Dalam seminggu ini, Desa Sigapiton dua kali ditimpa longsor. Menurut warga, longsoran tanah dan pohon yang dibawa air yang bersumber dari The Caldera Toba Nomadic Escape.
Longsor pertama terjadi ketika hujan deras mengguyur Desa Sigapiton pada Selasa, 8 Maret 2022 sekitar pukul 23.00 WIB. Luapan air diduga berasal dari saluran pembuangan air tempat wisata bertaraf internasional tersebut. Longsor terjadi di tiga titik dengan kerusakan yang cukup parah sehingga menutupi jalan utama Desa Sigapiton dan merusak sawah milik Op. I. Silalahi, Ibu T. Sinaga dan S. Sirait. Ketiga titik sawah siap tanam yang tertimbun material pasir dan tanah berlumpur tersebut sekitar satu setengah rantai atau 600 meter persegi.
Menyikapi bencana longsor tersebut, Rabu, 9 Maret 2022 Pemkab Toba mengirimkan satu unit alat berat ke Desa Sigapiton untuk memindahkan batu-batu dan kayu-kayu besar yang menghalangi jalan.
Belum semua material longsor dibersihkan, pada Jumat, 11 Maret 2022 sekitar pukul 08.30 WIB terjadi longsor susulan. Longsor susulan ini menutup akses jalan utama menuju Desa Sigapiton. Akibatnya aktivitas dari dan menuju Desa Sigapiton dari jalur darat terganggu. Sekitar pukul 11.00 Wib, masyarakat bersama aparat TNI, dalam hal ini koramil Lumban Julu bergotong royong memindahkan batu-batu besar yang menutupi jalan.
Menurut S. Sirait, pemuda Desa Sigapiton, peristiwa longsor ini cukup meresahkan mereka yang berada persis di bawah The Caldera Toba Nomadic Escape tersebut. Katanya, masyarakat bersama kepala desa akan mengajukan protes ke kantor Kaldera untuk meminta pertanggung jawaban atas bencana longsor yang menimpa jalan menuju Desa Sigapiton. Bencana longsor tersebut, menurut warga terjadi karena hadirnya tempat wisata bertaraf internasional tersebut di wilayah adat mereka.
Bencana lingkungan, sejak awal sudah dikhawatirkan oleh masyarakat Desa Sigapiton. Selain isu perampasan tanah adat, isu lingkungan menjadi salah satu poin penting tuntutan mereka kepada pemerintah. Dalam konsep tuntutan yang pernah diserahkan kepada pemerintah melalui Kantor Staf Kepresidenan di tahun 2018 adalah adanya jaminan perlindungan terhadap bencana lingkungan dan ketersediaan air. Tuntutan yang tidak berlebihan, karena posisi Desa Sigapiton, persis berada dibawah The Caldera. Sayangnya, sampai saat ini tuntutan mereka terhadap jaminan perlindungan tersebut tidak pernah direspon.
Bencana longsor yang terjadi seminggu ini, menjadi pengingat bagi semua pihak, untuk memprioritasokan keamanan dan kenyaman masyarakat sekitar dan juga wisatawan. Pembangunan yang mengabaikan aspek lingkungan hidup akan menuai bencana. Daya dukung dan daya tampung Lingkungan harus dipertimbangkan dengan serius. Masyarakat Desa Sigapiton, dalam beberapa kali diskusi mengatakan tidka menolak pembangunan pariwisata, namun mereka juga menuntut agar hak-hak mereka atas tanah dan lingkungan yang aman dan nyaman tidak terampas oleh pembangunan itu sendiri.
Selain akses kepemilikan tanah adat yang diklaim sebagai Kawasan hutan negara, hal lain yang cukup penting dan dikhawatirkan oleh masyarakat Desa Sigapiton adalah akses terhadap air bersih dan irigasi, juga lingkungan yang aman dan nyaman buat keberlangsungan dan kesejahteraan hidup mereka. Selama ini, sumber air bagi sekitar 140-an KK penduduk Desa Digapiton bersumber dari hutan-hutan yang ada di atas desa mereka yakni lokasi yang akan dibangun fasilitas-fasilitas pariwisata bertaraf internasional. Itu sebabnya dalam konsep tuntutan yang pernah mereka susun, mereka menyebutkan bahwa pemerintah harus menjamin ketersediaan air mereka di masa mendatang ketika proyek pariwista internasional tersebut berjalan. Mereka khawatir, sumber air minum dan irigasi mereka semakin berkurang dengan dibangunnya hotel-hotel berbintang di atas pemukiman dan persawahan mereka.
Tuntutan lainnya yang disampaikan adalah adanya jaminan dari pemerintah bahwa mereka aka naman dan nyaman dari bencana lingkungan jika proyek tersebut dibangun. Mereka meminta agar membangun fasilitas dan infrastruktur pariwisata sesuai daya tampung lingkungan lokasi tersebut.
Berangkat dari peristiwa longsor yang baru saja terjadi, sudah sepatutnya pemerintah kembali membaca dan merespon dengan serius tuntutan masyarakat Desa Sigapiton, untuk menghindari bencana lingkungan yang lebih besar di masa mendatang. Sudah saatnya juga masyarakat Desa Sigapiton mengawasi dengan kritis proses pembangunan tersebut, karena merekalah yang paling tahu apa yang paling pas buat hidup mereka saat ini dan di masa mendatang. ***
Tim Investigasi KSPPM -2022