Berbagai proyek Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) yang hadir di Sigapiton sejak enam tahun lalu kerap menimbulkan konflik dan menggangu ketenteraman hidup masyarakat, dengan berbagai problem seperti perampasan tanah adat hingga bencana longsor. Program pariwisata bertaraf internasional yang diusung oleh BPODT ini telah mengalihfungsikan tanah dan mengubah aktivitas masyarakat yang dulunya bertani padi dan bawang menjadi masyarakat yang mengharapkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) karena kehilangan ‘gairah’ bertani.
Kepala Desa Sigapiton mengaku bahwa pendapatan masyarakat kurang lebih Rp. 500.000 per-bulan. Karenanya, hampir seluruh masyarakat desa Sigapiton berhak memperoleh BLT. Selain karena alih fungsi lahan pertanian menjadi pembangunan, monyet juga menjadi hama baru yang merusak tanaman karena tidak tersedianya buah-buahan di hutan. Deforestasi adalah salah satu penyebab munculnya hama baru tersebut. Itu sebabnya masyarakat meninggalkan lahan-lahan pertaniannya yang sudah ditanami.
Tanah yang subur sebenarnya bisa menjadi sumber penghidupan hari-hari masyarakat Sigapiton. Tahun 1950-an Sigapiton terkenal dengan bawang merahnya. Mereka menjual berton-ton bawang merah setiap minggu ke Ajibata dan mampu membuat petani dari Brebes, Jawa Tengah, terpesona dengan hasil bawangnya lalu membeli bawang Sigapiton untuk dijadikan bibit. Tapi semua itu lenyap sejak uap pabrik Indorayon merusak semua tanaman bawang yang ada di robean (punggung bukit); daun bawang merah mereka gosong. Akibatnya, mereka tidak lagi menanam bawang dalam skala besar. Terlihat jelas bahwa hidup petani dikondisikan oleh sistem yang ada.
Cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sigapiton melalui program pariwisata bisa disebut “mimpi di siang bolong”.Pemerintah menganggap petani sebagai orang-orang yang kalah dan bahwa pariwisata adalah solusi menuju kesejahteraan. Padahal, jika dikaji lebih dalam, pariwisata yang ditawarkan tidak menjawab permasalahan petani, bahkan memperparahnya. Konflik perampasan lahan masih terus menjadi problem utama petani di Indonesia, khususnya di kawasan Danau Toba. Sigapiton mengalami perampasan lahan berkedok pembangunan pariwisata internasional.
Selain perampasan ruang hidup yang katanya untuk meningkatkan ekonomi namun faktanya hanya mempermulus roda akumulasi kapital, saat ini sedang terjadi konflik pembangunan jalan dengan anggaran sebesar 60 miliar dari APBN. Sejumlah anggota masyarakat menolak proyek ini karena pemerintah tidak memberikan ganti rugi yang memadai. Mengingat keterbatasan lahan di Sigapiton, wajar jika masyarakat menuntut ganti rugi atas setiap jengkal tanah yang akan digunakan untuk perluasan jalan sebagai bagian dari proyek pariwisata.
“Kalau untuk jalan desa, ukuran yang ada saat ini cukup; pemerintah hanya perlu memperbaikinya agar kami dengan mudah membawa hasil panen ke Sibisa”, kata T. Nadapdap, warga asli Sigapiton.
Pemerintah beralasan bahwa perluasan jalan akan mempermudah wisatawan datang dan menginap di home-stay yang dibangun di Desa Sigapiton agar menambah pendapatan masyarakat lokal. Alasan ini sungguh ganjil dan menganggu. Sejumlah home-stay memang dibangun di Sigapiton. Tetapi masyarakat mengaku tidak merasakan dampak pariwisata terhadap peningkatan ekonomi rumah tangga mereka. Alasannya, para tamu yang berkunjung hanya menginap di home-stay milik Caldera dan perusahaan investasi bernama Bobobox.
Jika pariwisata benar-benar dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, pemerintah mestinya hanya membangun home-stay yang dikelola warga Sigapiton dan tidak menerima investor bernama Bobobox tersebut. Dengan begitu seluruh keuntungan dari pengunjung yang menginap di home-stay dinikmati oleh masyarakat.
Pasal 25 dalam UU No 49/2016 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba menyatakan bahwa BPODT diberi kemudahan dalam mengubah fungsi kawasan hutan dan mempercepat proses perolehan hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi, UU itu juga mengatur bahwa masyarakat berhak menerima laporan perkembangan pariwisata. Kenyataannya, hingga saat masyarakat menganggap BPODT tidak transparan.
Masyarakat Sigapiton mengharapkan program pariwisata yang transparan dan menghargai adat istiadat Batak Toba karena adat masih kuat dalam kehidupan sehari-sehari di Sigapiton. Namun, sejauh ini program pariwisata tidak melibatkan masyarakat secara kolektif dan cenderung hanya melibatkan elite lokal.**