Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, KSPPM bersama pemuda adat dan mahasiswa melakukan kegiatan Cross Country pada 6–9 Juni 2023, dengan rute Huta Mamungka, Janji Maria, Rianiate, dan berakhir di Desa Garoga. Kegiatan ini merupakan puncak sebulan rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup yang dilakukan KSPPM bersama masyarakat adat, Serikat Tani dan jaringannya.
Delima Silalahi, Direktur KSPPM, mengatakan bahwa Cross Country Pemuda Adat dan pemuda tani yang dilakukan empat hari tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan keperdulian generasi muda terhadap lingkungan khususnya hutan. Tidak banyak lagi hutan yang tersisa di Tano Batak. Industrialisasi yang sudah berjalan lebih dari tiga dekade telah menghancurkannya. Hancurnya hutan-hutan di Tano Batak, telah memberikan dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat adat. Sehingga merupakan tanggung jawab bersama menyelamatkannya, terkhusus para kaum muda. Kecintaan anak muda terhadap hutan dan lingkungan perlu terus dipupuk, diawali dengan pengenalan yang baik terhadap lingkungan dan hutannya.
Masih menurut Delima, Masyarakat adat adalah garda terdepan penyelamatan hutan, setidaknya itu tercermin dalam praktek keseharian masyarakat adat yang memperlakukan hutan seperti tubuhnya sendiri. Spirit generasi tua menjaga dan melestarikan hutan untuk generasi yang akan datang perlu diwariskan kepada kaum muda. Generasi tua dan muda sebaiknya memiliki pemaknaan yang sama tentang pentingnya menjaga hutan.
Pemilihan rute ini, menurut Delima, menjadi sangat penting, karena peserta bisa membandingkan secara langsung, kehidupan masyarakat di wilayah yang hutannya sudah hancur dengan kehidupan masyarakat yang masih dikelilingi hutan alam yang terjaga. Sehingga dengan perbandingan yang diperoleh para pemuda semakin merasakan manfaat hutan bagi kehidupan mereka di masa kini dan masa depan.
Sandres Siahaan, Koordinator Acara, juga menjelaskan bahwa peserta Cross Country akan mengamati langsung bagaimana hutan-hutan kita yang tersisa memberikan kehidupan pada masyarakat adat, dan bagaimana hutan-hutan adat yang sudah beralih menjadi tanaman monokultur berkontribusi besar terhadap makna kesejahteraan bagi masyarakat adat. Tidak hanya mengamati hutan-hutan yang dilalui, peserta juga akan berinteraksi dengan masyarakat adat yang mereka jumpai, mendengar cerita langsung tentang berbagai perubahan hutan mereka dan sistem sosial masyarakat adat.
Pemberangkatan 40 peserta Cross Country diawali dengan doa bersama yang dipimpin Op. Rimpun Simanjuntak di Huta Mamungka pada 6 Juni 2023 lalu.
Sebanyak 40 peserta pemuda yang berasal dari perwakilan berbagai elemen (komunitas masyarakat adat, Serikat Tani (Toba, Taput dan Samosir), Staf Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), dan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung mengawali perjalanan mereka dari Huta Mamungka menuju Janji Maria dengan jarak 17 km.
Selama delapan jam peserta melintasi hutan-hutan eukaliptus yang membentang luas. Tidak ada tanaman lain di sekitarnya. Sangat berbeda dengan hutan kemenyan yang mereka lalui, ada beragam jenis pohon di sana juga beberapa jenis tanaman obat. Sepanjang jalan, peserta juga tidak hanya mengamati perbedaan hutan eukaliptus dengan hutan kemenyan, namun juga saling memberi pandangan terkait perubahan yang dirasakan. Tawa canda menjadi sarana mengurangi kelelahan.
Setelah melalui hampir delapan jam, peserta pun tiba di Janji Maria untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Masyarakat adat Janji Maria menyambut peserta dengan sangat ramah, dengan disuguhi makan malam bersama di Kantor Desa sembari mengobrol tentang banyak hal. Suasana akrab dan tulus dari masyarakat adat sangat terasa ketika menjamu peserta, hal yang sulit didapatkan di kota.
