eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nKarena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nBagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nMasih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nBerangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nSampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nMereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus <\/em>mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus<\/em>. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus<\/em>.<\/p>\n\n\n\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nHarapan masyarakat adat Keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu, megajukan wilayah adat mereka sebagai lokasi transmigrsi, agar merasakan manisnya buah pembangunan, sepertinya semakin kabur. Janji-janji pembangunan tak kunjung muncul, selanjutnya wilayah mereka malah dijadikan konsesi PT TPL.<\/p>\n\n\n\n
Mereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus <\/em>mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus<\/em>. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus<\/em>.<\/p>\n\n\n\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nNasib Masyarakat Adat: Setali Tiga Uang dengan nasib transmigran<\/strong><\/p>\n\n\n\nHarapan masyarakat adat Keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu, megajukan wilayah adat mereka sebagai lokasi transmigrsi, agar merasakan manisnya buah pembangunan, sepertinya semakin kabur. Janji-janji pembangunan tak kunjung muncul, selanjutnya wilayah mereka malah dijadikan konsesi PT TPL.<\/p>\n\n\n\n
Mereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus <\/em>mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus<\/em>. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus<\/em>.<\/p>\n\n\n\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n <\/figure>\n\n\n\nNasib Masyarakat Adat: Setali Tiga Uang dengan nasib transmigran<\/strong><\/p>\n\n\n\nHarapan masyarakat adat Keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu, megajukan wilayah adat mereka sebagai lokasi transmigrsi, agar merasakan manisnya buah pembangunan, sepertinya semakin kabur. Janji-janji pembangunan tak kunjung muncul, selanjutnya wilayah mereka malah dijadikan konsesi PT TPL.<\/p>\n\n\n\n
Mereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus <\/em>mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus<\/em>. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus<\/em>.<\/p>\n\n\n\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nSikap pemerintah kabupaten yang terkesan lepas tangan dengan mengatakan tidak lagi ada data yang tersimpan tersebut, menurut Pak Hariansyah, Komisoner Mediasi dan Kordinator Subkomisi Penegakan HAM, merupakan bentuk pengabaian. Harusnya pemerintah mencari solusi dan melakukan pendataan ulang.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nNasib Masyarakat Adat: Setali Tiga Uang dengan nasib transmigran<\/strong><\/p>\n\n\n\nHarapan masyarakat adat Keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu, megajukan wilayah adat mereka sebagai lokasi transmigrsi, agar merasakan manisnya buah pembangunan, sepertinya semakin kabur. Janji-janji pembangunan tak kunjung muncul, selanjutnya wilayah mereka malah dijadikan konsesi PT TPL.<\/p>\n\n\n\n
Mereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus <\/em>mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus<\/em>. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus<\/em>.<\/p>\n\n\n\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n\u201cHarusnya pemerintah mencari solusi terkait persoalan kami ini, bukan membebankan kehilangan data kepada kami, sehingga nasib kami terus menggantung\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
Sikap pemerintah kabupaten yang terkesan lepas tangan dengan mengatakan tidak lagi ada data yang tersimpan tersebut, menurut Pak Hariansyah, Komisoner Mediasi dan Kordinator Subkomisi Penegakan HAM, merupakan bentuk pengabaian. Harusnya pemerintah mencari solusi dan melakukan pendataan ulang.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nNasib Masyarakat Adat: Setali Tiga Uang dengan nasib transmigran<\/strong><\/p>\n\n\n\nHarapan masyarakat adat Keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu, megajukan wilayah adat mereka sebagai lokasi transmigrsi, agar merasakan manisnya buah pembangunan, sepertinya semakin kabur. Janji-janji pembangunan tak kunjung muncul, selanjutnya wilayah mereka malah dijadikan konsesi PT TPL.<\/p>\n\n\n\n
Mereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus <\/em>mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus<\/em>. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus<\/em>.<\/p>\n\n\n\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nPihak pemerintah malah meminta data pada masyarakat transmigrasi. Jika pemerintah sendiri yang harusnya memiliki tata kelola administrasi yang baik kehilangan data, apalagi masyarakat transmigran, yang harus bergulat dengan segudang persoalan di daerah transmigrasi.<\/p>\n\n\n\n
