Hujan (pada) Bulan Juni (Bagian 1): Lingkungan dan Dilema Bernegara

Saya ingat waktu masih kecil, memasuki pertengahan tahun – bulan Mei hingga Juli – televisi nasional ramai memberitakan bahwa Indonesia sudah masuk ke musim kering atau kemarau. Bermain bola di tanah panas berdebu sudah jadi rutinitas saya, bahkan sampai telapak kaki mengeras alias kapalen. Namun, semenjak 2015, ketika saya mulai kuliah dan tidak terlalu banyak agenda bermain di luar, lebih banyak nongkrongdan diskusi,  iklim rasanya berubah sedikit demi sedikit. Bahkan, saat kuliah sekitar tahun 2016 di Jogja, hujan turun hampir sepanjang tahun, sampai-sampai banyak acara menggunakan jasa dukun penangkal hujan. Tetapi, pada tahun 2019, tepatnya pada tahun terakhir kuliah di Jogja, terjadi musim kemarau panjang yang mengundur waktu tanam masyarakat Jogjakarta. Banyak sawah terlantar karena belum cukup kapasitas air irigasi.

Masyarakat perkotaan maupun pedesaan di Jawa yang memang tidak punya banyak hutan tentu tidak cukup memahami bahwa perubahan iklim itu dikarenakan hutan-hutan di Indonesia yang semakin hari semakin gundul. Walau isu lingkungan di perkotaan seperti Jogjakarta sangat “seksi” dan menjadi perbincangan serius oleh para ilmuan dan aktivis kampus, tidak banyak dari mereka yang benar benar melihat langsung penyebab kerusakan lingkungan tersebut dan merasakan dampaknya secara langsung selain kehujanan di jalan karena prediksi cuaca oleh google tidak akurat.

Puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono tampaknya bukan sekedar tentang ketabahan seseorang yang merindukan kasih sayang, tetapi menunjuk pada kenyataan yang sekarang dihadapi oleh setiap petani di Indonesia, tak terkecuali petani kemenyan. Dahulu, Juni identik kekeringan panjang dan hembusan angin malam yang dingin karena tidak ada awan yang mengikat hangatnya sinar matahari pada saat siang. Momen itu tentunya dimanfaatkan oleh para petani kemenyan yang memerlukan udara dingin supaya getahnya banyak dan mudah membeku.

Pohon kemenyan yang baik adalah pohon yang dapat mengeluarkan getah kemenyan yang banyak dan juga membeku. Maka dari itu, pohon kemenyan membutuhkan suhu udara yang dingin. Apabila suhu hutan tersebut hangat (atau bahkan hangat), getah kemenyan tidak dapat membeku dengan baik, dan mengakibatkan jumlah produksi berkurang. Sejak PT. Toba Pulp Lestari (TPL) beroperasi di sekitar wilayah adat Pargamanan-Bintang Maria (PBM), produksi kemenyan setiap tahunnya terus berkurang.

Laboratorium Herbal vs Hutan Alam Masyarakat Adat di Aek Nauli

Gambar 1: Pelang KHDTK di Pinggir Sungai yang juga menjadi batas wilayah KHDTK.

Selain kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kehadiran PT. TPL, di Humbang Hasundutan sekarang sedang berlangsung pembangunan “Laboratorium Tanaman Obat” besar besaran yang berada di tengah-tengah hutan kemenyan Aek Nauli. Proyek ini diberi nama Taman Sains dan Teknologi Herbal dan Hortikultural (TSTH2), yang berada dalam Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dengan dasar hukum Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.331/MENLHK/SETJEN/PLA.2/8/2020 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus untuk Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Institut Teknologi DEL pada kawasan hutan produksi tetap di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara seluas kurang lebih 500 ha, tanggal 10 Agustus 2020.

Siaran Pers Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan menyebutkan bahwa pembangunan ini berada di kawasan hutan produksi milik Negara yang sebelumnya adalah lahan konsesi PT. Toba Pulp Lestari. Selain itu, pelaksanaan program ini melibatkan universitas ternama yang ada di Indonesia seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, dan Institut Teknologi DEL (IT DEL). IT DEL menjadi perguruan tinggi yang menjadi “Tuan Rumah” program ini, dengan dalih menjadi Universitas terdekat dengan lokasi TSTH. Sesungguhnya ada perguruan tinggi lain yang lebih dekat, yaitu Universitas Tapanuli (UNITA).