Pada hari kedua, rute yang dilalui peserta adalah dari Janji Maria menuju Rianiate dengan jarak sekitar 11 km. Belajar bersama sepanjang jalan selalu diwarnai tawa dan canda. Masih sama dengan medan yang dilalui di hari pertama, tanaman monokultur yang membentang luas, menaklukkan luasan hutan kemenyan dan perladangan warga. Menunjukkan betapa berkuasanya pemilik tanaman eukaliptus tersebut. Ada banyak coretan-coretan peserta terkait pengalaman dan refleksi masing-masing ketika melakukan perjalanan tersebut.
Di Desa Rianiate, suasana kekeluargaan pun sangat terasa, peserta dibagi di delapan rumah penduduk. Lelah berjalan seharian tidak menyurutkan semangat mengobrol dengan pemilik rumah. Sebagian peserta laki-laki juga berkumpul di lapo tuak untuk sekedar bernyanyi dan mengobrol tentang kehidupan masyarakat di sana yang beruntung masih memiliki hutan yang lebih terjaga. Di Rianiate tidak banyak ditemukan pohon eukaliptus, suasananya juga langsung berbeda. Keberadaan hutan yang masih asri memang langsung terasa dibandingkan ketika berjalan di hamparan eukaliptus yang kering dan gersang.
Perjalanan di hari berikutnya adalah rute Rianiate menuju Sibalanga Kecamatan Garoga, Tapanuli Utara. Peserta menempuh jarak 15 km untuk sampai di Desa Sibalanga. Perjalanan kali ini lebih banyak melewati hutan alam yang kaya keaneragaman hayati. Suasana lebih segar dibandingkan melewati hamparan tanaman monokultur eukaliptus. Sangat mudah bagi peserta membuat perbandingan berada di tanaman eukaliptus dan hutan alam. Walau medannya jauh lebih berat, namun menurut peserta mereka lebih menikmati berjalan di hutan alam, karena udaranya cukup segar dan banyak hal yang dilihat, seperti pohon-pohon alam yang besar, bunga-bunga, dan suara-suara burung yang merdu.
Masyarakat di Sibalanga juga menyambut peserta dengan baik, tidak jauh berbeda dengan sambutan desa yang sebelumnya. Dari diskusi bersama peserta, ada beberapa pelajaran berharga yang ditemukan dalam proses Cross Country tersebut. Selain membangun solidaritas antarpemuda di Tano Batak, juga semakin menunjukkan betapa pentingnya hutan bagi kehidupan manusia. Bagi masyarakat yang kami temui, hutan merupakan sumber kehidupan, termasuk di dalamnya hutan kemenyan. Sebagai sumber kehidupan, masyarakat adat percaya bahwa kemenyan tumbuh dengan baik dan bergetah jika berdampingan atau dilindungi oleh pohon-pohon alam yang beragam, bukan monokultur.
Masyarakat adat yang tergantung hidupnya dari kemenyan mengatakan bahwa dalam dua puluh tahun terakhir produksi kemenyan semakin menurun akibat rusaknya hutan di Tano Batak. Hutan alam kita berubah menjadi tanaman eukaliptus. Banyak dampak yang dirasakan oleh masyarakat selain penurunan produksi kemenyan, cuaca yang berubah-ubah, binatang liar yang masuk ke perladangan, dan sungai-sungai yang mati.
Hadirnya PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah merubah banyak hal. Masyarakat adat di Tano Batak kehilangan sumber mata pencahariannya karena hutan kemenyan (Tombak Hamijon) yang digantikan dengan eukaliptus. Kerusakan hutan yang masif, telah merubah banyak hal di tengah masyarakat, tidak hanya sistem ekonominya, namun juga pola produksi pertanian, pola konsumsi, relasi sosial dan juga pemaknaan terhadap lingkungan dan masa depan mereka.
Rentetan perubahan ini, nantinya akan dituliskan secara komprehensif oleh para peserta sehingga pengalaman berharga ini bisa dirasakan juga oleh masyarakat yang lebih luas. ***