\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nAbdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nDian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nAbdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nKedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nTidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n <\/figure>\n\n\n\nTidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nTokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\n <\/figure>\n\n\n\nTokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nPara peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nDelima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n
Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nDari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n
Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n
Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\nManogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.** (Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};
\nPeliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\nDari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n
Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n
Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nTidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\nDi akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\nJumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\nAbdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\nRoki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n <\/figure>\n\n\n\n\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n
\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan