan soal kapasitas atau profesionalisme pejabat publik. Lebih dari itu, ini adalah wujud ketidakberpihakan.
Kenegerian Sihotang bukan hanya belum pulih, mereka juga dihantui trauma. Trauma oleh bencana, trauma oleh pembiaran negara.