Di bawah Bayang-bayang Pariwisata

Janji pengembangan pariwisata bertaraf internasional seringkali bertolak belakang dengan realita yang dihadapi oleh masyarakat. Kendati pembangunan pariwisata mendapat kucuran anggaran negara yang besar, tetapi infrastruktur desa sebagai akses jalan utama desa pun jauh dari kondisi layak. 

Bagi pemerintah, pariwisata digadang-gadang sebagai salah satu sektor yang paling berkontribusi meningkatkan pendapatan negara. Ingin meniru pariwisata Bali yang sangat berkontribusi pada peningkatan devisa negara, pemerintah ingin menjadikan Danau Toba sebagai Bali baru.

Wisata Desa Huta Ginjang

Wisata Kaldera di Huta Ginjang dikelola oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Tapanuli Utara. Kendaraan pengunjung dikenai biaya retribusi dan hal ini menjadi sumber pendapatan Dinas Pariwisata Pemerintah Daerah. Selain dari retribusi, pemda memiliki sekitar 15 lapak jualan yang disewakan kepada masyarakat Desa Huta Ginjang. Namun, dari pengamatan saya, tidak semua lapak terisi dan beberapa malah tutup dalam waktu yang lama.
Menurut Ibu Aritonang, salah satu pedagang di Kaldera Huta Ginjang, berdagang di lokasi wisata ini tidak meningkatkan ekonomi secara signifikan mengingat pengunjung juga musiman. Pengunjung biasanya ramai hanya pada akhir tahun, awal tahun dan week-end panjang. Dia juga mengatakan bahwa pengunjung terkadang hanya datang sebentar untuk foto-foto kemudian segera pergi tanpa membeli sesuatu. Beliau tidak menyalahkan selera pengunjung seperti itu. Namun, mengingat para pedagang di Kaldera sekarang fokus berjualan, mereka tidak lagi konsisten untuk bertani. Akibatnya, beberapa lahan pertanian akhirnya terabaikan.

Ketidakpastian penghasilan dari pariwisata ini membuat beberapa pedagang menutup lapak jualan dan hanya buka pada saat tertentu, seperti week-end panjang. Kendati begitu, para pedagang tetap membayar pajak lapak setiap tahun. Pada hari-hari biasa mereka akan tetap bertani karena menganggap bahwa pertanian bisa memberi penghasilan pasti untuk   mencukupi kebutuhan rumah tangga.

Saat cuaca ditandai angin kencang para pedagang di  Kawasan Wisata Kaldera terkadang kewalahan karena perlengkapan jualan seperti tenda dan kursi plastik rawan terbawa angin. Berkali kali mereka mengganti tenda karena rusak. Situasi tersebut membuat beberapa pedagang harus merogoh kantung sendiri untuk membangun tempat berjualan yang lebih kokoh dari kayu dan atap seng. Selain itu, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan mengenai menu yang bisa dijual. Ini membatasi keleluasaan berdagang. Ibu Aritonang, misalnya, ingin membuka rumah makan dengan menu daging babi tetapi harus mengurungkan niatnya karena larangan menjual makanan tidak halal di kawasan wisata.

Program homestay di Huta Ginjang menjadi berkah bagi orang yang menerima anggaran tersebut karena mendapat kesempatan perbaikan rumah. Akan tetapi, seorang bidan di desa ini yang pernah ditawari program homestay dengan anggaran cukup menggiurkan dari pemerintah menolak tawaran itu. Dia belajar dari pengalaman saudaranya yang menerima program tersebut, tetapi menurutnya ada  konsekuensi yang mengkuatirkan. Homestay dari  pemerintah bisa ditarik dan menjadi aset pemerintah jika ada kelalaian dalam pengelolaannya. Bidan desa ini menolak karena memikirkan konsekuensi jangka panjang yang mungkin terjadi.

