Bagi kami, Rabu, 28 Agustus 2024 adalah satu hari yang mewakili ribuan hari dalam keresahan, ketakutan, dan kemarahan. Kami, Masyarakat Adat Desa Ria-Ria adalah subjek dari tanah adat yang sudah kami hidupi beratus tahun, serta diakui oleh Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat II Tapanuli Utara No. 138/Kpts./1979.
SK yang terbit setelah bertahun-tahun hidup dalam ketakutan, kekerasan aparat, ibu yang keguguran, hingga nyawa pejuang yang dihilangkan.
Kini, nasib tanah adat kami di ujung tanduk, dan ketakutan kembali melingkupi kami. Ketidakjelasan status dan batas tanah adat telah membuahkan ketidakpastian, terganggunya pemenuhan kebutuhan hidup, dan konflik horizontal.
Kami tiada bisa menutup mata akan kontribusi proyek negara dalam segala kerunyaman ini. Sejak berlangsungnya proyek strategis nasional Food Estate di Ria-Ria, tumpang tindih klaim atas tanah adat kian mengkhawatirkan. Segala insentif dan Pembangunan yang berlangsung mengabaikan hak kami. Negara, dalam hal ini secara sepihak melakukan penunjukan lahan, dan menentukan sendiri akan dijadikan apa lahan tersebut.
Tak terkecuali, tanah adat kami. Alih-alih mengambil langkah untuk memberi kepastian hukum terhadap hak atas tanah adat Desa Ria-Ria berdasarkan SK 138/Kpts./1979, segala proyek pembangunan malah diteruskan. Di tengah berlangsungnya segala proyek pembangunan, konflik horizontal menjadi tak terhindarkan sehingga menimbulkan kerugian materiil dan imateriil bagi kami.
Kami bukannya tak mengupayakan diskusi dengan Bupati Humbang Hasundutan, berkali-kali kami sanggupi upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik. Bahkan, kami sudah banyak mengorbankan waktu dan materi untuk memenuhi persyaratan penyelesaian konflik oleh Bupati.
Salah satunya, mencari keberadaan dokumen asli SK 138/Kpts./1979. Upaya ini kami lakukan atas permintaan Bupati Dosmar Banjarnahor sendiri. Ia mengatakan jika SK asli ditemukan maka seluruh tanah adat Ria-Ria akan mendapatkan kepastian hukum, dan segala bentuk sengketa akan diselesaikan. Atas permintaan itu jugalah, dokumen SK asli tersebut kami serahkan kepada Bupati untuk dipergunakan dalam proses penyelesaian konflik dan penataan batas.
Bukannya solusi, yang kami dapatkan adalah berbagai janji yang tidak ditepati, serta berbagai bentuk penghinaan dan intimidasi. Pada 12 Februari 2024 sebenarnya sudah ada dokumen stampas berisi perjanjian penghentian aktivitas di areal Sigende, yang saat ini bersengketa. Bahkan dengan perjanjian tersebut serta rangkaian audiensi dan rapat, kegiatan penebangan hingga pembangunan jalan usaha tani di wilayah adat kami tetap berlangsung.
Rapat-rapat yang difasilitasi oleh pemerintah kabupaten juga dilaksanakan tidak sesuai prosedur, dan tidak partisipatif. Hasil rapat kami anggap selalu merugikan, menghilangkan wilayah adat kami, juga tidak menyelesaikan konflik.
Ini malah memperparah konflik horizontal, yang belakangan membawa kami ke dalam proses pidana. Ketakutan kami bertambah. Satu masalah belum selesai, masalah lain malah timbul. Saat rilis ini dibuat, surat panggilan pemeriksaan dari Kepolisian Resor (Polres) Humbang Hasundutan silih berganti menghampiri kami.
Hal lain yang perlu dicatat, dalam proses audiensi dan rapat, perjuangan kami juga mendapatkan penghinaan dari Bupati Humbang Hasundutan dan jajarannya. Kami ditertawakan, dibentak, bahkan Bupati sendiri menghina kami dengan kalimat yang merendahkan harkat dan martabat perempuan. Ini adalah hal yang tidak bisa kami terima, mengingat perjuangan para pendahulu kami sebagian besarnya diisi oleh perjuangan perempuan.
Oleh karena itu, aksi massa yang kami lakukan hari ini adalah akumulasi kemarahan. Kami sangat kecewa, karena itikad baik pemerintah kabupaten Humbang Hasundutan tak kunjung terlihat. Kami juga sakit hati melihat segala proyek pembangunan berlangsung di tengah ketakutan dan kecemasan yang kami alami.
Jika harus dirangkum dalam beberapa poin, inilah tuntutan kami hari ini:
1. Mendesak penerbitan Peraturan Daerah Humbang Hasundutan Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Adat;
2. Menuntut tindak lanjut penyelesaian tata batas dan pemetaan wilayah adat sesuai dengan SK No. 138/KPTS/1979;
3. Apabila Bupati Dosmar Banjarnahor tidak mampu melanjutkan penyelesaian Tanah Adat Ria-ria, maka kami meminta dokumen asli SK Tanah Adat Ria-Ria No. 138/Kpts./1979 dikembalikan ke tangan kami untuk kami pergunakan dalam upaya penyelesaian oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi;
4. Mendesak Bupati meminta maaf kepada Masyarakat Adat Ria-Ria terkait penghinaan terhadap Perjuangan Tanah Adat Ria-Ria;
5. Hentikan aktivitas investor di Food Estate sampai ada penyelesaian konflik Tanah Adat Ria-Ria;
6. Kepada Polres Humbang Hasundutan untuk mengawal penghentian aktivitas di Sigende sesuai dengan perjanjian Stampas pada Senin, 12 Februari 2024;
7. Hentikan proses pidana terhadap anggota Masyarakat Adat Ria-ria sebelum adanya penyelesaian sengketa Tanah Adat Desa Ria-Ria.
Kami berharap, aksi massa ini menyita perhatian publik dan pemangku kebijakan dari tingkat daerah hingga pusat. Pada pokoknya, ini semua adalah kesalahan negara. Dengan demikian, segala penyelesaian dan pemenuhan hak kami maupun komunitas masyarakat adat di sekitar kami, adalah tanggung jawab negara.
Kiranya Ria-Ria Melawan! Berdampak signifikan bagi Perjuangan hak atas tanah di Humbang Hasundutan, dan di seluruh penjuru negeri. Agar semua orang sadar, bahwa proyek strategis nasional bukanlah pembenaran bagi penelantaran hak rakyat.
Salam juang!
Narahubung:
Mardianton Lumban Gaol (081377183584)