Pada Sabtu, 13 Agustus 2022, saya berkunjung ke salah satu Kelompok Tani (KT) yang didampingi oleh KSPPM, yaitu KT Serumpun di Desa Salaon Tonga-tonga, Kecamatan Ronggur Ni Huta, Kabupaten Samosir. Sama seperti KT lainnya yang didampingi oleh KSPPM, KT Serumpun memiliki diskusi tematis sebagai salah satu programnya. Diskusi tematik ini biasanya dilakukan setiap bulannya. Tema diskusi disesuaikan dengan kebutuhan kelompok.
Hari itu, cuaca cukup bersahabat, tidak begitu panas seperti hari-hari sebelumnya. Sembari menunggu anggota KT lainnya yang sedang dalam perjalanan, saya bersama anggota KT yang sudah hadir berdiskusi terkait program kelompok yang akan dilakukan pada September. Henrika Sitanggang, seperti biasanya dengan tatapan mata yang tajam, mengatakan, “KT sebagai tempat belajar dan tempat untuk saling bertukar pikiran harus kita manfaatkan. Kita bisa melakukan apapun yang sesuai dengan kemampuan kita. Kita, misalnya bisa melakukan Pertanian Selaras Alam (PSA) bersama-sama, Kita bisa membuat kompos padat bersama-sama setiap bulan, atau bahkan setiap dua minggu. Soalnya, kita selalu membutuhkan kompos untuk pertanian.” ungkapnya dengan semangat.
Henrika masih melanjutkan. “Kita juga menghadapi persoalan lain berupa naiknya harga pupuk. Sementara itu, harga hasil pertanian juga tidak menentu. Ada baiknya program PSA ini berkelanjutan di KT kita. Pertanian Selaras Alam banyak manfaatnya bagi kita, selain dampak ekonomi, mengurangi ketergantungan ke kimia, kita juga ikut ambil bagian dalam menjaga bumi ini”.
Ama Christian, salah satu anggota KT yang juga hadir menyampaikan permasalahan lain. Dengan ekspresi wajah yang datar, laki-laki paruh baya tersebut mengatakan, “Iya, apalagi perubahan iklim ini sudah sangat terasa, mudah-mudahan hujan turun hari ini. Sudah begitu lama hujan tidak turun; tanaman sudah kekeringan. Tanaman jagung misalnya, sudah banyak yang gagal panen. Bahkan untuk kebutuhan dapur, kami sudah harus membeli air”, jelasnya sambil memandang jauh keluar dari jendela rumah Batak tempat kami melakukan pertemuan.
Anggota KT lainnya menjelaskan bahwa musim kemarau sudah terjadi sejak Maret lalu di desa mereka. Bahkan, sejak Juni hingga Agustus terjadi kemarau berkepanjangan, hujan tidak turun sama sekali. Banyak petani terancam gagal panen, tidak hanya di desa Salaon Tonga-tonga, tetapi juga di desa tetangga, seperti: Desa Salaon Dolok, Salaon Toba, Aeknauli, Sijambur serta desa lainnya di Kecamatan Ronggur Nihuta.
Ama Christian juga mengatakan bahwa mereka harus mengeluarkan uang Rp150.000,- untuk membeli air satu balteng (tangki air) dengan kapasitas 1.000 liter untuk minum dan masak untuk seminggu.
Saya teringat diskusi saya dengan Ama Rolita dari KT Beta Hita, Desa Salaon Toba satu minggu sebelumnya. Ia juga mengatakan bahwa mereka harus membeli air untuk kebutuhan memasak di rumah dengan harga Rp80.000 – Rp150.000/ balteng kapasitas 1.000 liter, tergantung jarak rumah dari jalan besar.
Untungnya, dari pengamatan saya, masyarakat dari Desa Salaon Toba, Salaon Dolok dan Salaon Tonga-Tonga masih bisa memanfaatkan pea (danau kecil) Porohan untuk kebutuhan mandi dan menyuci. Hanya saja, selain untuk kebutuhan mandi dan mencuci, pea tersebut juga sebagai tempat berkubang ternak sehingga kebersihan dan kesehatannya tidak terjamin.
Selain kesulitan ekonomi petani saat ini akibat ketidakstabilan harga dan penurunan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, mereka juga harus mengeluarkan rupiah untuk memenuhi kebutuhan air di rumah tangga. Masyarakat membeli air sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang tinggal di rumah, semakin banyak pula kebutuhan air minum yang harus dipenuhi.
Rakyat butuh air, pemerintah sibuk pariwisata
Pemerintah pusat hingga daerah saat ini disibukkan dengan pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Berdasarkan Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dimana pariwisata menjadi salah sektor didalamnya dan Danau Toba menjadi salah satu lokasi pengembangan KSPN tersebut. Semua kegiatan difokuskan kepada pengembangan pariwisata Danau Toba.
Sementara itu, masih banyak kebutuhan dasar masyarakat yang belum terpenuhi seperti air. Pariwisata Danau Toba mustahil berjalan dengan baik jika kebutuhan dasar masyarakat saja tidak terpenuhi.
Pemerintah Indonesia juga memiliki tanggung jawab yang harus dilaksanakan seperti pembangunan berkelanjutan (SDGs). Salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut adalah ketersedian air minum dan sanitasi yang layak. Negara berkewajiban menjamin akses ketersediaan air bersih bagi setiap warga negara yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan tanpa kecuali, termausk di Kabupaten Samosir.
Sayangnya, kesulitan air pada musim kemarau di Kecamatan Ronggur Nihuta secara khusus dan Kabupaten Samosir secara umum, sepertinya luput dari perhatian pemerintah. Hampir setiap tahun masyarakat di punggung Kabupaten Samosir menghadapi persoalan yang sama, kekeringan dan harus berupaya sendiri mengatasinya dengan keterbatasan yang dimiliki.
Disisi lain, Pemerintah Kabupaten menggaungkan Samosir sebagai daerah tujuan pariwisata yang berkelas internasional, program dan anggaran terus dikucurkan. Semua sibuk berpromosi Samosir sebagai negeri Indah Kepingan Surga yang wajib dikunjungi wisatawan lokal maupun internasional, sayangnya persoalan air saja tidak bisa diatasi dengan baik. Bisakah pariwisata maju tanpa mengatasi persoalan mendasar “air”?
Pada saat pertemuan selesai, hujan turun rintik-rintik yang memberi sedikit kesejukan bagi seluruh ciptaan. Meskipun belum medapat solusi atas masalah ketersediaan air bersih yang mereka alami, setidaknya mereka optimis untuk mengembangkan Pertanian Selaras Alam, sebagai upaya sederhana ikut ser menjaga bumi dan meningkatkan ketangguhan petani menghadapi perubahan iklim.***