Sebuah Perjalanan Berliku
Awal Perkenalan KSPPM
Sore itu sekitar jam 15.00, saya bersama satu orang staff Kelompok Study dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) harus berkunjung ke salah satu kampung di Nagasaribu Onan Harbangan. Kami berkunjung untuk melakukan mendiskusikan skema penyelesaian konflik agraria, mengingat dalam waktu dekat mereka akan kedatangan tamu dari Kementarian Lingkungan Hidup dan Kehuatan (KLHK). Sesampainya di Nagasaribu kami langsung menuju salah satu rumah warga yang kebetulan menjadi penatua gereja di sana, yaitu Op. Natan Simanjuntak. Tidak lama kami berbincang, kemudian datang seorang warga bernama Op. Gres simanjuntak. Beliau juga seorang tokoh adat Nagasaribu. Op. Gres datang untuk memastikan bahwa kami sudah tiba, karena sebelumnya Pdt. Advent Nadapdap (pendeta yang pernah bertugas di Nagasaribu) sudah menginformasikan bahwa staf KSPPM mau berkunjung dan berbincang dengan masyarakat Nagasaribu.
Setelah makan malam, kami pun beranjak ke tempat diskusi, yaitu rumah Op. Gres Simanjuntak. Kehangatan, tulus dan kesederhanaan adalah kesan pertama saya mengenai masyarakat Nagasaribu. Keesokan harinya saat tiba di Sopo Parapat, kami menceritakan kisah tersebut ke Suryati Simanjuntak (Sekretaris Pelaksana KSPPM pada saat itu). Setelah mendengarkan cerita kami, Suryati pun mengajak kami kembali berkunjung ke Nagasaribu.
Seminggu kemudian, kami berkunjung ke Nagasaribu Onan Harbangan bersama staff KSPPM lainnya. Sesampainya di Nagasaribu kami langsung menuju rumah Op. Gres Simanjuntak. Op. Gres kemudian bercerita bahwa kehidupan sosial di Nagasaribu masih diikat oleh adat-istiadat. Konflik apapun di Nagasaribu masih diselesaikan dengan adat. “Bisa kami buktikan bahwa belum ada kasus penganiayaan, perselingkuhan dan pencurian yang sampai ke Polisi,” tegasnya. Op. Gres juga menambahkan bahwa perangkat adat di Nagasaribu juga masih lengkap. Benda adat yang ditinggalkan oleh Raja Sisimangaraja masih disimpan; hukum adat masih ada dan dijalankan. “Untuk menjalankan hukum adat ini kami memiliki yang namanya Raja Patik (seperti Hakim) di Nagasaribu,” lanjut Op. Gres. Masih banyak lagi cerita menarik lainya yang disampaikan Op Gres. Namun tidak terasa sore pun tiba. Suryati menyampaikan bahwa kami harus pulang. “Tapi akan datang lagi untuk mendengarkan cerita amang (bapak),” ujar Suryati.
Setelah berjumpa beberapa kali, KSPPM pun semakin akrab dengan masyarakat. Diskusi kami pun mulai mengarah pada tombak haminjon (hutan kemenyan) mereka yang di-klaim sebagai kawasan hutan negara dan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Akhirnya, KSPPM secara resmi mendampingi masyarakat, dan mulai secara bersama-sama melengkapi berbagai dokumen, seperti sejarah, hukum adat, kelembagaan adat, benda-benda adat, dan melakukan pemetaaan wilayah adat secara partisipatif. Masyarakat pun sudah beberapa kali datang ke Sopo KSPPM baik di Siborong-borong maupun di Parapat.
Tapi semua tidak semudah yang dipikirkan. Pada awal-awal pendapingan KSPPM di Nagasaribu, sebagian besar masyarakat masih bingung mengenai apa yang diperjuangkan. Bahkan dalam beberapa kunjungan ke desa, staff KSPPM merasakan betapa masyarakat masih cuek dan apatis. Kondisi tersebut berlangsung hampir selama 2 tahun, yaitu 2016-2018.
