Ketika UU No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani terbit, mudah dipahami bahwa tujuan utamanya adalah kesejahteraan petani sebagai subjek utama dalam UU ini. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan peraturan daerah (perda) agar rumusan UU ini dapat dirincikan dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan petani di daerah.
Termasuk pula petani di Tapanuli Utara (Taput). Mendengar bahwa naskah Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) sudah ada, mereka pun tentu dipenuhi harapan. Dan harapan tersebut disertai kesadaran bahwa partisipasi bermakna mereka adalah penting bahkan sentral dalam pembentukan Perda ini.
Kesadaran itu pun mewujud tatkala Serikat Tani Tapanuli Utara (ST Taput) hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPRD Tapanuli Utara pada Senin (18/9/2023).
Kehadiran ST Taput beserta KSPPM, Naposo Pature Bona (NPB), serta perwakilan mahasiswa dari GMNI dan GMKI Cabang Tapanuli Utara. RDPU dihadiri oleh Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Royal Simanjuntak, Wakil Ketua Dapot Hutabarat, serta anggota Maradona Simanjuntak, Fatimah Hutabarat, dan Frengky Simanjuntak. RDPU dihadiri pula oleh Kepala Dinas Pertanian Tapanuli Utara S.E.Y. Pasaribu, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Taput Nasip Simaremare, dan pihak BKAD Tapanuli Utara.
Royal Simanjuntak menjelaskan bahwa naskah ranperda saat ini pada tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Nantinya pihak Bapemperda akan menyerahkan hasil RDPU ke Komisi B dalam bentuk rekomendasi sebelum rapat paripurna pengesahan Peraturan Daerah.
Ranperda ini memang sangat perlu ditinjau ulang. Beberapa hal dirasa kurang berkenan atau bahkan kontraproduktif dengan perlindungan dan pemberdayaan petani.
“Misalnya ketentuan mengenai petani penggarap sebagai satu-satunya yang dapat mengakses pemanfaatan tanah daerah, siapa yang dimaksud petani penggarap? Ini harus dijelaskan, dan juga jangan hanya petani penggarap yang mendapatkan akses pemanfaatan tanah, tapi petani yang luasan tanah pertaniannya di bawah 2 hektare” ujar Jespayer Simanjuntak, Sekretaris ST Taput.
Jespayer pun menambahkan kekhawatiran petani Taput soal penggunaan frasa lahan/tanah terlantar dalam Perda ini. Disebutkan, bahwa pemerintah dapat melakukan konsolidasi lahan terlantar untuk diberi akses pemanfaatan kepada petani. Kekhawatirannya, adalah bila mana pemerintah menetapkan tanah terlantar tanpa mempertimbangkan ketentuan tata ruang adat.
Hal ini juga ditegaskan oleh Darwin Manullang dari KSPPM yang berharap soal Petani Penggarap dan Tanah/Lahan terlantar diperjelas definisinya, karena dampaknya sangat besar bagi petani yang masih berpegang pada kearifan adat. “Masyarakat adat itu punya ketentuan tata ruangnya sendiri. Sekalipun ada tanah yang dicadangkan, masyarakat adat melakukannya bukan tanpa alasan dan sesuai kebutuhan. Misalnya tanah tersebut untuk penggembalaan ternak, atau memang sengaja dicadangkan. Lalu apakah itu akan disebut tanah terlantar?” ujarnya menambahkan.
Terkait kebijakan pertanian Pemerintah Kabupaten, Darwin Manulang juga melihat ada kontradiksi, khususnya di kebijakan anggaran. Di mana 80% warga Taput adalah Petani, namun dalam tren APBD Taput dari tahun ke tahun, dari anggaran Dinas terkait pertanian (Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan, dan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) yang diakumulasi sekitar 63 Miliar, hanya 2,99% yang dinikmati petani.
Untuk itu pula diusulkan supaya perda mengatur kewajiban untuk membuat Rencana Kerja Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Tahunan oleh Organ Pemerintahan Daerah (OPD) terkait, bukan hanya Dinas Pertanian, karena Perlindungan dan Pemberdayaan Petani haruslah multisektor. Usulan ST Taput, Rencana Kerja harus disusun bersama oleh Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindag, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas PMD, Dinas Tarukim, Bappeda, PUPR, Dipenloka, perwakilan organisasi petani dan perwakilan organisasi masyarakat sipil terkait lainnya.
ST Taput juga menyoroti perda yang membatasi komoditas yang ditanam oleh petani. Di mana dalam Perda, di beberapa poin seperti pemanfaatan tanah daerah, hingga jaminan harga diberi prasyarat untuk menanam komoditas unggulan yang bernilai ekonomi dan berbiaya tinggi. Ini dinilai mendiskriminasi petani.
Diskriminasi juga dilihat dari adanya kewajiban bagi kelembagaan petani untuk berbadan hukum untuk dapat menerima akses pemanfaatan tanah dan manfaat lainnya dalam Perda ini. Hal ini bertentangan dengan Putusan MK No. 87 tahun 2013 yang telah mengabulkan hal penting tentang Kelembagaan Petani yang diakui yakni Kelompok Tani; Gabungan Kelompok Tani; Dewan Komoditas Pertanian; Asosiasi Dewan Komoditas; dan kelompok tani yang dibentuk oleh petani itu sendiri. Memberi kewajiban untuk berbadan hukum sama artinya menutup akses bagi petani yang seharusnya dilindungi dan diberdayakan.
Menanggapi hal ini, Kadis Pertanian mengapresiasi segala usulan dan masukan. Namun, pihaknya juga memiliki beberapa dalih. Misalnya, ia mengatakan dalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, disebutkan penerima hibah pemerintah harus berbadan hukum.
Selanjutnya soal pembatasan komoditas, ia berpandangan tidak ada yang salah dengan hal itu. Menurutnya, ada sisi positif, nantinya dalam bentuk pemetaan komoditas. Menurutnya, ini juga soal pengaturan prioritas dan efektivitas anggaran.
Terkait pembatasan penerima hibah harus berbadan hukum, para anggota dewan juga mengakui banyaknya pengalaman konstituen mereka yang mengalami kesulitan karena Peraturan ini.
Namun, ST Taput tetap pada argumentasinya bahwa pembentukan Perda harus juga tetap berpedoman pada Putusan MK 87/2013. Sebagai solusi sesuai UU yang dimaksud, rapat merasa tetap ada skema selain hibah, yakni bantuan yang tidak mewajibkan kelembagaan harus berbadan hukum, dan juga dapat diterima oleh individu, agar tidak ada diskriminasi dalam pelaksanaan Perda.
ST Taput di akhir rapat tetap berharap penyempurnaan Perda ini dilakukan secara serius dan hasil RDPU harus benar-benar direkomendasikan ke Komisi B sebelum diparipurnakan. Terlebih, ada hal-hal yang belum tuntas dan masih dibebankan pembahasannya kepada Komisi B misalnya soal ketentuan pidana yang ancamannya hanya untuk petani. Ini dikhawatirkan justru akan menindas dan menyulitkan petani.
Lebih lanjut Ketua Bapemperda Royal Simanjuntak menanggapi usulan ST Taput terkait perubahan, penambahan, maupun penghapusan pasal dalam ranperda. Dia mengatakan pihaknya sepakat dan satu ide bahwa hal yang disampaikan adalah untuk perlindungan dan pemberdayaan petani. Nantinya, rekomendasi ini akan diteruskan pada pembahasan di Komisi B sebelum diparipurnakan.***