Setiap tahunnya, tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional (HTN). Hari Tani Nasional merupakan bentuk peringatan dalam mengenang sejarah perjuangan kaum petani serta membebaskannya dari penderitaan. Sejarah Hari Tani Nasional bermula pada tahun 1960, yaitu ketika disahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengisyaratkan agar Negara melakukan Reforma Agraria untuk merombak struktur agraria yang timpang menjadi lebih berkeadilan agar sumber-sumber agraria bisa dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Reforma agraria yang dimaksud bukan hanya menyangkut aset reform, namun juga mencakup akses reform yang perlu dipastikan agar terjaminnya akses petani terhadap sarana produksi yang bermutu tinggi, informasi dan pasar, perlindungan usaha tani, serta teknologi tepat guna.
Namun sejak Orde Baru, salah satu cita-cita kemerdekaan Indonesia yaitu Reforma Agraria mengalami penyempitan makna. Peran petani sebagai kekuatan produktif dikesampingkan dan pembangunan bertumpu kepada hutang dan investasi yang banyak mengusir petani dari tanahnya. Semakin hari kehidupan petani semakin memburuk akibat tidak dijalankannya Reforma Agraria. Selain itu, minimnya perlindungan untuk resiko usaha pertanian dari pemerintah juga menjadikan petani harus berjuang sendiri untuk menghadapi resiko-resiko yang mengancam usaha pertaniannya. Bahkan tak jarang petani yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya diintimidasi bahkan dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum atas nama pembangunan.
Dalam rangka mengenang sejarah sekaligus mengingatkan kembali pemerintah untuk memenuhi hak para petani, Kamis, 21 September 2023, sekitar 300 petani tergabung dalam Aliansi Mayarakat sipil untuk Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di Samosir (AMPP3R) yang terdiri dari Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS), Komunitas Masyarakat Adat dan mahasiswa melakukan aksi demontrasi di Kantor DPRD Samosir dan Kantor Bupati Samosir.
Pada aksi ini, saat di Kantor DPRD Samosir massa aksi ditemui oleh Pantas Naroha Sinaga selaku Wakil Ketua DPRD, Pilippus Pandiangan, dan Saut Tua Silalahi. Henrika Sitanggang selaku Pemimpin Aksi dalam orasi menyampaikan berbagai kondisi petani di Samosir yang saat ini belum berdaulat. Mulai dari kesulitan mendapatkan modal, bibit, hingga tidak adanya kepastian harga bagi para petani yang menyebabkan petani jauh dari kata sejahtera. “Aksi kami hari ini untuk menjemput keadilan atas hak kami sebagai petani yang harus dilindungi dan diberdayakan oleh pemerintah kabupaten,” ujarnya.
Sandres Siahaan perwakilan aliansi dari KSPPM menambahkan mayoritas penduduk Samosir masih menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian. Menurut data Badan Pusat Statistik Samosir Tahun 2023, pembentukan PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Samosir tahun 2022 masih didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan dan perikanan dengan nilai mencapai 2.647,62 miliar rupiah (51,25 persen). Data ini mengisyaratkan bahwa usaha pertanian, kehutanan dan perikanan akan menggerakkan sektor ekonomi lainnya di Kabupaten Samosir. Namun, sumbangsih yang besar ini belum dianggap penting oleh Pemerintah Kabupaten Samosir. Segala resiko usaha tani seperti gagal panen, fluktuasi harga, harga input pertanian yang mahal dan keterbatasan akses informasi dan pengetahuan masih dihadapi sendiri oleh petani.
Padahal, pada 6 Agustus 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU P3). Melalui kebijakan ini, pemerintah mengklaim bahwa petani tidak lagi sendiri. Artinya, negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada petani. Sebenarnya, UU ini juga menginstruksikan agar Pemerintah Kabupaten menerbitkan Peraturan Daerah sebagai turunan dari UU ini. Namun, hingga saat ini, dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Serikat Tani Kabupaten, Pemerintah Kabupaten Samosir masih saja belum menganggap Kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagai hal yang wajib untuk memastikan keberlanjutan penghidupan petani di pedesaan.
Di sisi lain, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Samosir dari tahun ke tahun juga belum berpihak kepada petani. Persentase anggaran yang dirasakan langsung oleh petani masih sangat kecil. Anggaran menjadi dasar penting dalam pemenuhan hak petani. UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani juga sebenarnya menginstruksikan untuk pengalokasikan anggaran guna menjamin perlindungan dan pemberdayaan petani.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan DPRD mengatakan bahwa Samosir sudah memiliki Draf Rancangan Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di Samosir. Namun, ketika massa aksi sudah bersedia masuk ke dalam kantor DPRD untuk melihat langsung dokumen draf, ternyata yang ditunjukkan justru draf rancangan Perda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan yang merupakan turunan dari UU nomor 41 tahun 2009. Dalam aksi ini, massa aksi kembali menegaskan bahwa yang menjadi tututan para petani adalah Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang berlandaskan pada UU Nomor 19 tahun 2013.
Kegagalan DPRD Samosir memahami tuntutan dan kebutuhan rakyat membuat aliansi kecewa. Aliansi menyayangkan DPRD tidak mengetahui secara substansi tuntutan masyarakat. Padahal, aksi ini bukan pertama kali dilakukan oleh Aliansi. Selanjutnya, DPRD berjanji akan segera melaksanakan rapat dengar pendapat pada bulan Oktober untuk membahas secara mendalam tuntutan aliansi agar segera menerbitkan Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di Samosir.
Masyarakat kembali dikecewakan ketika sampai di Kantor Bupati Samosir. Massa aksi hanya ditemui oleh perwakilan dari Bupati Samosir Vandiko Timotius Gultom. Padahal, dalam beberapa kali audiensi yang dilakukan oleh Serikat Tani Kabupaten Samosir dengan perwakilan Pemkab untuk membahas tuntutan Ranperda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ini sama sekali tidak ada tindak lanjut.
Iwan Nando Samosir, perwakilan dari KSPPM menyampaikan kekecewaannya karena perwakilan bupati tidak menjelaskan secara jujur keberadaan Bupati. Masyarakat merasa dibohongi dan mengatakan bahwa Bupati Samosir takut pada rakyatnya sendiri. Pemerintah Daerah Samosir hingga kini menutup mata dan telinga untuk mendengar kebutuhan masyarakat atas Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ini.
“Kami akan kembali lagi dengan massa lebih besar untuk memastikan agar Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani segera diterbitkan di Samosir,“ tegas Nando.***