Tetapi perubahan mulai terlihat pada Juni 2018, ketika KSPPM merayakan Hari Lingkungan Hidup di Nagasaribu. Masyarakat terlibat secara antusias. Saat itu semua masyarakat, tua dan muda, berkumpul di kampung dan ikut menanam pohon ingul di tombak haminjon bekas perkebunan eucalyptus PT. TPL. Peringatan Hari Lingkungan Hidup itu menjadi awal pengorganisasian yang baik di Nagasaribu. Selanjutnya berbagai peringatan seperti Hari Tani Nasional, Hari Hak Asasi Manusia, Hari Bumi semakin sering dirayakan di Nagasaribu.
KSPPM pun mulai diterima, sikap cuek dan apatis tidak muncul lagi. Masyarakat mulai terorganisir dan mulai terlibat di berbagai kegiatan di luar Nagasaribu, seperti demonstrasi, audensi dan pelatihan. Proses pengorganisasian yang semakin membaik di Nagasaribu ini juga tidak terlepas dari Jaringan KSPPM seperti mahasiswa, gereja, universitas, civil society organitation (CSO), baik dalam maupun luar negeri. Sudah tidak terhitung jumlah orang yang sudah berkunjung ke Nagasaribu baik untuk kebutuhan penelitian, belajar, dan mendengarkan kisah perjuangan mereka.
Seiiring berjalannya waktu, kepercayaan diri masyarakat adat Nagasribu pun mulai tumbuh. Masyarakat mulai berani beradu argumen dengan pihak perusahaan saat perusahaan ingin melakukan penebangan di tombak haminjon mereka. Mereka juga mulai berani mengelola kembali wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan. Op. Gres menyampaikan bahwa sebelum berkenalan dengan KSPPM, masyarakat setiap akhir tahun masih berharap bantuan seperti sembako dan uang natal dari PT. TPL. Tidak banyak yang didapat dan tidak semua masyarakat mendapatkan, tapi masyarakat mensyukurinya. “Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi,” tegas Op. Gres. Op gres seakan ingin menegaskan bahwa sekarang mereka sudah berubah, tidak seperti dulu lagi.
Kepercayaan diri ini tidak terlepas dari keterlibatan mereka dalam organisasi. Masyarakat Nagasaribu bergabung dengan Serikat Tani Tapanuli Utara (ST Taput) untuk memperluas jaringan dan menambah pengetahuan. Pada minggu ketiga setiap bulan mereka berangkat ke Sopo Siborong-borong untuk berdiskusi bersama petani-petani dari berbagai daerah.
Pada tahun 2019, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) membangun jalan menuju Nagasaribu dari Dusun Purban Sinomba. Bukan hanya itu, fasilitas kesehatan yang belum memadai juga mulai dibenahi dengan menempatkan bidan desa di Nagasaribu. Hal itu merupakan dampak dari aksi yang dilakukan oleh masyarakat saat perayaan Hari Tani Nasional tahun 2018 di Kantor Bupati Taput.
Masyarakat Nagasaribu juga berhasil menginspirasi kampung tetangga untuk berjuang. Natinggir terinspirasi oleh perjuangan Nagasaribu Onan Harbangan. Pada tahun 2019, Op. Gres bersama Jimmi Simanjuntak sebagai ketua komunitas mengajak KSPPM berdiskusi ke Natinggir untuk memulai perjuangan mempertahankan tanah adat. Demikian masyarakat Haunatas. Terinspirasi oleh perjuangan Nagasaribu, mereka pun meminta Nagasaribu untuk berbagi cerita. Menurut KSPPM, salah satu alasan mengapa Nagasaribu jadi inspirasi bagi Natinggir dan Haunatas adalah keberhasilan masyarakat Nagasaribu melarang kegiatan perusahaan di wilayah adatnya dan berhasil menanami wilayah adatnya dengan beragam tumbuhan seperti padi darat, nenas, markisa dan tumbuhan keras lainnya tanpa ganguan dari perusahaan. Masyarakat juga berhasil menutup akses perusahaan masuk ke wilayah adat tanpa perlawanan dari perusahaan. Anak perantau mereka juga ikut mendukung khususnya dalam pendanaan. ** [Rocky Pasaribu]