Desa Sigapiton kembali ditimpa banjir dan longsor pada Sabtu, 27 Agustus 2022, sekitar pukul 21.00 WIB. Banjir dan longsor sudah dua kali menimpa desa ini sejak hadirnya The Caldera Toba Nomadic Escape. Bencana pertama terjadi pada bulan Maret lalu yang mengakibatkan rusaknya sawah dan jalan utama masyarakat. Bencana kali ini tidak hanya merusak jalan dan sawah, tetapi juga merusak sumber mata air. Debit air yang tinggi mengakibatkan banjir dan menumbangkan pohon-pohon buah milik masyarakat. Sejak Sabtu malam, air berhenti mengaliri rumah-rumah masyarakat karena rusaknya pipa besar di Bona Ni Aek (sumber mata air masyarakat Sigapiton). Pipa tersebut pecah akibat derasnya air yang berasal dari buangan objek wisata The Caldera. Masyarakat Sigapiton terpaksa mengonsumsi air hujan dan air Danau Toba yang menurut mereka tidak layak untuk dikonsumsi.
“The Caldera adalah sumber malapetaka; air kami pun disedot dari bawah padahal dari awal kami tidak mengizinkan, mereka menikmati air kami di atas tetapi kami tidak karena mereka merusak sumber mata air kami,” ucap S. Sirait.
Belum ada tindak lanjut dari pemerintah dan pihak The Caldera atas kejadian tersebut, padahal home stay Bobo Cabin milik investor Bobobox yang berdiri di lokasi wisata tersebut adalah titik asal longsor hingga tanah dan air turun serta merusak Desa Sigapiton. Izin lingkungan wisata bertaraf internasional ini perlu dipertanyakan lagi.
Hisar Butar-Butar selaku Kepala Desa Sigapiton mengaku perbaikan akan berlangsung lama karena keterbatasan biaya yang dimiliki, mengingat dana desa yang dialokasikan untuk Desa Sigapiton tidak sebanyak sebelumnya karena pemerintah menganggap desa Sigapiton masuk kategori desa maju. Padahal, menurut Data Status Kemajuan dan Kemandirian, Desa Sigapiton masuk ke dalam kriteria desa sangat tertinggal. Beliau berkata bahwa proses perbaikan paling lama akan selesai akhir tahun 2022 ini. Artinya, empat bulan ke depan masyarakat harus minum dengan menampung air hujan.
Selain rusaknya sumber air, tanah yang dikelola masyarakat pun ikut disapu bencana. Sawah-sawah dipenuhi lumpur dan pasir. Tanaman yang siap panen seperti jagung dan pisang pun tumbang. Tidak hanya itu, bibit kopi sebanyak 250 batang dan bibit cabai merah di dalam polybag milik Ibu N. Boru Butar-Butar pun hilang disapu banjir.
“Kami tidak tahu harus meminta pertanggungjawaban dari mana, Kepala Desa saja sudah bilang tidak ada biaya untuk perbaikan pipa air bersih, apalagi mengganti rugi tanaman”, kata Ibu N. Boru Butar-Butar.
Semakin hari kekesalan masyarakat Sigapiton terhadap The Caldera semakin bertambah. Bencana lingkungan dan perampasan wilayah adat masih menjadi persoalan utama yang dirasakan masyarakat akibat hadirnya program pariwisata di desa mereka.
Sekarang, pemerintah harus menyadari bahwa program pariwisata yang ditawarkan tidak benar-benar menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat Sigapiton, tetapi justru menjadi sumber kesengsaraan baru. Masyarakat Sigapiton tidak menolak pembangunan pariwisata, justru mereka berharap pariwisata mampu membawa mereka ke kehidupan yang layak, namun nyatanya pariwisata justru merenggut hak mereka atas tanah dan lingkungan yang aman tanpa bencana.
Di tengah-tengah konflik lahan dan lingkungan dengan The Caldera yang tidak ada habisnya, saat ini Hutahaean Group sedang melaksanakan proses pembangunan Hotel di Batu Silali (masuk ke wilayah adat Sigapiton). Beberapa alat berat terlihat sedang bekerja di sore yang gerimis. Proses pembukaan lahan dengan membakar dan menebang pohon pun telah dilakukan tanpa musyawarah dengan masyarakat. Masyarakat Sigapiton mengaku tidak ada diskusi sebelumnya dan lokasi pembangunan ini berpotensi menimbulkan dampak yang sama seperti yg diakibatkan oleh The Caldera, yakni banjir dan longsor karena lokasi pembangunan hotel tersebut tepat di bukit yang mengapit Desa Sigapiton. Masyarakat Sigapiton meminta negara untuk memberikan perhatiannya kepada mereka, sebab program pariwisata The Caldera telah menyiksa mereka, apalagi ditambah dengan proyek pembangunan yang baru.**