Menurut pengakuan salah seorang aparat keamanan di kawasan KHDTK, nantinya akan dibangun portal dengan palang pintu untuk mengontrol lalu-lalang masyarakat di sekitar sana. Setiap yang masuk diwajibkan menitipkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di portal tersebut. Anehnya, Siaran pers pemerintah menyebutkan bahwa kawasan TSTH ini akan menjadi kawasan enclave seluas 118 ha di tengah-tengah areal KHDTK (615 ha) dan  tetap dapat dikelola masyarakat Aek Nauli I, tanpa ada pihak yang mengganggu. Hal ini tentu rancu! Pertama, keberadaan portal pasti akan mengganggu mobilitas masyarakat di daerah tersebut (belajar dari portal PT. TPL di desa Simare, Kec. Borbor, Kab. Toba dan portal PT. TPL di Desa Hutagalung, Kec. Sianjur Mula Mula, Kab. Samosir). Kedua, bukan hanya masyarakat Aek Nauli I yang berada di hamparan hutan tersebut. Ketiga, pembangunan jalannya saja sudah banyak merusak kemenyan masyarakat. Menurut Rajes Sitanggang, tidak mungkin kemenyan dapat menghasilkan hasil yang banyak apabila tidak ada tutupan hutan lainnya yang berfungsi menjadi pelindung. “Kalau terkena langsung matahari atau di pinggir jalan seperti ini, hasilnya tidak akan banyak dan bahkan lama-kelamaan tidak akan ada,” tangkasnya.

Gambar 2: Pohon Kemenyan yang berada tepat di pinggir jalan.

Salah satu pemilik warung di simpang KHDTK (nama tidak disebutkan untuk melindungi identitas informan) menyebutkan bahwa sekarang masyarakat Aek Nauli I terpecah karena kehadiran pembangunan TSTH2 ini. Sebabnya, petani kemenyan sekarang harus menjadi anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk dapat mengakses hutan mereka, dan artinya harus dekat dengan pemerintah desa setempat; kelompok yang tidak dekat dan sedikit melakukan perlawanan akan dikucilkan dan aksesnya dipersulit. Namun sampai sekarang masyarakat yang tidak tergabung dengan KTH belum melakukan perlawanan karena masih terpecah menjadi beberapa kelompok, sedangkan anggota KTH sekarang sudah lebih dari 100 orang.

“Sudah beberapa kali pak Luhut ke sini, bahkan Presiden Joko Widodo juga sudah pernah dan berencana masih akan datang ke sini sebelum periodenya selesai” jelasnya. Pembangunan jalan di Aek Nauli ini tergolong sangat cepat karena sekitar 1 tahun yang lalu, saat tim KSPPM pertama kali datang, lokasinya masih merupakan tutupan hutan alam yang baik, dimana pohon-pohon kemenyan masih berdiri dengan tegap walaupun memang sudah banyak patok-patok di sekitarnya untuk mengukur pembangunan jalan (lebar jalannya sekitar 12 meter) oleh KHDTK. “Jalan ini baru ada setelah tahun baru. Akhir tahun lalu saat saya masih lewat sini jalan ini belum ada, masih sekedar pasir dan pengerasan,” jelas Rajes Sitanggang yang memiliki kebun kemenyan di lokasi dekat KHDTK Aek Nauli dan konsesi PT. TPL dan setiap tahunnya harus melewati jalan ini.

Peletakan batu pertama pembangunan Taman Sains Teknologi Herbal dan Holtikultura (TSTH2) dilakukan pada hari Kamis (23/12/2021), hanya berselang 6 bulan dan sekarang semua komponennya sedikit demi sedikit muncul, seperti jalan dan perkantoran.

Kajian spatial ini disusun oleh tim KSPPM pada bulan Maret 2021, dimana tim investigasi KSPPM menyusuri patok-patok KHDTK dan patok-patok pengukur jalan raya. Dari hasil peninjauan lapangan, lokasi yang dulunya punya banyak tutupan hutan sekarang sudah disulap menjadi jalan bak jalan tol lintas provinsi. Tercatat, dari total 615 ha luasan KHDTK, sebanyak 2/3nya adalah tutupan hutan alam yang juga kemenyan masyarakat sekitar. Di dalam 615 ha KHDTK, TSTH2 akan dibangun di tengah-tengahnya dengan enclave seluas 118 ha. Di luar 615 ha tersebut, terlihat sudah ada beberapa masyarakat setempat yang mulai membangun perkebunannya sendiri, menanam tanaman-tanaman muda untuk kelangsungan hidupnya. Menurut data spatial, kebun-kebun baru milik masyarakat tersebut masuk ke dalam kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) yang luasnya melintang sampai ke desa Ria-ria dimana Food Estate berada. Masyarakat beralasan bahwa mereka sekarang sudah dapat mengusahakan tanahnya dikarenakan sudah tidak ada lagi konsesi PT. TPL di sana (dikeluarkan lewat SK. 307 Adendum ke-8 PT. TPL). Ini tidak berarti bahwa mereka mengusahakan kebunnya karena mendapatkan jaminan hukum seperti sertifikat TORA dll. Namun, mereka mendapatkan ijin tersebut karena masuk ke dalam KTH setempat. Secara tidak langsung, kawasan perkebunan itu masih tanah milik negara dengan fungsi tertentu (ketahanan pangan).

Perlu diingat lagi, KHKP berbeda dari Food Estate. Kalaupun keduanya berhubungan dengan ketahanan pangan atau ada patok-patok “HPK untuk FE”, secara definitif keduanya berbeda. KHKP merupakan kawasan hutan yang diperuntukan bagi program “ketahanan pangan” sedangkan Food Estate merupakan program resmi pembangunan industri pangan dengan dalih menjadi lumbung pangan nasional. Sederhananya, sebelum dijadikan areal Food Estate, sebuah Kawasan Hutan harus diubah terlebih dahulu menjadi KHKP. Demikian juga program TSTH2 yang berada di kawasan hutan dengan fungsi produksi harus diubah terlebih dahulu menjadi KHDTK sebelum pembangunan dilakukan. Menurut salah satu pendamping kelompok tani di Food Estate Siria-ria (Marga Sibarani, informan tidak memberi tahu nama lengkapnya), program Ketahanan Pangan yang ada di KHKP bukan lagi wewenang Kementerian Pertanian, namun di bawah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Menko Maritim dan Investasi (Menko Marives).

Posisi TSTH2 Aek Nauli berdekatan dengan lokasi Food Estate Sumatera Utara di desa Ria Ria. Keduanya hanya berjarak sekitar 16 km jarak atau sekitar 30 menit perjalanan. Menurut laporan Kompas.com, Lokasi Food Estate dan TSTH2 yang dekat ini akan menjadi unggulan dalam implementasi penelitian di bidang hortikultura. Sederhananya, TSTH2 akan menjadi pusat penelitian tanaman-tanaman muda yang akan ditanam di Food Estate Sumatera Utara. Bahkan TSTH2 menjanjikan bahwa para petani kemenyan akan mendapatkan keuntungan karena nanti akan dibangun alat ekstrasi kemenyan bagi mereka.

Figure 3 Tampak Tutupan Hutan Alam Aek Nauli dan Patok Penanda KHDTK

Pembangunan yang ambisius ini tentu bukan hanya kerja sama pemerintah dan perguruan-perguruan tinggi. Sebanyak 124 perusahaan mengikuti tender pembangunan, dan 31 perusahaan mengikuti tender manajemen konstruksi. Misalnya, PT Brantas Abipraya Persero telah ditetapkan dan menandatangani kontrak sebagai pelaksana untuk bangunan TSTH dan PT Yodya Karya bertindak sebagai manajemen kontruksi, jelas Luhut Binsar Panjaitan dalam rapat koordinasi di Kantor Maritim (20/12/2021). Penyusunan AMDAL TSTH2 dan Detailed Engineering Design(DED) diserahkan kepada BRIN, LPPM ITB serta Yayasan milik Luhut, IT DEL.

Dalam model bisnis TSTH2 pada tabel di atas, akan ada 4 layanan utama yang akan dibangun di lokasi, yaitu layanan teknis, pengembangan teknologi, inkubasi bisnis dan teknologi, ditambah penunjang yang juga memiliki turunannya di setiap layanan, berikut bangunan-bangunan yang diperlukan. Akan ada total 7 bangunan di dalam lingkungan seluas 118 ha. (bersambung)

3 thoughts on “Hujan (pada) Bulan Juni (Bagian 1): Lingkungan dan Dilema Bernegara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *