Pertama sekali diajak Kak Ita Siregar untuk terlibat dalam kegiatan Balige Writers Festival (BWF) 1 Agustus 2023 lalu, saya merasa bahagia. Festival ini menurut saya memberi makna yang luar biasa bagi perkembangan peradaban masyarakat di Tano Batak saat ini. Sebuah acara yang pantas diapresiasi di tengah kegelisahan banyak orang termasuk saya, terkait minimnya budaya literasi di Tano Batak.
Saya bukanlah penulis, bukan juga budayawan, tapi seorang perempuan yang menaruh minat terhadap isu-isu sosial, ekonom, politik dan lingkungan di Tano Batak, Bona Pasogit. Undangan ini, selain membuat saya bahagia, sekaligus juga khawatir bahwa saya belum pantas untuk memberikan orasi kebudayaan dalam acara yang luar biasa ini.
Tapi saya memutuskan untuk terlibat, karena acara ini menurut saya lain dari pada yang lain. Balige Writers Festival berbeda dari berbagai perhelatan yang saat ini banyak diselenggarakan di Tano Batak, perhelatan yang hanya melihat Toba atau Tano Batak sebagai komoditi yang harus menghasilkan uang semata dan abai terhadap degradasi nilai-nilai yang diakibatkannya. BWF merupakan kegiatan yang unik dan mendapat tempat di hati banyak orang. Setidaknya ini menjadi bukti, masih ada cinta yang tidak materialistis di sanubari masyarakat Batak yang di perantauan maupun yang di bona pasogit.
Selanjutnya saya diberi tahu tentang tema kegiatan ini adalah “Mulak Tu Bona”, yang memiliki beberapa makna, “pulang kampung”, “kembali ke akar” atau “mengakar”.
Menurut saya tema ini dirumuskan cukup dalam, menjawab kegelisahan kita terkait makna “bona” dan kondisinya saat ini di tengah gegap gempita pembangunan atau modernisasi.
Tidak ada yang tidak membutuhkan pembangunan, saya atau kita juga bukan orang yang menolak pembangunan, karena pembangunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Pembangunan di Tano Batak juga demikian, seyogianya dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat yang bermukim di Tano Batak, kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan. Apalagi sudah lama Masyarakat Batak, utamanya yang berada si Tano Batak, kurang mendapat perhatian.
Tapi pembangunan menjadi masalah ketika dia hanya berorientasi pada pembangunan itu sendiri atau demi kelancaran implementasi program tanpa peduli dampaknya. Pembangunan menjadi masalah jika menekankan pertumbuhan ekonomi semata dan abai dengan kehidupan masyarakat, relasi sosial, martabat kultural dan keberlanjutan ekologisnya. Pembangunan juga jadi masalah super serius jika hasil terbesarnya dinikmati segelintir orang dan dampak terburuknya ditanggung sebagain besar anggota masyarakat. Jika berkembang ke arah seperti ini, pembangunan menjadi momok menakutkan, dihadapi dengan penuh curiga dan tidak jarang menerbitkan protes dimana-mana.
“Mulak Tu Bona”, menjadi tema yang sangat reflektif bagi Masyarakat Batak saat ini, baik yang ada di perantauan maupun yang ada di bona pasogit. Bona Pasogit merupakan tempat di mana akar kehidupan Masyarakat Batak tertanam, bertumbuh, dan berkembang. Akar yang menjadi identitas yang melekat kemana pun dia melangkah.
Akar pastinya melekat pada tanah. Marga yang menjadi identitas masyarakat Batak tidak bisa dipisahkan dari tanah di mana akarnya berada. Tano do marga, marga do tano (Tanah adalah marga, marga adalah tanah) menjadi filosofi Masyarakat Batak yang mengingatkan bahwa setiap marga Batak melekat dari tanah dari mana dia berasal, kita memiliki “huta” atau kampung tempat akar kita berada.
Tradisi pulang kampung, bukanlah hal yang baru bagi peradaban masyarakat Batak. Keterikatan terhadap nilai-nilai adat membuat tradisi ini menjadi sebuah kewajiban selain karena didorong oleh kerinduan. Itu sebabnya di mana pun orang batak bermukim, pada umumnya selalu ingin pulang kampung. Jika semasa hidupnya tidak bisa pulang, jenazah bahkan tulang-belulang nya pun harus di bawa ke kampung.
Tradisi ini dipermudah dengan semakin lancarnya moda transportasi menuju bona pasogit, baik lewat udara dan perjalanan darat. Semakin mudah untuk pulang kampung dan semakin banyak orang Batak yang pulang kampung.
Namun “Mulak Tu Bona”, bukanlah sekedar pulang kampung, karena maknanya tentu harus lebih dalam “kembali ke akar” atau “mengakar kembali”.
Tanah batak sebagai bona kita saat ini sedang mengalami krisis multi dimensi. Sekilas mungkin kita bisa melihat kondisinya baik-baik saja, pembangunan semakin pesat, infrastruktur semakin bagus, banyak tempat-tempat yang menarik dan Danau Toba dipoles sedemikian rupa.
Mari kita sejenak melihat “bona” atau “akar” kita yang sedang mengalamami krisis multi dimensi.
Ada beberapa persoalan yang sedang terjadi di Tano batak saat ini:
Pertama, tanah-tanah adat yang menjadi “bona” atau “akar”, hampir 60% statusnya berada di klaim Kawasan Hutan Negara. Status dengan penetapan sepihak ini tentu saja berdampak terhadap semakin tingginya konflik agraria di Tano Batak.
Masyarakat adat di Tano Batak terancam hak-haknya di wilayah adatnya, karena Negaralah yang memiliki otoritas di wilayah adat yang masuk dalam klaim Kawasan Hutan negara. Status ini lah yang menjadi sumber konflik agraria di Tano Batak. Negara menyalahgunakan ‘Hak Menguasai Negara’ untuk memberikan izin kepada pihak manapun untuk mengelola wilayah adat yang masuk dalam status Kawasan Hutan Negara.
Masyarakat adat tentu tidak mau kehilangan tanahnya, karena bagi masyarakat adat tanah tidak hanya berfungsi ekonomi semata, tapi tanah adalah identitas, berfungsi sosiologis yang mengatur relasi sosial, memiliki fungsi kultural, dan tanah juga memiliki fungsi ekologis yang membuat keseimbangan manusia dengan lingkungannya.
Sayangnya perjuangan masyarakat adat mempertahankan tanah-tanah adatnya seringkali mendapat perlakuan diskriminatif, diintimidasi dan dikriminalisasi, bahkan oleh saudara-saudaranya sendiri yang “akar” nya ada di Tano Batak.
Kedua, kerusakan lingkungan yang semakin massif dan berdampak luas. Dalam sepuluh tahun terakhir, KSPPM mencatat setidaknya terdapat 15 bencana ekologis yang terjadi di Tano Batak, seperti banjir bandang, longsor, angin badai dan lain-lain. Intensitasnya terus meningkat setiap tahun. Krisis iklim bukanlah dongeng horror yang menakut-nakuti kita. Tapi dia nyata dan kita alami saat ini bahkan di lingkungan kita sendiri.
Bencana ekologis ini tentu bukanlah amarah Sang Pencipta, atau pertempuran para naga yang ada di langit, seperti mitos yang sering kali kita dengar ketika bencana melanda. Dia akibat ulah manusia, yang tidak lagi perduli pada lingkungan. Menganggap lingkungan hanyalah mahluk mati yang memang harus dieksploitasi. Pembangunan atas nama pertumbuhan ekonomi seringkali abai terhadap keberlanjutan lingkungan.
Kita menyaksikan hutan-hutan di Tano Batak yang dulu kaya dengan keanekaragaman hayati, dibabat habis, berganti menjadi tanaman monokultur “eukaliptus”.
Sungai-sungai yang mengairi sawah, ladang, sumber air MCK dan air bersih di desa-desa tempat akar kita mengering karena hutan alam sudah semakin jarang ditemukan. Ada ratusan anak sungai yang mati akibat hilangnya hutan. Kita semakin terbiasa menyaksikan saudara-saudara kita harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari setiap musim kemarau.
Para petani di Tano Batak juga harus terbiasa dengan istilah “gagal panen” akibat iklim yang tidak lagi bersahabat dan harus bertarung hidup dengan binatang-binatang hutan yang kehilangan habitat.
Awal tahun ini, ada ratusan hektar jagung dan ladang singkong di Tano Batak yang terpaksa gagal panen, akibat diserang monyet. Relasi manusia dengan binatang pun rusak akibat harus berebut ruang. Manusia menjadi hama bagi binatang, dan binatang menjadi hama bagi manusia.
