07 Agustus 2025 menjadi hari yang tak akan dilupakan oleh Komunitas Masyarakat Adat Op. Raja Nasomalomarhohos Natinggir, Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Pagi itu, tanah adat mereka kembali dikepung, diserbu, dan dirusak oleh kekuatan besar yang datang membawa, bibit eukaliptus, dan pasukan pendukung. Di balik semua itu, berdirilah nama yang sudah lama menjadi momok di Tano Batak: PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Perusahaan ini, yang dulunya bernama PT Inti Indorayon Utama, sudah hampir empat dekade bercokol di tanah Batak. Sejak awal, kehadirannya lebih sering menimbulkan konflik ketimbang manfaat. Bukan hanya kerusakan alam yang mereka tinggalkan, tapi juga jejak kerusuhan, kehilangan ruang hidup, bahkan ratusan nyawa yang melayang.
Kerusuhan Kamis itu tidak sekadar menyisakan luka fisik dan kerusakan fasilitas. Yang lebih mengerikan adalah luka batin yang membekas di hati warga, terutama anak-anak yang sebagian besar masih di bawah umur. Mereka tumbuh dengan rasa takut, kehilangan rasa aman, dan terancam kehilangan tanah warisan leluhur—satu-satunya sumber hidup mereka.
Di atas lahan yang mereka tanami dengan padi, jahe, dan berbagai tanaman pangan, berdiri tegak bibit-bibit eukaliptus milik perusahaan. Seakan sengaja, perusahaan menanamnya di atas hasil kerja warga. Perlawanan? Hampir mustahil. “Jika saat ini kami melawan mereka yang ratusan, sedangkan kami hanya puluhan orang, jelas kami hanya akan memberikan nyawa kami,” tutur Rudolf Pasaribu dengan mata basah.
Suara tangis dan keluhan para ibu terdengar di setiap sudut kampung:“Kemana kami? Apa yang harus kami lakukan? Bagaimana nasib kami ke depan? Kenapa tidak ada kepedulian pemerintah kepada kami? Apa yang salah, Tuhan?”
Anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar kini memendam trauma. Para petani resah memikirkan masa depan. Sebab 100% kehidupan mereka bergantung pada hasil pertanian. Bila tanah ini jatuh ke tangan perusahaan, habislah sumber penghidupan mereka. Ironisnya, pemerintah yang dulu memuji mereka sebagai kelompok tani terbaik di Kabupaten Toba—penyuplai jahe terbesar—kini bungkam seolah tuli dan buta.
Rumah yang mestinya menjadi tempat berlindung kini diselimuti ketakutan. Setiap mobil asing yang lewat memicu kecemasan. Warga mengaku, tubuh mereka memang masih berdiri, tapi jiwa mereka terguncang. Trauma itu belum pulih. Ancaman dan intimidasi masih bergema di kepala. “Kami sudah tak punya ruang untuk mengadu,” ungkap Rumenti Pasaribu lirih.

Di tengah kegelapan itu, secercah harapan datang. Ephorus HKI Firman Sibarani, M.Th, bersama sejumlah pendeta dari berbagai denominasi, datang mengunjungi Natinggir. Mereka melihat langsung luka yang ditinggalkan kerusuhan. Acara diawali ibadah penguatan, lalu masyarakat menceritakan kronologi kejadian. Air mata jatuh bukan hanya dari warga, tetapi juga dari para tamu yang mendengar.
Sebagai simbol doa pengharapan, para pimpinan gereja menyerahkan beras Sipir Ni Tondi kepada warga. Pesan-pesan penguatan disampaikan, salah satunya melalui kisah Kebun Anggur Nabot dari Kitab 1 Raja-raja 21:1–10—tentang mempertahankan tanah meski nyawa menjadi taruhannya. “Tuhan menciptakan tanah hanya sekali. Tanah tidak akan bertambah, sementara manusia akan terus bertambah. Karena itu, perjuangan harus dirawat. Api perlawanan jangan padam. Lawanlah tanpa kekerasan, dengan kebijaksanaan dari Tuhan,” pesan mereka.

Para pendeta juga mengingatkan bahwa gereja tidak boleh hanya menjadi penonton dalam menghadapi ketidakadilan. Gereja harus hadir, membawa damai, sekaligus memperjuangkan hak-hak masyarakat. Bukan hanya untuk mengunjungi, tapi juga untuk menyusun strategi bersama demi memastikan pemerintah tidak lagi menutup mata.
Ephorus menutup dengan ayat Amsal 31:8–9: “Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil, dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka.” Pesan itu menjadi pengingat bahwa diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan. Di Natinggir, air mata belum berhenti mengalir, tapi api perjuangan—meski kecil—masih menyala