Lumban Ina ina (13/09/2022). Konflik agraria di Indonesia, terutama di Sumatera Utara, banyak terjadi karena tumpang-tindih di dalam kebijakan Kawasan Hutan Negara oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Areal Penggunaan Lain (APL) yang diurus oleh Kementerian ATR/BPN atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Dinas Pertanahan. Banyak konflik antara masyarakat dan Kawasan Hutan Negara berasal dari ketidaktahuan masyarakat bahwa tanah mereka ternyata masuk ke dalam kawasan hutan, dan lebih parah lagi ketika tiba tiba ada ijin pembangunan dan/atau perusahaan yang diberi ijin oleh KLHK untuk bekerja di sana.
Masyarakat Desa Lumban Ina-ina, Kecamatan Pagaran, Kabupaten Tapanuli Utara, juga mengalami hal yang sama. Secara tidak langsung mereka tereksklusi dari tanahnya karena kebijakan Hutan Negara ini. Mereka berkonflik dengan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan titik koordinat N 2֯ 12’ 24.2”, E 98֯ 55’ 01.4”, seluas kurang lebih 1200 hektar. Luasan tersebut bukan hanya meliputi Desa Lumban Ina-Ina, tetapi juga termasuk Desa Sipultak dan Sipultak Dolok.
Bersamaan dengan kebijakan Hutan Negara tersebut, PT Marlian Indah Karya (MIK) – perusahaan tambang yang berkantor di Perum Highland Cluster Hoston Block B No. 01, Serang, Banten – muncul dan mulai beroperasi di wilayah mereka seluas 22.6 Ha[1], yang dalam sehari dapat mengeluarkan batu berkisar 700-800 meter kubik[2]. Tentu ini sangat berbeda dengan pertambangan batu yang dikelola oleh masyarakat yang hanya mengeluarkan 2-3 kubik per keluarga per hari. Tentu aktivitas masyarakat jadi terganggu karena mereka hanya menggunakan alat tambang manual sedangkan perusahaan dapat dengan cepat mengeluarkan batu dari lokasi yang sama.
Konflik dan perjuangan masyarakat Lumban Ina ina dan Sipultak sudah berlangsung sejak tahun 2017. Mereka pernah menolak dan melakukan demontrasi penolakan terhadap PT MIK. Saat itu, Op. Lokkot, yang menjadi kepala desa di periode sebelumnya (2015-2021), sempat berhasil menolak perusahaan hadir di tanah mereka. Namun pada tahun 2021, perusahaan kembali berjalan dan bahkan sekarang ada police-line yang dibentangkan di makam nenek moyang mereka. Pada tahun yang sama, KLHK memasang patok-patok batas Kawasan Hutan dengan fungsi HPT di sekitar kawasan mereka.
Menurut Okenews[3], PT MIK merupakan penambang liar yang sudah pernah ditangkap oleh tim gabungan Polres Taput dan Pemkab Taput, karena belum memiliki izin galian C, AMDAL, dan UKL-UPL dari instansi terkait.
Terkait demonstrasi pada Juni 2021, Op. Lokkot menyebutkan bahwa aparat yang datang tidak jelas surat tugasnya. Surat itu mengatakan bahwa mereka ditugaskan untuk menertibkan masyarakat di Desa Sipultak, sedangkan kejadian tersebut berlangsung di dalam kawasan Desa Lumban Ina-Ina. “Saat itu kami memasang patok bahwa tanah ini milik Pomparan Op. Mulia Raja Lumbantoruan, dan masyarakat Desa Sipultak tidak pernah keberatan atas itu, bahkan mereka juga mendukung gerakan kami untuk menolak kehadiran perusahaan (PT MIK) untuk beroperasi di sini,” jelas Op. Lokkot saat kami berbincang-bincang di salah satu kedai di sana.
Saat aksi pada Juni 2021, masyarakat menyampaikan sikap yang jelas, yaitu bahwa kehadiran perusahaan telah menyebabkan pencemaran lingkungan seperti polusi udara karena debu perusahaan, jalan-jalan yang rusak akibat truk-truk besar pengangkut hasil tambang, dan yang paling parah lagi, tambang-tambang mandiri milik masyarakat menjadi tutup. Mayoritas masyarakat setempat adalah penambang batu tradisional yang setiap hari hanya mengeluarkan 2-3 kubik batu, dan sangat memperhatikan kelestarian lingkungan di sana. Mereka menyebutkan bahwa “bukit-bukit” itu adalah menjadi sumber utama pencaharian mereka, maka sangat penting pengakuan hak mereka atas sumber-sumber agraria yang mereka miliki.
