Pada Jumat, 19 Mei 2023 perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adatnya kembali dibicarakan di ruang akademik bersama mahasiswa dan akademisi. KSPPM, AMAN Tano Batak bersama Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung berkolaborasi dalam kegiatan “Diskusi dan Nonton Bersama Film Singkam Mabarbar”. Kegiatan ini bagian dari Kampanye Satu Bulan Untuk Lingkungan Lebih Baik.
Jonris Simanjuntak, perwakilan komunitas masyarakat adat Nagasaribu-Onan Harbangan memaparkan bagaimana suku Batak memaknai tanah. Bagi orang Batak, tanah bukan hanya sebagai sumber ekonomi namun lebih dari itu, tanah adalah identitas dan jati diri. Marga na martano, tano n amar marga begitulah orang Batak menyebutnya yang artinya semua marga memiliki tanah dan semua tanah adalah milik marga-marga, yang berarti tidak ada tanah di Tano Batak yang tidak bertuan.
Komunitas masyarakat adat Nagasaribu-Onan Harbangan memulai perjuangan pada tahun 2016, wilayah masyarakat adat masuk ke dalam klaim kawasan hutan dan konsesi PT. Toba Pulp Lestari (PT TPL). Enam tahun berjuang mempertahkan wilayah adat akhirnya pada tahun 2022, komunitas ini memperoleh pengakuan atas keberadaannya serta pengakuan atas wilayah/hutan adatnya.
“Pada 2021, Jokowi berjanji akan memberikan 15 SK Hutan Adat kepada komunitas masyarakat adat, namun yang teralisasi hanya 5 SK Hutan Adat, dan hanya 2 komunitas yang berkonflik dengan PT TPL”, ucapnya. Menurutnya, riskan jika komunitas masyarakat adat berharap lebih kepada negara.
Jhontoni Tarihoran dari AMAN Tano Batak menjelaskan bagaimana komunitas masyarakat adat berhadapan langsung dengan kerusakan lingkungan seperti penebangan hutan, penghancuran sungai, pencemaran air dan udara, pengrusakan tanah yang dilakukan oleh industri yang tidak ramah lingkungan. Masyarakat adat telah turun temurun tinggal dan mengelola wilayah adatnya, namun sejak kehadiran PT. TPL, keamanan dan kenyamanan masyarakat adat mengelola wilayah adatnya terancam.
Legitimasi yang kuat dari masyarakat adat dalam mewujudkan hidup yang berdaulat masih sangat terbatas. Kebijakan pemerintah yang seharusnya mengakomodir hak-hak dasar masyarakat adat justru cenderung diskriminatif dan mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat itu sendiri. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan jati diri masyarakat adat semakin tersudutkan dan keberadaannya semakin terpinggirkan.
“Masyarakat adat dimiskinkan karena sumber daya alamnya dirampas, hak asasinya dilanggar, dan belum adanya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat”, ucap Jhontoni.
Dalam diskusi tersebut, Melinda Siahaan selaku Dosen di IAKN Tarutung memaparkan bagaimana paradigma masyarakat adat dalam menjaga dan melindungi hutan. Baginya, film Singkam Mabarbar adalah testimoni masyarakat adat yang sedang memperjuangkan hak atas warisan leluhurnya. Masyarakat adat bercerita bahwa PT TPL telah merusak tanah, hutan, sungai, air mereka. Testimoni ini tidak dapat dibantah oleh siapapun termasuk negara.
Pola hidup masyarakat adat sejak zaman dahulu sudah selaras dengan alam. Relasi otentik yang terjadi bahwa alam dan masyarakat adat saling membutuhkan sehingga mereka tidak akan pernah saling meninggalkan. Melalui pertanian haminjon atau kemenyan yang hanya akan tumbuh subur jika dilindungi oleh pohon-pohon alam sebenarnya telah membuktikan bahwa masyarakat adat akan terus menerus menjaga hutan. Masyarakat adat menggantungkan hidupnya pada alam, itulah mengapa mereka merawat alam seperti mereka merawat dirinya sendiri.
Namun, negara dan perusahaan memiliki paradigmanya sendiri. Mereka selalu berpendapat bahwa alam adalah bahan baku produktif yang menunggu untuk diolah. Perusahaan terus menerus mengambil hasil alam untuk kepentingan laju arus produksi.
“Tidak terbantahkan bahwa PT TPL telah melakukan kejahatan kepada lingkungan”. Ujar Melinda.
Peserta diskusi merefleksikan Film Singkam Mabarbar dengan berbagai sudut pandang, salah satunya adalah peran gereja dalam gerakan masyarakat adat di Tano Batak. Dian Purba dan Bestian Simangunsong sebagai dosen IAKN Tarutung memandang bahwa gereja memiliki sejarah panjang terhadap perlawanan kepada PT. Indorayon Inti Utama (PT. IIU) yang sata ini bernama PT TPL. Namun, belakangan ini terdapat pergeseran peran gereja secara kelembagaan. Gereja tidak lagi menjadi solusi atas persoalan masyarakat adat, justru gereja menjadi bagian dari persoalan tersebut.
Reymond Sianturi selaku Kaprodi Pastoral Konseling berefleksi mengenai keterlibatan perempuan dalam perjuangan hak atas wilayah adat. Perempuan selalu berada di garda terdepan karena perempuan lah pihak yang paling berdampak dari perampasan ruang hidup. Alam selalu dimaknai sebagai Ibu karena Ibu adalah simbol kehidupan.
“Masyarakat adat telah berjuang menjaga lingkungan dengan berbagai macam tantangan, mereka dikriminalisasi dan diintimidasi. Kita semua berhutang kepada komunitas masyarakat adat karena mereka adalah pahlawan lingkungan. Mereka kerap menjadi korban dari sistem, itu lah mengapa kampus harus menunjukkan keberpihakan kepada korban”, ucap Kaprodi Pastoral Konseling.
Mahasiswa IAKN Tarutung perlu memiliki prinsip dan keberpihakan. Perjuangan panjang masyarakat adat mempertahankan wilayah adatnya tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri, namun untuk kepentingan seisi planet bumi. Mahasiswa sebagai kaum muda diharapkan untuk ikut berpartisipasi dalam aksi-aksi kreatif untuk lingkungan yang lebih baik.