\u201cHarusnya pemerintah mencari solusi terkait persoalan kami ini, bukan membebankan kehilangan data kepada kami, sehingga nasib kami terus menggantung\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
Sikap pemerintah kabupaten yang terkesan lepas tangan dengan mengatakan tidak lagi ada data yang tersimpan tersebut, menurut Pak Hariansyah, Komisoner Mediasi dan Kordinator Subkomisi Penegakan HAM, merupakan bentuk pengabaian. Harusnya pemerintah mencari solusi dan melakukan pendataan ulang.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nNasib Masyarakat Adat: Setali Tiga Uang dengan nasib transmigran<\/strong><\/p>\n\n\n\nHarapan masyarakat adat Keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu, megajukan wilayah adat mereka sebagai lokasi transmigrsi, agar merasakan manisnya buah pembangunan, sepertinya semakin kabur. Janji-janji pembangunan tak kunjung muncul, selanjutnya wilayah mereka malah dijadikan konsesi PT TPL.<\/p>\n\n\n\n
Mereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus <\/em>mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus<\/em>. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus<\/em>.<\/p>\n\n\n\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus <\/em>dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.<\/p>\n\n\n\nMasyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.*** (Delima Silalahi<\/strong>)<\/p>\n","post_title":"Masyarakat di Janji Maria Yang Terabaikan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-di-janji-maria-yang-terabaikan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-03-18 15:58:30","post_modified_gmt":"2022-03-18 08:58:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1010","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nTak puas dengan jawaban Dinas Transmigrasi Kabupaten Toba, mereka pun pergi melaporkan nasib mereka ke BPN Provinsi pada Desember 2021 lalu. Pihak BPN sudah datang ke lokasi namun hanya melakukan pengukuran. Belum ada apapun berita baik terkait dengan hasil kunjungan mereka ke desa mereka.<\/p>\n\n\n\n
Pihak pemerintah malah meminta data pada masyarakat transmigrasi. Jika pemerintah sendiri yang harusnya memiliki tata kelola administrasi yang baik kehilangan data, apalagi masyarakat transmigran, yang harus bergulat dengan segudang persoalan di daerah transmigrasi.<\/p>\n\n\n\n
\u201cHarusnya pemerintah mencari solusi terkait persoalan kami ini, bukan membebankan kehilangan data kepada kami, sehingga nasib kami terus menggantung\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
Sikap pemerintah kabupaten yang terkesan lepas tangan dengan mengatakan tidak lagi ada data yang tersimpan tersebut, menurut Pak Hariansyah, Komisoner Mediasi dan Kordinator Subkomisi Penegakan HAM, merupakan bentuk pengabaian. Harusnya pemerintah mencari solusi dan melakukan pendataan ulang.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nNasib Masyarakat Adat: Setali Tiga Uang dengan nasib transmigran<\/strong><\/p>\n\n\n\nHarapan masyarakat adat Keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu, megajukan wilayah adat mereka sebagai lokasi transmigrsi, agar merasakan manisnya buah pembangunan, sepertinya semakin kabur. Janji-janji pembangunan tak kunjung muncul, selanjutnya wilayah mereka malah dijadikan konsesi PT TPL.<\/p>\n\n\n\n
Mereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus <\/em>mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus<\/em>. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus<\/em>.<\/p>\n\n\n\n\u201cAda sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus <\/em>di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi\u201d, kata Pak Tumpan Pasaribu.<\/p>\n\n\n\n\u201cBukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja\u201d, kata Haposan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
\u201cSaya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan\u201d, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. \u201cKarena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. \u201cKami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin\u201d, kata Pak Jono.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019\u201d, Kata Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.<\/p>\n\n\n\n
\u201cPemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar\u201d, jelas Pak Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan. <\/p>\n\n\n\n
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893\/Menlhk-PSKL\/PKTHA\/PSL.1\/12\/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nHarapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM<\/strong><\/p>\n\n\n\nPemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.<\/p>\n\n\n\n
\u201cKami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak\/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami\u201d, harap Pak Marojahan Sitanggang.<\/p>\n\n\n\n
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus<\/em>, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman