\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n
\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n
\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n
\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n
\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n
\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n
\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n
\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Suka Duka Komunitas MA Op. Bolus<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

<\/p>\n\n\n\n

Suka Duka Komunitas MA Op. Bolus<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cBukan tidak lelah; perjuangan itu justru lelah sekali. Namun, saya menyadari bahwa semua keringat yang tercucur akan menghasilkan sesuatu yang baik\u201d terangnya.<\/p>\n\n\n\n

<\/p>\n\n\n\n

Suka Duka Komunitas MA Op. Bolus<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Op. Dimas Siregar, salah seorang pengurus komunitas, juga menceritakan bagaimana harus pergi ke Jakarta mewakili komunitas untuk mengurus keperluan administrasi wilayah adat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBukan tidak lelah; perjuangan itu justru lelah sekali. Namun, saya menyadari bahwa semua keringat yang tercucur akan menghasilkan sesuatu yang baik\u201d terangnya.<\/p>\n\n\n\n

<\/p>\n\n\n\n

Suka Duka Komunitas MA Op. Bolus<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

\u201cKurang lebih enam tahun lamanya kami memperjuangkan wilayah adat kami ini; akhirnya kami mendapatkan apa yang kami cari. Kami telah menerima SK Penetapan Hutan Adat dari Presiden Jokowi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

Op. Dimas Siregar, salah seorang pengurus komunitas, juga menceritakan bagaimana harus pergi ke Jakarta mewakili komunitas untuk mengurus keperluan administrasi wilayah adat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBukan tidak lelah; perjuangan itu justru lelah sekali. Namun, saya menyadari bahwa semua keringat yang tercucur akan menghasilkan sesuatu yang baik\u201d terangnya.<\/p>\n\n\n\n

<\/p>\n\n\n\n

Suka Duka Komunitas MA Op. Bolus<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Masyarakat Adat Si Opat Marga, Bius Huta Ginjang (Rajagukguk, Simare-mare, Aritonang dan Siregar) mengucapkan rasa syukur karena telah menerima SK Penetapan Hutan Adat dari Negara pada awal bulan Februari 2022.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKurang lebih enam tahun lamanya kami memperjuangkan wilayah adat kami ini; akhirnya kami mendapatkan apa yang kami cari. Kami telah menerima SK Penetapan Hutan Adat dari Presiden Jokowi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

Op. Dimas Siregar, salah seorang pengurus komunitas, juga menceritakan bagaimana harus pergi ke Jakarta mewakili komunitas untuk mengurus keperluan administrasi wilayah adat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBukan tidak lelah; perjuangan itu justru lelah sekali. Namun, saya menyadari bahwa semua keringat yang tercucur akan menghasilkan sesuatu yang baik\u201d terangnya.<\/p>\n\n\n\n

<\/p>\n\n\n\n

Suka Duka Komunitas MA Op. Bolus<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

\n

Pada hari kedua Festival Bumi dan Manusia di Desa Huta Ginjang (Jumat, 20\/5\/2022), komunitas Masyarakat Adat (MA) diberi kesempatan berbagi pengalaman mengenai perjuangan melindungi hutan adat. Sore itu, seluruh peserta festival mendengarkan cerita pengalaman tersebut dengan seksama.<\/p>\n\n\n\n

Masyarakat Adat Si Opat Marga, Bius Huta Ginjang (Rajagukguk, Simare-mare, Aritonang dan Siregar) mengucapkan rasa syukur karena telah menerima SK Penetapan Hutan Adat dari Negara pada awal bulan Februari 2022.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKurang lebih enam tahun lamanya kami memperjuangkan wilayah adat kami ini; akhirnya kami mendapatkan apa yang kami cari. Kami telah menerima SK Penetapan Hutan Adat dari Presiden Jokowi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

Op. Dimas Siregar, salah seorang pengurus komunitas, juga menceritakan bagaimana harus pergi ke Jakarta mewakili komunitas untuk mengurus keperluan administrasi wilayah adat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBukan tidak lelah; perjuangan itu justru lelah sekali. Namun, saya menyadari bahwa semua keringat yang tercucur akan menghasilkan sesuatu yang baik\u201d terangnya.<\/p>\n\n\n\n

<\/p>\n\n\n\n

Suka Duka Komunitas MA Op. Bolus<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.<\/p>\n\n\n\n

