Bayangkan Danau Toba. Bayangkan sebuah danau mengelilingi tujuh kabupaten. Bayangkan berapa banyak jiwa yang hidup di sekelilingnya.
Kemudian bayangkan dalam rangka menyelamatkannya, diperlukan kebijakan pembatasan manusia – masyarakat lokal – untuk hidup. Bermukim, bertani, hingga beternak dibatasi bahkan dilarang.
Sampai di sini, persetujuan beberapa pembaca atas kebijakan ini akan sangat dimaklumi. Tentu ada pertimbangan keberlanjutan, keamanan hidup, dan perlindungan lingkungan.
Tetapi dalam kebijakan yang sama, sebenarnya melindungi ruang hidup bukanlah semangat utuhnya. Di saat yang sama dengan pembatasan aktivitas hidup masyarakat lokal, ada ketentuan yang memungkinkan aktivitas tertentu seperti pariwisata, dan berlangsungnya bisnis ekstraksi alam lainnya.
Maka layak ditanyakan; inikah kebijakan untuk melindungi Danau Toba, atau malah pengkavlingan untuk melindungi pemodal?
Kebijakan dan Peraturan Sempadan Danau Toba Berpotensi Menggusur dan Merampas Ruang Hidup Masyarakat Lokal
Secara normatif, definisi dan ketentuan tentang sempadan danau dapat ditemukan di berbagai peraturan. Di antaranya Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba & Sekitarnya, Permen PUPR No. 28 Tahun 2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Danau, hingga di tingkat lokal yakni Perda Samosir No. 3 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Samosir.
Keseluruhan peraturan tersebut memang satu paket. Status Kawasan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan Danau Prioritas Nasional memberi ruang sentralisasi kebijakan. Dalam Perpres Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba, sudah diamanatkan bahwa seluruh Peraturan Daerah tentang RTRW harus disesuaikan dengan Perpres tersebut.
Kesemua peraturan ini secara selaras mendefinisikan sempadan danau adalah luasan lahan yang mengelilingi dan berjarak tertentu dari tepi badan danau yang berfungsi sebagai kawasan pelindung danau. Garis sempadan danau ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima) meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.
Peraturan-peraturan ini juga memberlakukan penetapan garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana terdiri atas: sungai besar dengan luas daerah aliran sungai lebih besar dari 500 (lima ratus) Km2; dan sungai kecil dengan luas daerah aliran sungai kurang dari atau sama dengan 500 (lima ratus) Km2.
Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 100 (seratus) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
Peraturan ini benar-benar menganggap kawasan daratan di sekeliling Danau Toba sebagai satu kesatuan yang harus dilindungi. Jika seandainya ia diatur dan dilaksanakan dengan pertimbangan ruang hidup masyarakat lokal, cita-cita perlindungan wajib didukung. Untuk itu seharusnya dipastikan rakyat yang berdomisili di sekitar sempadan danau atau sungai itu berpartisipasi dalam merumuskan pengaturan dan tata kelola sempadan danau atau sungai tersebut.
Tetapi faktanya tidak demikian. Hingga kini masih banyak masyarakat di sekitar sempadan danau dan sungai yang tidak tahu menahu aturan ini, bahkan belum pernah mendengarnya. Sudah tidak dilibatkan dalam perumusan, mereka juga tidak terinformasi dengan maksimal terkait peraturan. Sulit untuk sekadar membayangkan implementasi kebijakan ini akan berlangsung tanpa perampasan tanah yang memicu letusan konflik agraria.
Apalagi terdapat larangan-larangan yang jika berkaca pada fakta lapangan akan terlihat potensi konfliknya. Pertama, meski permukiman tidak sepenuhnya dilarang, namun pada tahap implementasi, nantinya rumah-rumah yang berdiri di kawasan sempadan danau dan sungai akan masuk dalam status quo dalam data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Artinya, meski tidak serta merta digusur, namun masyarakat lokal tidak dapat lagi melakukan penataan atas wilayah mereka, termasuk. Bahkan, potensi penggusuran masih ada mengingat peraturan ini memungkinkan ‘pengendalian jika diperlukan’. Hal ini tertuang dalam Pasal 20 ayat (1) Permen PUPR No. 5/PRT/M/2015.
Larangan lainnya meliputi; mengubah letak tepi danau, membuang limbah, menggembala ternak, dan mengubah aliran air masuk atau ke luar danau.
Mengapa berpotensi merampas ruang hidup? Pertama, masih banyak komunitas adat yang memang sudah menetapkan wilayah tertentu sebagai parhutaan (permukiman), termasuk anak-cucu dan para perantau. Pelarangan menambah bangunan hunian, sama saja mengobrak-abrik tatanan ruang dan relasi sosial yang terajut.
Kemudian, larangan beternak dan membuang limbah (apakah termasuk limbah pertanian – pupuk, dll.). Sudah luas diketahui bahwa mayoritas penduduk di kawasan Danau Toba, khususnya daerah sempadan danau dan sungai adalah peternak dan petani. Apalah artinya larangan-larangan ini selain merampas ruang hidup?
Peraturan yang Diskriminatif: Lagi-lagi Pariwisata dan Ruang Investasi
Paket kebijakan dan peraturan ini tidak hanya mengatur larangan, namun juga menjabarkan pemanfaatan yang diizinkan. Kegiatan yang diizinkan salah satunya adalah pariwisata, beserta infrastruktur pendukungnya.
Pada pokoknya, keseluruhan paket kebijakan dan regulasi ini memiliki potensi ekslusi yang amat besar. Ketimpangan kuasa ekonomi politik memainkan peran penting dalam politik tata ruang setelahnya.
Penetapan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sendiri adalah wujud intervensi hegemoni terhadap politik tata ruang hingga perburuan tanah di Danau Toba. Negara memainkan peranan penting untuk menyediakan ruang-ruang penyuntikan kapital baru bagi elite lokal, nasional, bahkan global.
Ini mudah dipahami mengingat ruang-ruang pariwisata terdahulu sudah terlanjur sempit. Kita bisa melihat praktik pembukaan ruang penyuntikan kapital dilakukan secara vulgar seperti di Sigapiton dengan Kaldera-The Nomadic Escape, atau yang sudah cukup lama berlangsung di Tuktuk, Tomok, Huta Ginjang dan beberapa destinasi wisata lain di Kawasan Danau Toba yang kini menjadi alas berdirinya hotel-hotel dan bisnis penyangga pariwisata lainnya.
Meski pariwisata selalu dijanjikan akan merangsang pertumbuhan ekonomi yang akan dirasakan oleh masyarakat lokal, faktanya tidak selalu demikian. Pembentukan ruang untuk investasi pariwisata kerap memicu konflik agraria yang tentu saja sulit dimenangkan masyarakat lokal.
Kini, tidak berlebihan untuk waspada. Karena implementasi peraturan dan kebijakan ini bersifat sentralistik, maka ia bisa berlangsung dan efektif sekejap mata. Tanpa tunggu, tanpa tapi. Lebih-lebih gelagat pejabat publik nasional sudah menampilkan birahinya akan pembangunan pariwisata Danau Toba secara lebih jor-joran, termasuk ditampilkan oleh pejabat yang juga putra daerahnya; Luhut Binsar Pandjaitan.
Kuasa ekonomi-politik berkat relasi bisnis pejabat dengan pengusaha dan juga paket kebijakan dan regulasi yang memihak investasi memang sudah dirancang untuk ‘menang’. Untuk itu kuasa negara akan dikerahkan dengan segala daya upaya mengimplementasikan Peraturan dan kebijakan sempadan danau dan sungai tersebut. ***