Beras adalah salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia, sehingga beras bukan sekedar komoditas ekonomi, tapi politik. Isu seputar beras seperti tiada habisnya, seperti swasembada beras, penyelewengan beras, kebijakan impor, beras untuk orang miskim (Raskin) dan lain-lain. Untuk wilayah Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu penghasil beras dengan Baku Sawah seluas 21.508 ha, dengan produksi mencapai 110.246,52 ton.
Umumnya masyarakat di daerah Tapanuli Utara masih menanam padi lokal jenis Siboru Tambun yang masa tanamnya proses mencapai tujuh bulan. Padi jenis ini sudah ditanam dan diwariskan secara turun-temurun. Biasanya masa panen adalah masa berbahagia bagi masyarakat. Area persawahan akan ramai karena semua orang di kampung akan berbagi peran dalam memanen, dari anak-anak, dewasa hingga orangtua. Orang-orang dengan kekerabatan yang masih kental biasanya akan melakukan gotong royong agar panen lebih cepat.
Namun panen kali ini cukup mengecewakan. Masyarakat nampak tidak bergairah, raut wajahnya murung. Penyebabnya jelas adalah penurunan hasil panen. Jika ditelisik, beberapa faktor menyebabkan penurunan hasil panen tahun ini, seperti keterlambatan pemupukan karena kelangkaan dan mahalnya pupuk, cuaca yang tidak menentu, dan serangan hama (tikus) yang masif. Semangat yang menurun terlihat dari banyak batangi (bedengan sawah) dibiarkan dipenuhi rumput liar. Padahal batangi yang bersih akan memudahkan para petani mengangkut hasil padinya ke tepi jalan dan mengantarkannya ke kampung.
Misalnya, semua anggota Kelompok Tani Martabe Nauli mengatakan panen padi mereka tahun ini berkurang 20-40 persen. Sebelumnya, hasil padi mereka bisa mencapai 80 karung, namun saat ini hanya sekitar 40 hingga 50 karung. Panenpun tidak berlangsung serentak karena beberapa petak masih belum bisa dipanen lantaran masih hijau, sebagian bahkan sudah dimakan tikus. Mereka khawatir panen kali ini hanya mampu untuk mencukupi beras selama enam bulan. Padahal panen tahun sebelumnya cukup untuk stok beras untuk satu hingga dua tahun.
Dengan hasil panen yang demikian tak jarang orang tua mereka harus menjual beras untuk memenuhi kebutuhan mendesak lainnya, seperti pendidikan. Mengingat bulan Juli adalah tahun ajaran baru sekolah, pengeluaran tentu akan meningkat untuk perlengkapan sekolah, padahal pada masa panen seperti ini harga beras akan turun drastis. Langkah ini menjadi pilihan saat tidak ada lagi komoditas yang dapat dijual.
Sementara itu, Kelompok Tani (KT) Perjuangan Nagasaribu menganggap swasembada beras sebagai unsur penting dalam perjuangan mereka. Lumbung pangan yang penuh bagi rumah tangga memberi mereka ruang untuk memikirkan dan mengelola lahan atau wilayah adatnya. Pak Marcel Purba mengatakan bahwa ketersediaan stok beras di rumah memudahkannya memberikan waktu dan pikiran untuk terlibat dalam perjuangan merebut tanah ulayat. Dia tidak bisa membayangkan bisa melakukan perjuangan mereka yang selama lima tahun ini jika panen yang didapat seperti saat ini.
Keadaan sulit yang dialami petani padi saat ini bagai benang kusut. Petani seperti tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Sungut-sungut, keluh-kesah hanya bergaung di lapo (kedai tuak), di arisan-arisan maupun canda gurau saat bertemu di pasar. Keadaan ini menegaskan minimnya peran negara saat masyarakat menghadapi masalah. Kita memang menyadari bahwa berharap banyak kepada negara untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah kesiasiaan. Namun, setidaknya ia bisa hadir, sekurang-kurangnya mendengar keluhan dan jeritan dari masyarakat. **