\u201cBeberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus <\/em>yang sebenarnya adalah\u00a0tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus<\/em>\u201d jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSetelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1\/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi\u201d.<\/p>\n\n\n\n

MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.<\/p>\n\n\n\n

Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.\u201d tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun<\/em><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.<\/p>\n\n\n\n

\u201cKami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL\u201d katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.<\/p>\n\n\n\n

Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).<\/p>\n\n\n\n

\u201cAda 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun\u201d jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)<\/p>\n","post_title":"Saling Menguatkan untuk Melindungi Hutan Adat","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"saling-menguatkan-untuk-melindungi-hutan-adat","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-25 12:29:55","post_modified_gmt":"2022-05-25 05:29:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1156","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1149,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 18:13:10","post_date_gmt":"2022-05-22 11:13:10","post_content":"\n

\u201cRakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan\u201d, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat\u00a0perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.<\/p>\n\n\n\n

\u201cSaya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari  kawasan hutan\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. \u201cHal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini\u201d, tambahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"\/<\/figure>\n\n\n\n

Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.<\/p>\n\n\n\n

Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara. <\/p>\n\n\n\n

Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat.\u00a0\u201cTentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya\u201d, jelasnya.<\/p>\n\n\n\n

Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan\u00a0masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.<\/p>\n\n\n\n

Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit.\u00a0 Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang\u00a0 peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. \u201cKemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini\u201d, jelas Yance.<\/p>\n\n\n\n

Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. \u201cKebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular\u201d, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang\u00a0 menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Yance yang sudah menerbitkan bukunya \u201cRethinking Adat Strategies\u201d menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.<\/p>\n\n\n\n

Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan.\u00a0 Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.<\/p>\n\n\n\n

\u201cPemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat\u201d, kata Roganda.<\/p>\n\n\n\n

Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), <\/em>untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.<\/p>\n\n\n\n

Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap \u201clulus\u201d, tiga di antaranya  berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap \u201ckebaikan\u201d yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak \u201crela\u201d atau \u201cenggan\u201d memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.<\/p>\n\n\n\n

Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah  bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.<\/p>\n\n\n\n

Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan \u00a0berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku \u201cNunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara\u201d<\/strong> yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. \u201cBuku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat\u201d, kata Dian Purba.***<\/p>\n","post_title":"Perjuangan Masyarakat Adat: Berdaulat Di Atas Kaki Sendiri","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"perjuangan-masyarakat-adat-berdaulat-di-atas-kaki-sendiri","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 18:13:12","post_modified_gmt":"2022-05-22 11:13:12","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"http:\/\/ksppm.org\/?p=1149","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":1144,"post_author":"1","post_date":"2022-05-22 14:47:07","post_date_gmt":"2022-05-22 07:47:07","post_content":"\n

Jumat, 20 Mei 2022.<\/strong> \u201cTano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak\u201d tegas Abdon Nababan dalam closing statement<\/em> saat bincang-bincang dengan tema \u2018Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan\u2019 di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan mengatakan, \u201cHutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini\u201d. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat. \u00a0\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. \u201cMasyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa\u201d, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, <\/em>dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. \u201cKalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat\u201d tuturnya.<\/p>\n\n\n\n

Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.<\/p>\n\n\n\n

Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, \u00a0melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral\u00a0 dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. \u201cTeologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang\u201d ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.<\/p>\n\n\n\n

\"\"<\/figure>\n\n\n\n

\u201cTuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur\u201d tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan\/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.<\/p>\n\n\n\n

\u201cNilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik\u201d ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap   perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.<\/p>\n\n\n\n

Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. \u201cKalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik\u201d katanya. \u201cMasyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan  perkembangan tersebut\u201d tutupnya. Selama ini pembangunan top-down<\/em> pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan  masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran. <\/p>\n\n\n\n

Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan\/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. \u201cSelama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat\u201d tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. \u201cKami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?\u201d tanyanya.<\/p>\n\n\n\n

Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.<\/p>\n\n\n\n

Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, \u201cKita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus <\/em>sudah bersebelahan dengan tali air alami kami\u201d. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban\u00a0 \u00a0langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)<\/em><\/p>\n","post_title":"Masyarakat Adat untuk Penyelamatan \u00a0Lingkungan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"masyarakat-adat-untuk-penyelamatan-lingkungan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2022-05-22 14:47:08","post_modified_gmt":"2022-05-22 07:47:08","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/ksppm.org\/?p=1144","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"jnews_block_5"};

Festival