Ketiga, degradasi nilai budaya. Kebersamaan atau kolektifitas yang menjadi modal sosial Masyarakat Batak, saat ini semakin sulit kita temukan. Kondisi ini tidak terlepas dari semangat pembangunan yang berorientasi pasar yang sangat kompetitif, yang kuat menjadi pemenang. Semua orang berlomba menjadi lebih kuat, lebih hebat dan lebih kaya dari orang lain.
Relasi sosial dan relasi kekeluargaan semakin transaksional. Ini juga tidak terlepas dari komodifikasi budaya yang tanpa kita sadari menjadikan nilai-nilai adat dan budaya kita menjadi komoditas yang hanya bernilai ekonomi semata.
Ketangguhan sebuah komunitas tidak hanya dilihat dari ketangguhan ekonomi individual semata, tetapi harus berbasis pada modal sosial yang terus terjaga dan terpelihara.
Dengan lain perkataan bona atau “akar” Masyarakat Batak — yakni tanah, hutan (lingkungan) dan budaya— sedang terancam. Bukan tidak mungkin, jika tidak segera ditanggulangi ketiga krisis di atas secara perlahan-lahan sedang mengantarkan masyarakat ini dalam proses panjang menuju kepunahan.
Bagaimana kita menaruh “Mulak Tu Bona” dalam Krisis yang Aktual Ini?
Ada banyak alasan kenapa orang pulang kampung. Saya mencatat dalam beberapa tahun terakhir ini ada tiga macam kecenderungan Mulak Tu Bona.
Pertama, pulang kampung pada dasarnya adalah peristiwa sosial biasa ketika seseorang memutuskan untuk melakukan perjalanan kembali ke tanah kelahirannya atau ke kota dan desa di mana dia menghabiskan sebagain besar masa kecilnya. Bagi para perantau “Mulak Tu Bona” sering untuk mengobati kerinduan, berupaya membeli kembali kenangan indah di masa lalu, untuk mengobati jiwa yang tidak lagi utuh di tanah perantauan karena terceraikan dari orang tua dan sanak keluarga di kampung.
Bagi handai taulan di kampung “Mulak Tu Bona” juga bercampur dengan gejolak emosi. Kerinduan yang tak tertahankan untuk bertemu anak atau saudara yang lama tak berjumpa. Dan yang ditunggu-tunggu dari momen pulang kampung adalah cerita-cerita selama di perantauan. Kisah-kisah sukses dan fragmen-fragmen penuh tantangan yang bisa berakhir kegagalan. Mulak Tu Bona menyediakan semacam etalase kisah keberhasilan (atau kemalangan), menyerupai aktivitas penasaran tentang kehidupan di perantauan.
Saya melihat dalam pulang kampung model ini, Bona yang tengah terancam tidak menjadi isu. Sebaliknya terjadi semacam pertukaran atau transaksi antara orang kampung yang menyediakan kenangan dan orang kota yang menyediakan mimpi. Tidak heran jika di negeri ini pulang kampung menjadi industri besar dan menguntungkan dengan kemampuan merayu yang semakin canggih untuk menjajakan fantasi tentang masa lalu dan kampung halaman. Mulak Tu Bona dari sisi sebaliknya juga menyediakan motivasi bagi eksodus orang kampung mengejar mimpi di tanah perantauan.
Kedua, Mulak Tu Bona sebagai idealisme, yakni pulang kampung untuk membangun Bona Pasogit. Tanah ini sudah memberikan banyak. Sudah saatnya para perantau, apalagi yang berhasil, membayar kembali dengan mengabdi, memperjuangkan masa depan Tano Batak yang lebih baik. Sejumlah perantau ada yang memilih menjadi pengusaha dan karenanya membantu membuka lapangan kerja baru. Sejumlah yang lain memutuskan menjadi aktivis sosial dan budaya dan, karenanya, ikut mencerdaskan masyarakat.
Dalam prakteknya saya menemukan idealisme ini tidak semulus dan semudah yang dibayangkan. Tidak jarang terjadi missed-match antara ide berbinis atau pemberdayaan, dengan cara pandang warga masyarakat yang masih terus bertahan di Bona Pasogit dan dengan konteks sosial-budaya dan lingkungan terkini. Kegagalan membangun jembatan dan berkompromi mudah menggiring ke-missed-match-an ini ke dalam rantai dominasi para perantau atas warga lokal yang dinilai masih terbelakang. Atau penolakan warga lokal terhadap perantau yang dianggap sombong dan sok tahu. Ketidaksinkronan yang tidak teratasi mudah menimbulkan kecurigaan, tuduhan mengobjektifikasi Bona Pasogit untuk kepentingan pribadi terhadap perantau di satu sisi dan tuduhan malas, tidak disiplin dan tidak mau berkembang di sisi lain terhadap warga yang tetap memilih tinggal di kampung.
Berbeda dengan Mulak Tu Bona model pertama, alih-alih memberi perhatian yang besar pada krisis Bona, saya mengkhawatirkan pulang kampung model kedua berpotensi menimbulkan ketegangan dan melahirkan isu-isu ketidakadilan. Apalagi ketika para perantau yang memutuskan pulang untuk membangun Bona Pasogit mulai sering tampil sebagai representasi masyarakat adat setempat baik sekedar bertemu dengan pejabat, menjadi percontohan keberhasilan pembangunan—yang tidak jarang merupakan klaim sepihak—atau bahkan menjadi saluran yang paling sering dikunjungi program-program pembangunan dan pemberdayaan, berbagai bantuan atau kesempatan berbinis. Bahkan tidak jarang, para perantau jenis ini digunakan oleh perusahaan-perusahan perusak lingkungan dan budaya untuk mempengaruhi sanak saudaranya di kampung halaman agar tidak kritis terhadap dampak-dampak buruk yang dilakukannya.
Model Mulak Tu Bona yang ketiga, menurut saya, dilakukan para perantau yang tercerabut dari daerah perantauannnya. Umumnya ketercerabutan ini terkait dengan alasan ekonomi. Kehidupan di perantauan, terutama di kota-kota besar, tidak berhasil mengentaskan si perantau dari kemiskinan. Bahkan cukup banyak yang mengalami nasib yang lebih buruk. Pulang kampung dalam hal ini mungkin bersifat terpaksa atau pilihan terakhir yang masih tersedia, untuk mengejar kembali mimpi kesejahteraan atau sekedar bertahan hidup.
Saya menemukan tipe perantau jenis yang ini memiliki kepedulian besar pada kwalitas tanah, hutan dan ekologi Bona. Karena hidupnya sejak memutuskan untuk kembali ke kampung akan sangat tergantung pada kesehatan dan keberlangsung ketiganya. Tapi saya juga khawatir desakan untuk segera memperoleh hasil agar bisa mememenuhi kebutuhan hidup seharai-hari atau keperluan membiayai pendidikan dan kesehatan mudah menjauhkan para perantau tipe ini dari idealisme merawat Bona. Asalkan bisa menghasilkan uang mereka mungkin berpikir sedikit menjual tanah atau sedikit kerusakan hutan, misalnya, tidak mengapa.
Artinya, saya mau mengatakan, tradisi Mulak Tu Bona dalam beberapa tahun terakhir, hampir tidak ada kaitannya dengan upaya-upaya serius melindungi dan merawat kembali Bona Pasogit. Tampaknya Mulak Tu Bona masih dalam rangka memenuhi keinginan dan mimpi-mimpi yang lain. Bisa jadi pendapat saya ini, tentang Bona yang tengah didera krisis, justeru diangap merusak susana emosional, mengganggu potensi bisnis atau semangat pemberdayaan dan terlalu mewah bagi perantau yang pulang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Tapi bukankah sebuah ironi besar ketika tradisi Mulak Tu Bona gagal menemukan Bona yang kian melemah dan tergerus? Bukankah pulang kampung tidak semata melepas rindu, membangun kampung dan mencari nafkah, melainkan kembali ke akar dan asal usul?
BWF dan kegiatan sejenis lainnya, menurut hemat saya, bisa mempelopori upaya pemaknaan baru Mulak Tu Bona. Mungkin tidak ada salahnya pulang kampung coba dipahami sebagai “ziarah” menuju asal usul yang perlu selalu dijaga dan dirawat; menemukan kembali tanah, hutan dan alam sekitar sebagai basis identitas yang sakral. Menemukan diri kita yang kembali menyatu dengan alam.
Saya percaya dengan komitmen dan kerjasama, upaya menyelamatkan Bona Pasogit dari krisis multidimensi dan mengevaluasi pulang kampung sebagai panggilan untuk merawat Bona dan kembali mengakar masih belum terlambat.
Terima kasih dan Horas.
*) Tulisan ini merupakan orasi kebudayaan yang disampaikan penulis pada acara pembukaan Balige Writers Festival (BWF) pada Jumat, 27 Oktober 2023 lalu.