“Program Ketahanan Pangan yang akan dikembangankan harus menjadikan petani lokal berdaulat atas tanah dan produksinya”
Dolok Sanggul (27/01/2021), dijadikannya kabupaten Humbang Hasundutan sebagai areal pengembangan program Ketahanan Pangan Nasional melahirkan banyak perdebatan. Banyak informasi simpang-siur akibat kurangnya sosialiasi dan konsultasi dengan pihak pihak yang berpotensi terdampak khususnya terkait dengan status kepemilikan tanah dan dampaknya pada lingkungan. Oleh karena itu perlu dibangun diskusi-diskusi yang melibatkan banyak pihak sehingga masyarakat umum mendapatkan informasi yang lengkap terkait program ini.
Melihat isu ini sangat penting, KSPPM dan AMAN Tano Batak menyelenggarakan seminar “Peluang dan Tantangan Masyarakat Adat Mempertahankan Tanah Adatnya Di Tengah Program Pengembangan Food Estate di Kabupaten Humbang Hasundutan” di Dolok Sanggul.
Halomoan Manullang, Dinas Lingkungan Hidup Humbang Hasundutan, mewakili Bupati Humbang Hasundutan menjelaskan perkembangan pembangunan program Food Estate, luas lahan, peta, dan lokasinyadi kabupaten Humbang Hasundutan. Terkait ini, Halomoan menjelaskan bahwa program Food Estate berbeda dengan program Ketahanan Pangan. Keberatan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta atas masuknya sebagian wilayah adat mereka menjadi areal Food Estate, Halomoan menegaskan bahwa tidak ada satu meter pun areal wilayah adat yang diajukan menjadi areal Food Estate. Pemkab Humbang Hasundutan hanya mengajukan areal Ketahanan Pangan sesuai dengan SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 tentang Adendum ke-8 PT. TPL.
“Sedangkan, areal yang diajukan untuk program Food Estate (FE)berada APL seluas 4000 Ha. Tahap awal akan dikerjakan seluas 1000 Ha, dan saat ini ada 215 Ha yang sudah dikerjakan di desa Siria – ria”, kata Halomoan.
“Pemkab Humbang Hasundutan punya marwah, SK wilayah adat yang sudah dikeluarkan akan tetap dipertahankan” tegas Halomoan membantah adanya dugaan bahwa Pemkab Humbang Hasundutan mengajukan areal wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta menjadi areal Food Estate.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam paparannya menerangkan bahwa program Food Estate jika dikaji lebih luas bisa jadi merupakan bentuk perampasan baru. “Mengutip catatan akhir tahun KPA, banyaknya letusan konflik agraria sepanjang tahun 2020 diakibatkan oleh banyaknya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang salah satunya program Food Estate. Program yang muncul akibat adanya krisis pangan pada masa pandemi yang sedang dialami oleh negara saat ini. Adanya krisis pangan yang sedang melanda membuat pemerintah dengan cepat untuk memberikan izin kepada investor demi terealisasinya program FE ini. Sementara masyarakat adat sangat sulit mempertahankan tanah adatnya, dan mereka yang adalah mayoritasnya adalah petani dipaksa keadaan menjadi buruh di tanah sendiri”, papar Dewi.
Dewi Kartika memberikan poin penting bahwa kedaulatan pangan tercapai jika Reforma Agraria dijalankan.
Senada dengan Dewi, Prof . Posman Sibuea, guru besar Universitas Katolik St. Thomas Medan, juga menegaskan Food Estate harus memastikan petani menjadi tuan di tanahnya sendiri dan bukan sebaliknya. Prof. Posman Sibuea juga menyoroti tentang potensi terjadinya degradasi lingkungan sehingga perlu perhatian khusus dari Pemkab Humbahas. Jika tidak, program Food Estate akan mengulang kisah gagal program serupa di masa lalu, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah, Papua, Ketapang dan Bulungan. “Kedaulatan petani menjadi solusi bagi permasalahan pangan di Indonesia di masa mendatang bukan melahirkan green-capitalism”, tegas Prof. Posman.
Sedikit berbeda dari narasumber sebelumnya, Poltak Purba, anggota DPRD kab. Humbang Hasundutan, berpendapat bahwa program Food Estate adalah anugerah bagi Humbang Hasundutan yang diidamkan oleh kabupaten lainnya. Karena pasti dampak positifnya lebih besar daripada dampak buruknya. Sebagai wakil rakyat dia juga bersedia dan terbuka untuk menerima keluhan masyarakat terkait dengan implementasi program ini.
Seminar yang diikuti 100 peserta (25 online & 75 hadir secara langsung) mendapatkan respon yang sangat beragam, ada yang menanggapi dengan optimis, pesimis, dan tidak sedikit yang masih bingung terkait skema kepemilikan lahan, permodalan, dan hubungan dengan para investor.
Menyikapi respon yang beragam, Roki Pasaribu, selaku moderator mengingatkan bahwa kritik terhadap program ini bukan berarti anti-pembangunan, namun kritik dan masukan yang ada untuk memperbaiki system pembangunan yang lebih baik ke depannya.
Oleh: Sintia & Kristina