Secara asal-usul, tanah ini adalah milik keturunan Op. Mulia Raja Lumbantoruan, dan masyarakat yang tinggal di Desa Lumban Ina-ina dan Sipultak kurang lebih sudah 12 generasi. Artinya, keturunan Op. Mulia Raja Lumbantoruan sudah bermukim dan mengusahai tanah ini selama sekitar 300 tahun. Jadi hingga saat ini, ada sekitar 400 KK yang berkepentingan di tanah tersebut, dari total 500 KK penduduk Desa Lumban Ina-Ina.
Pada tahun 2007, mereka baru menemukan kembali makam leluhur mereka dan melakukan renovasi sederhana. Kemudian, pada tahun 2020 mereka kembali merenovasi makam leluhur mereka dengan lebih serius, namun tidak disangka malah dipasangi police-line oleh Satpol-PP. “Ya bagaimana, kan namanya orang Batak, ketika ada makam leluhur kami yang kondisinya tidak baik, pasti kami perbarui menjadi bangunan yang lebih layak, tapi malah tidak lama setelah makam itu selesai ada pemasangan police-line di makam tersebut,” jelas salah satu kawan tongkrongan Op. Lokkot yang ikut juga dalam diskusi kami.
Pada tahun 2019, Desa Lumban Ina-Ina pernah mengajukan permohonan Tanan Objek Reforma Agraria (TORA) terhadap sekitar 70-90 Ha, namun menurut mereka tidak pernah ada kelanjutan yang jelas tentang tanah TORA mereka. Bahkan, masyarakat mengatakan bahwa ada sebagian kawasan yang tidak ada patoknya, dan diduga milik Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan. Jadi, menurut mereka, bentuk patok kawasan hutan ini seperti setengah lingkaran, dan berhenti pada tanah tersebut. Maka, mereka sangat bingung mengenai kepemilikan tanah mereka.
Mengenai semua kejadian ini, mereka pernah mengirimkan surat keberatan kepada pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, mereka mengirimkan surat ke Gubernur Sumatera Utara, Bupati Tapanuli Utara, Kapolres dan Kapolda, Dinas Lingkungan Hidup Tapanuli Utara, dan Dinas Pertanahan Tapanuli Utara. Namun hingga saat ini semua surat itu belum mendapatkan respon apapunnya.
Selama ini masyarakat memanfaatkan tanah itu sebagai sumber penghidupan untuk kebutuhan sehari-hari. Dari segi fungsi, di tanah tersebut terdapat areal peternakan, perkebunan, tambang batu masyarakat, hasil hutan, dan bahkan perumahan. Terdapat sekitar 5 rumah di kawasan tersebut yang berada di dalam kawasan Hutan dengan fungsi HPT. Fakta-fakta di atas jelas-jelas memperlihatkan terjadinya eksklusi masyarakat dari tanahnya sendiri, salah satunya lewat penetapan kawasan hutan yang terjadi tanpa partisipasi masyarakat. Melalui kebijakan negara, masyarakat secara perlahan terusir dari tanah mereka, terkadang tanpa sepengetahuan mereka sebagai pemilik tanah. Tambah lagi, dikotomi legal-illegal selama ini dijadikan alasan oleh industri modal besar untuk mengukuhkan diri mereka. Sebagai contoh, pada 2016 PT. MIK belum menjadi perusahaan yang resmi mendapatkan izin, namun sekarang mereka memiliki izin dan bahkan memanfaatkan kebijakan Hutan Produksi Terbatas untuk mengeksklusi masyarakat dari ruang hidupnya. **
[1] Situs resmi PT Marlian Indah Karya (MIK) https://marlianindahkarya.blogspot.com/2018/08/pt-marlian-indah-karya_97.html
[2] https://realitasonline.id/sumut/tambang-batu-di-pagaran-taput-mik-punya-izin-warga-protes/
[3] https://news.okezone.com/read/2016/03/24/340/1344565/tim-gabungan-amankan-lokasi-penambangan-liar-di-tapanuli-utara