Pada Rabu, 31 Agustus 2022, komunitas Masyarakat Adat Siria-ria melaksanakan rapat umum di Kantor Desa Siria-ria bersama perwakilan dari Kantor Staf Presiden (KSP), Balai Penetapan Kawasan Hutan (BPKH) Sumut, Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah XIII Dolok Sanggul, dan Polres Humbang Hasundutan. Pertemuan tersebut terjadi karena adanya pengaduan dari Masyarakat Adat Siria-ria mengenai konflik agraria yang terjadi di wilayah adat mereka beberapa waktu lalu.
Ketua lembaga adat, Elieser Siregar, menjelaskan kronologi konflik yang sedang terjadi di Siria-ria. Pemaparan kasus dimulai dari cerita perjuangan orang tua mereka pada tahun 1979 yang kala itu menjadi isu nasional dan kasus perempuan pejuang agraria pertama di Indonesia. Beliau juga menjelaskan konflik yang terjadi saat ini disebabkan oleh masuknya program Food Estate dan wilayah adat dipatok sebagai kawasan hutan negara. Selain itu, Kelompok Tani Hutan (KTH) juga beroperasi di wilayah Siria-ria yang semakin memperkuat klaim kawasan hutan negara di wilayah adat mereka.
“Tolong cabut izin KTH di areal Sigende karena itu bukan kawasan hutan; yang layak beroperasi di sana hanyalah petani kemenyan dan andaliman dari Siria-ria bukan KTH, karena itu wilayah adat bukan wilayah hutan negara. Kami sudah melapor kepada Kapolres Humbang Hasundutan namun tidak ada respon hingga saat ini,” pintanya kepada Rahmat Samosir, perwakilan KPH Wilayah XIII Dolok Sanggul.
Op. Alden Lumban Gaol dan Op. Samuel Boru Lubis pun angkat bicara mengenai rasa kecewa mereka terhadap negara yang mengubah wilayah adat Siria-ria menjadi kawasan hutan. Mereka adalah orang-orang yang ikut berlumur darah dalam perjuangan tahun 1979. Mereka dikejutkan oleh konflik-konflik yang sebelumnya tidak mereka duga. Sementara hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat Siria-ria bersama KSPPM memperlihatkan bahwa wilayah adat Siria-ria seluas 5936,4 ha dan lebih dari setengahnya adalah kawasan hutan yakni seluas 3609,5 ha, wilayah pelaksanaan program Food Estate seluas 1485,3 ha, dan konsesi PT TPL seluas 1998,7 ha. Itu artinya mereka tidak berdaulat atas seluruh warisan leluhurnya.
“Kami hanya memiliki kemampuan bertani dan kemampuan itu sudah turun-temurun; kami tidak mengerti pekerjaan lain. Kami tidak mengerti caranya berjualan; jadi tanah Siria-ria ini sangat penting bagi kami,” ucap Op. Samuel Boru Lubis.
Menanggapi keluh-kesah yang dilontarkan masyarakat adat Siria-ria, Rahmat Samosir memaparkan skema-skema Perhutanan Sosial yang ditawarkan negara, yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Kemitraan dan Hutan Adat. Masyarakat adat Siria-ria telah sepakat untuk mengakses Hutan Adat karena dianggap pilihan terbaik dari yang terburuk sebab empat pilihan lainnya dianggap seperti ‘meminjam’ tanah dari negara karena memiliki batas hak kelola hanya 35 tahun.
Namun, permintaan masyarakat adat Siria-ria mengenai pencabutan izin KTH di areal Sigende belum memperoleh respon positif. Pihak KPH justru mengatakan bahwa KTH yang beroperasi telah mengikuti skema Hutan Kemitraan dalam Perhutanan Sosial sehingga dianggap berhak mengelola wilayah yang saat ini sedang berkonflik.
“KTH dibentuk agar kawasan hutan negara diberdayakan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan tersebut,” ucapnya.
Padahal, sejak awal Masyarakat Adat Siria-ria sudah menjelaskan bahwa wilayah tersebut bukan kawasan hutan negara melainkan wilayah adat Siria-ria sesuai SK yang mereka terima tahun 1979.
Sementara itu, Rano Sihombing dari BPKH Sumut hanya berjanji akan membantu melengkapi data-data sesuai peraturan perundang-undangan. Jawaban yang diberikan belum mampu menenangkan kegelisahan Masyarakat Adat Siria-ria terkait ketidakjelasan hak mereka atas wilayah adatnya. Demikian juga dengan janji Sahat Lumbanraja dari KSP untuk terlebih dahulu mendalami persoalan yang terjadi.
“Jika ingin mengakses hutan adat, Masyarakat adat Siria-ria memerlukan peraturan daerah (Perda) agar pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat semakin kuat; silahkan di-lobby”, pesannya. Ia juga berkata akan menelusuri permasalahan ke Pemkab Tapanuli Utara dan Pemkab Humbang Hasundutan.
Setelah diskusi selesai, Masyarakat Adat Siria-ria menyampaikan cendera mata kepada Sahat Lumbanraja dan rekannya karena telah meluangkan waktu untuk bertamu ke desa mereka. Masyarakat adat Siria-ria sangat antusias memakaikan ulos untuk ‘tamu’ yang mereka anggap akan membantu mereka memperjuangkan wilayah adatnya. Masyarakat Adat Siria-ria berharap pertemuan tersebut dapat menjadi titik awal bagi mereka untuk mendapatkan kembali haknya.**