Desa Huta Ginjang menerima bantuan program homestay untuk sekitar 10 unit rumah. Masyarakat tidak cukup mengetahui proses penyaluran bantuan ini, misalnya dalam hal kriteria kelayakan penerima.  Hal ini tentu saja menimbulkan kecemburuan sebagian anggota masyarakat.

Di tengah optimisme sektor pariwisata, pemerintah ternyata belum memperhatikan kebutuhan mendasar masyarakat Desa Huta Ginjang. Masyarakat desa ini sudah sejak lama  mengeluhkan sulitnya akses akan air. Banyak kampanye politik untuk meraup suara memberi janji-janji untuk membangun sumber air namun realitanya banyak masyarakat masih mengandalkan air hujan untuk mencuci, mandi bahkan air minum. Bagaimana kita menyambut wisatawan di tengah keterbatasan air seperti ini?

Desa Wisata Sarimarihit, Kecamatan Sianjur Mula-Mula

Masyarakat desa ini pernah menjadi mitra dampingan KSPPM tetapi sudah lama tidak ada pendampingan karena masyarakat memilih menjadi kelompok binaan pemerintah.

Desa Sarimarihit sendiri merupakan tempat sakral sebagai awal mula peradaban orang Batak yang dijadikan wisata sejarah. Salah satunya adalah Batu Hobon yang berada di dekat lahan pertanian masyarakat Desa Sarimarihit. Keinginan dan harapan pembangunan yang memajukan suatu daerah dan perekonomian yang lebih sejahtera membuat masyarakat tergiur bujukan pemerintah untuk menjadikan Batu Hobon sebagai destinasi wisata. Op. Putri Limbong, salah seorang pemilik lahan di sekitar Batu Hobon, tidak mengharapkan ganti rugi demi kemajuan daerah tersebut. Namun, belakangan masyarakat semakin gelisah melihat pemerintah mulai mengenakan retribusi kepada pengunjung tanpa keterlibatan masyarakat dalam mengelola kawasan wisata tersebut.

Bagaimana kalau anak cucu kami datang dari perantauan dan sekedar ingin ziarah ke tempat tersebut? Apakah mereka akan dipungut biaya?” kata Op. Putri Limbong. Lokasi bersejarah milik masyarakat yang diberikan untuk pengembangan wisata akhirnya “diprivatisasi” oleh pemerintah. Melalui kelompoknya, Op. Putri dan anggota lain mulai mendiskusikan bagaimana kawasan pariwisata ini bisa dikelola oleh masyarakat sendiri. Masyarakat siap membagi hasil atau keuntungan demi meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Samosir. Selama ini masyarakat merasa sebagai penonton saja di tengah pembangunan gemerlap pariwisata di tanahnya sendiri.

Sebagaimana di Huta Ginjang, di tengah pengembangan wisata, hak-hak dasar masyarakat belum diberikan oleh negara. Terkait air, misalnya, banyak penduduk masih kekurangan air dan mengandalkan mata air yang letaknya jauh dari lokasi perkampungan masyarakat, sementara sebagian lagi berlebihan air.

Masalah lainnya adalah masyarakat adat yang memiliki aturan hukum serta struktur dengan pembagian peran dan fungsi masing-masing. Tatanan masyarakat adat seperti ini mulai tergerus dan secara bertahap bisa hilang. Alasannya, masyarakat mulai resah dengan pembentukan Lembaga Adat Desa. Sejumlah pranata adat akhirnya berubah dan peran para tetua adat telah diambil alih oleh orang-orang yang masuk dalam struktur Lembaga Adat Desa. Menurut Op. Limbong, keberadaan lembaga adat desa mesti perlu dikaji. Keberadaannya sebagai bagian dari konsep pariwisata berbasis komunitas mestinya tidak menimbulkan konflik dengan lembaga adat yang sudah ada saat ini. 

Pantai Pasir Putih sebagai destinasi pariwisata baru-baru ini juga mengalami problem seperti di Huta Ginjang. Para pedagang di lokasi tersebut protes atas kebijakan pemerintah daerah menggusur lapak usaha mereka di pantai. Pemerintah ingin membangun jogging track di sekitar pantai dan hal ini berpotensi menghilangkan sumber mata pencaharian sebagian masyarakat. Di lokasi tersebut, ada pelaku usaha yang baru saja membangun hotel dan pondok yang menyentuh bibir pantai. Sementara keuntungan dari usaha belum bisa menutup modal yang mereka keluarkan, semua ini mesti digusur karena pembangunan jogging track pemerintah. Masyarakat tidak mendengar kabar tentang ganti rugi dari pemerintah.  

Masyarakat desa umumnya di Kawasan Danau Toba, secara khusus di Huta Ginjang, Sigapiton, Bakkara dan Sarimarihit masih mengandalkan pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama.

Sementara itu, pemerintah sedang sangat getol mendorong sektor pariwisata sebagai alternatif pengembangan ekonomi rakyat dan peningkatan pendapatan negara. Pengembangan sektor pariwisata ini kemudian berdampak pada peralihan mata pencaharian masyarakat seperti di Desa Huta Ginjang. Warga desa yang semula bertani kini menjadi pedagang, tukang parkir, bahkan ada yang memiliki usaha penginapan. Namun peralihan pekerjaan tersebut hanya terjadi pada sebagian kecil warga desa. Sebagian besar masyarakat masih tetap bertani. Pasalnya, para pelaku wisata didominasi oleh orang-orang dengan modal besar dan jaringan luas, baik ke pemerintah maupun pasar.

Pandemi Covid-19 yang membuat lokasi-lokasi wisata sepi pengunjung menjadi bukti bahwa pariwisata gagal menjadi sumber penghidupan utama bagi pelaku wisata. Para pedagang di Huta Ginjang dan Sigapiton akhirnya tutup dan kembali mengandalkan pertanian. Dalam kondisi normal seperti saat ini pun, pelaku wisata di Huta Ginjang lebih banyak yang tutup.

Desa Wisata Sigapiton:
Yang didapat tak sebanding dengan yang hilang

Dalam sebuah percakapan ringan, Pak Nadapdap, salah satu warga Desa Sigapiton mengatakan,

“Masyarakat Desa Sigapiton ini sudah malas bekerja dan lebih banyak waktu di lapo daripada di ladang dan sawah karena pemerintah sudah kasih banyak bantuan PKH, BLT, sembako, bedah rumah dan homestay.”

Salah satu warung di Desa Sigapiton yang sudah tutup,
tidak jauh dari pembangunan megah Kaldera (Dok. KSPPM)

Terkesan terjadi secara sistematis, masyarakat Sigapiton sebagai masyarakat adat telah kehilangan tanah adatnya karena kawasan tersebut masuk dalam Kawasan Hutan Negara. Kawasan tersebut saat ini menjadi wisata kaldera yang dikelola oleh BPODT. Pengelolaan pariwisata oleh BPODT pada gilirannya menjadi karpet merah bagi investor seperti Hotel Bobobox yang dikelola secara profesional. Pembangunan homestay masyarakat terkesan sebagai program simbolis yang ingin menunjukkan bahwa pemerintah menyiapkan  masyarakat untuk menyambut wisatawan. Dalam kenyatannya, masyarakat yang basis ekonominya adalah pertanian kini  harus bersaing dengan pemilik modal yang telah menguasai pasar. 

Sejak pengembangan awal pariwisata di desa ini, pemerintah belum melakukan konsultasi dengan masyarakat, khususnya membahas dampak-dampak dari pariwisata. Tentu saja pariwisata tidak hanya membawa keuntungan dan dampak positif, tetapi juga dampak negatif bagi lingkungan dan ha katas tanah masyarakat.  

