Modal menjadi masalah petani? CU solusinya!
Pemerintah Indonesia semakin gencar memberikan beragam jenis bantuan seperti Program Indonesia Pintar (PIP), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai, Bantuan Sembako, Bantuan Prakerja, Bantuan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Subsidi Upah (BSU). Berbagai bantuan tersebut tentunya diharapkan oleh Pemerintah untuk dipergunakan sebagi modal usaha.
Bantuan-bantuan di atas melaksanakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022 yang terutama mengatur penggunaan dana desa dimana pemerintah desa diminta untuk mengalokasikan 40 persen untuk bantuan langsung tunai (BLT).
Kelompok Tani (KT) Saroha merupakan salah satu kelompok tani yang sejak tahun 2002 aktif melaksanakan kegiatan Credit Union (CU) pada pertemuan rutin bulanan. Mereka menamai CU mereka dengan nama CU Saroha (Sehati). Beberapa anggota KT Saroha yang profesinya petani memang mendapatkan salah satu dari bantuan di atas, tetapi mereka umumnya berpendapat bahwa pinjaman yang mereka peroleh dari CU Saroha lebih bisa membantu mereka lebih lama dibanding bantuan pemerintah.
“Bantuan pemerintah memang terlihat baik, tapi jujur saja, kami KT Saroha tidak butuh uang. Bukan karena uang kami banyak, sebab kami para petani yang katanya profesi termiskin di Indonesia. Tetapi alangkah lebih baiknya bantuan uang itu diganti dengan pemberdayaan petani. Dan yang saya lihat, banyak bantuan tidak tepat sasaran. Yang selayaknya dapat malah tidak dapat. Begitu juga yang seharusnya tidak dapat, bisa dapat bantuan. Jadi ada kejanggalan dalam pendataan bantuan ini. Dan yang lebih parah bantuan yang diterima dalam bentuk uang tersebut tidak tepat penggunaannya di masyarakat”, jelas Ama Monika Simamora.
Sampai saat ini, aktivitas CU masih berfokus membantu anggota dalam hal permodalan. Belasan juta dapat dipinjam oleh anggota CU Saroha setiap bulannya dalam pertemuan rutin pada minggu ketiga. Tetapi sebagai suatu organisasi memang kelompok memiliki dinamika. Kredit macet sebagai salah satu dinamika CU juga dirasakan oleh kelompok. Walaupun begitu, persatuan yang diikat oleh identitas sosial membantu kelompok menyelesaikan permasalahan dengan segera.
Para anggota juga memahami makna CU sebagai kumpulan orang yang saling percaya. CU memang merupakan entry poin (pintu masuk) untuk mengajak petani untuk berkumpul dan berdiskusi tentang kehidupan petani. Kepengurusan dan dana CU juga tidak diarahkan untuk memecahkan permasalahan petani dalam bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut terlihat dari adanya dana cadangan untuk kegiatan pertanian dan pendidikan.
Masalah kami sebagai petani masih banyak
Jika permodalan tidak menjadi sebuah persoalan lagi bagi KT Saroha, bukan berarti kelompok yang mayoritas petani ini sudah baik-baik saja. Dalam suatu diskusi tentang hak ekosob maupun diskusi tentang UU Perlintan (Perlindungan dan Pemberdayaan Petani), kami membuat daftar masalah yang dihadapi oleh petani di Kabupaten Humbang Hasundutan khususnya di Desa Aek Lung dari sudut pandang mereka.
Pertama, lahan sempit atau terbatas. Dalam buku “Rezim Pangan dan Masalah Agraria” oleh Philip MC Michael terbitan Fernwood Foundation (2013), tertulis hasil deklarasi Konferensi Rio +20 UN tahun 2012. Isi deklarasi ini antara lain mengganti sistem pertanian berorientasi ekspor yang bersifat industri dengan sistem yang berlandaskan kedaulatan pangan, mengembalikan tanah kepada fungsi sosialnya sebagai produsen pangan dan penopang kehidupan, mengutamakan produksi pangan secara lokal serta pasar lokal, serta pengelolaan pangan secara lokal.
Sayang sekali, sampai saat ini hasil deklarasi tersebut belum diwujudkan Pemerintah Indonesia. Sejak tahun 1960, Indonesia sudah memiliki UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) yang mengatakan bahwa petani yang sejahtera memiliki sedikitnya 2 Ha lahan bertani. Faktanya, amanat UU ini tidak dialami oleh anggota KT Saroha karena rata-rata anggota tidak memiliki tanah seluas 2 Ha baik berupa lahan persawahan, lahan kering maupun gabungan keduanya.
Lebih mirisnya lagi, Nai Tani Simamora mengatakan bahwa “Sejak tahun 2006 lahan pertanian seluas 150 Ha masih kami perjuangkan untuk dikuasai. Ada rasa bingung sejak kami diberitahu bahwa lahan pertanian yang sudah kami Kelola sejak nenek moyang di-klaim sebagai lahan konsesi PT.TPL”, jelasnya.
Kedua, perubahan iklim. Nai Romian menjelaskan, “Sulit sekali memprediksi cuaca saat ini. Musim penghujan menjadi penantian bagi petani yang ingin menanam padi sawah. Pagi hujan, siang cerah, malam sudah hujan lagi. Kegiatan tanam padi sempat bergeser beberapa minggu”, jelas Nai Romian.
Ketiga, tidak ada jaminan harga produk pertanian. Keempat, hama dan penyakit pada tanaman masih sulit dikendalikan, Kelima, langkanya pupuk subsidi dan mahalnya pupuk non-subsidi. Keenam, bencana alam, dan masih banyak lagi.
Banyaknya masalah yang dihadapi petani tidak seimbang dengan kebijakan yang ada. KT Saroha berharap agar kebijakan dari pusat dalam bentuk undang-undang diturunkan ke dalam peraturan daerah agar pemenuhan hak petani lebih efektif terlaksana.
“Kami memiliki tanaman muda seperti kembang kol, wortel, kentang, cabai merah, cabai rawit, dan bawang; padi sebagai tanaman pangan; kopi sebagai tanaman keras. Itu komoditi unggulan petani di Desa Aek Lung ini. Bayangkan saja jika terjadi gagal panen dan tidak ada kebijakan daerah yang bisa menopang petani. Petani hanya bisa pasrah. Lalu, bagaimana mereka memenuhi konsumsi rumah tangga? Pemerintahan Desa Aek Lung hanya bisa membantu biaya produksi petani di desa ini lewat pengadaan hand-traktor lewat BUMDES dengan tarif Rp 50.000/rante. Perda perlindungan dan pemberdayaan petani di Kabupaten Humbang Hasundutan memang penting dan harus ada” jelas Kepala Desa Aek Lung.
Dari pengalaman KT Saroha, CU memang menjawab masalah permodalan, tetapi petani masih menghadapi banyak masalah lainnya yang belum terselesaikan sehingga mereka tidak bisa menjadi petani sejahtera. Itu sebabnya petani mengharapkan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Jika kebijakan-kebijakan yang sudah ada dijalankan secara konsisten, petani kita barangkali sudah lebih sejahtera. Dari 514 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, kebijakan turunan dari UU No.19 Tahun 2013 hanya ada di 10 daerah dalam bentuk peraturan daerah (perda) tentang perlindungan dan pemberdayaan petani. Kesadaran dan desakan dari gerakan tani adalah faktor penting untuk perumusan perda seperti itu. Bagaimanapun, kebijakan bagi petani mestilah berpegang pada prinsip dari, oleh, dan untuk petani.