Oppung Casandra, seorang warga Desa Sigapiton, menyatakan, “Kami masyarakat tidak tahu apa maksud pemerintah mengatakan bahwa tempat kami masuk dalam proyek superprioritas pariwisata internasional. Akankah kami sejahtera dengan pariwisata ini sementara kami kebiasaannya adalah bertani?” Pernyataan Oppung Casandra ini cukup mewakili isi hati masyarakat Sigapiton yang sebenarnya tidak paham dan kecewa karena semua program pembangunan berangkat dari kehendak pemerintah tanpa mempertanyakan apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakat sebenarnya.

Terbukti, sejak hadirnya The Kaldera 2 tahun lalu,  bencana seperti longsor dan banjir sudah terjadi beberapa kali. Pada Maret 2022 dan 27 Agustus 2022, longsor yang terjadi semakin besar dan jalan-jalan desa yang sudah berlubang dan penuh batupun semakin menganga. Sementara itu menurut keterangan kepala desa masyarakat ternyata dikenakan pungutan swadaya sebesar Rp 5.000 per keluarga untuk biaya pemeliharaan saluran air dan perbaikan jalan. Meskipun tidak semua warga desa tertib dalam membayar, pungutan seperti ini menegaskan bahwa masyarakat sendirilah yang menanggung beban kerusakan lingkungan yang berdampak langsung atas hidup mereka.  

Masyarakat Sigapiton adalah pihak yang paling dirugikan dari peristiwa seperti ini. Buruknya infrastruktur jalan ke desa makin parah oleh longsor tersebut. Sejahtera melalui pariwisata ini hanya sebatas wacana yang ternyata justru membuat masyarakat makin terpuruk dan sumber penghidupannya terancam.

Masyarakat Sigapiton sedikit merasakan hembusan angin segar oleh wacana pemerintah yang akan membangun jalan desa ini. Keluhan dan penantian panjang akhirnya mendapat respon juga. Jika pengembangan pariwisata akhirnya menjadi pendorong bagi pembangunan jalan ini, hal itu tentu tetap layak disyukuri. Akan tetapi seperti biasa masyarakat harus berkorban lagi, bahkan lebih banyak lagi jika jalan ini dibangun.

“Kami tidak menolak jalan kami dibangun, bahkan sudah lama kami berharap jalan itu diperbaiki, tetapi saat ini pemerintah telah membuat patok supaya jalan lebih lebar, sementara kami hanya mengandalkan lahan pertanian ini untuk hidup,” kata Op. Casandra.

Dengan wajah kebingungan dan khawatir, Op. Casandra menyampaikan betapa untuk mendapatkan hak dasarnya dari pemerintah, seperti jalan, masyarakat ternyata harus membayar mahal. Jalan dengan lebar sekitar 2,5 meter ini merupakan lahan pertanian masyarakat yang dibebaskan untuk dibangun jalan agar masyarakat bisa mengangkut hasil pertanian. Namun, pemerintah membuat patok baru di lahan pertanian masyarakat yang melebarkan jalan menjadi sekitar 3 meter. Artinya, lahan pertanian yang sudah sempit akan semakin sempit dan akan sangat signifikan menurunkan penghasilan petani. Anggaran untuk pelebaran jalan ini juga sangat mubajir. Pembangunan di negara ini ternyata tidak berubah sejak jaman Orde Baru dimana kebijakan yang dibuat masih menganut logika developmentalism (pembangunanisme). Kejadian di desa-desa yang digadang-gadang untuk pariwisata memperlihatkan betapa program pariwisata ini hanyalah kehendak pemerintah (top down), sementara hak dasar masyarakat seperti jaminan hak atas tanah dan air masih terancam. Selain itu, pembangunan oleh pemerintah juga membahayakan budaya dan akses masyarakat ke tempat sakral. Sesungguhnya,  yang telah teramat lama dinantikan oleh masyarakat dari pemerintah adalah jaminan hak atas tanah dan perlindungan sebagai petani.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *