Mengapa sedikit pemuda yang bercita-cita jadi petani? Mengapa putra-putri desa tidak kunjung kembali dari perantauan? Dan lucunya, kita bisa menanyakan juga mengapa banyak pula perantau justru kembali ke desa? Apakah hidup di kota telah terbukti tak sesuai harapan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengemuka menjadi topik kala berembuknya para pemuda adat yang juga petani-petani muda Tano batak di Perkampungan Pemuda HKBP Jetun, Silangit. Para peserta pertemuan/rembuk ini berasal dari berbagai komunitas dampingan KSPPM.
“Pertemuan kita hari ini untuk secara partisipatif mendiskusikan apa masalah yang dihadapi pemuda petani/petani muda serta apa yang harus kita lakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut.” Ujar Leorana Sihotang, staf KSPPM membuka acara.
Sesuai dengan hal itu, Delima Silalahi selalu Direktur Program KSPPM menegaskan bahwa KSPPM hanya akan mendampingi para pemuda sepanjang diskusi. Keputusan dari rembuk ini nantinya, sepenuhnya berdasarkan hasil diskusi para pemuda sendiri. Termasuk soal apakah para pemuda merasa perlu mendirikan sebuah organisasi.
Marsen Sinaga selaku fasilitator pertemuan ini pun mengamininya, ia mengaku hanya akan menemani para pemuda, bukan mengajar, menggurui, apalagi memerintah. Terkait penting/tidaknya organisasi, fasilitator melihat organisasi itu sebagai alat. Maka sebelum menentukan alat, menurutnya penting terlebih dahulu untuk mengenali masalah-masalah berdasarkan fakta yang dialami oleh si pengguna alat nantinya.
Dari situ, Fasilitator mengajak para peserta untuk bermain ke luar ruangan. Di luar, para peserta memainkan permainan untuk mengenali diri satu sama lain meliputi tahun lahir, hingga jumlah anggota keluarga. Para peserta pun mengenali satu sama lain sembari bermain.
Dari permainan tersebut, salah satu peserta mengatakan bahwa adalah penting untuk mengenali diri sendiri untuk menentukan langkah ke depan.
Fasilitator mengangguk, dan menambahkan bahwa mengenali diri sendiri dan juga masalah-masalah yang dialami adalah kunci keberhasilan langkah yang diambil.
“Ketika kita gagal mengenali diri kita sendiri, kita akan gagal mengenali masalah apa yang kita hadapi, dan juga alat atau solusi yang kita rumuskan tidak akan berguna, tidak efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah kita yang sebenarnya” ujarnya.
Setelah bermain, para peserta diarahkan untuk melakukan diskusi kelompok. Fasilitator memandu diskusi dengan memberi pertanyaan panduan yakni; Apa masalah yang dihadapi? Apa citacita/kondisi ideal yang diharapkan? Dan apa potensi yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah dan mewujudkan cita-cita tersebut?
Para peserta berdiskusi selama kurang lebih 1 jam untuk kemudian mempresentasikan hasil diskusinya.
Peserta memaparkan permasalahan yang beragam, dari yang bersifat umum hingga personal. Misalnya persoalan kurangnya modal yang membuat pertanian tidak secara maksimal memenuhi kebutuhan. Mereka tentu berharap memiliki modal yang cukup sehingga hasil panen pun menjadi maksimal. Dan setelah mereka berdiskusi, mereka menemukan potensi-potensi dalam pemodalan seperti memaksimalkan Dana Desa, adanya bahan-bahan membuat pupuk organik.
Masalah lain yang mereka hadapi adalah adanya stigma dari luar bahwa anak muda yang tinggal di desa dan tidak merantau adalah simbol kemalasan dan kegagalan. Para pemuda berharap kehidupan di desa lebih berkembang dan inovatif sehingga dapat menghapus stigma tersebut. Karena para pemuda desa yang tinggal di kota masih sangat banyak, dan sekarang bagaimana caranya menarik minat mereka untuk hidup di desa dan membangun desa dengan pengetahuan yang lebih memadai.
Dari pemaparan hasil diskusi kelompok tersebut, Fasilitator mengatakan itulah segala hal yang perlu dipahami sebelum menentukan langkah dan membentuk organisasi. Nantinya jika pun organisasi terbentuk, inilah catatan penting bagi seumur hidup organisasi.
Setelah agak mengerucut pemahaman akan organisasi sebagai alat, Fasilitator mengajak para peserta kembali bermain. Dalam permainan kali ini, para peserta belajar membentuk negara-negara sebagai sebuah organisasi. Para peserta menentukan pimpinan, nama negara, mengambil keputusan, dan berunding dengan negara/organisasi lain.
Dari permainan ini, Delima Silalahi menambahkan hal yang penting untuk dipahami sebelum membentuk dan menjalankan organisasi. Ia mengatakan, bukan hanya organisasi kita yang punya daya juang, tetapi para pengganggu pun punya daya juang dan akan lelah pada waktunya, maka organisasi pun harus bisa memainkan momentum.
Setelah melakukan diskusi dan bermain, Rocky Pasaribu selalu Koordinator Studi dan Advokasi KSPPM berpendapat bahwa kesimpulannya pribadi adalah organisasi penting dibentuk. Hal itu diamini oleh para peserta, dan ketika Rocky mengatakan harapannya agar organisasi dan kepengurusan terbentuk di malam yang sama, seluruh peserta sepakat.
Maka berembuklah para pemuda, bermusyawarah lah perwakilan pemuda dari masing-masing komunitas. Hasil rembuk menyepakati; Manogu Simanjuntak sebagai Ketua, Irvan Sinaga sebagai Wakil Ketua, Nadia Silitonga sebagai Sekretaris, dan Risma Lumban Batu sebagai Bendahara.
Para pengurus terpilih mengatakan bahwa keterpilihan mereka bukanlah dorongan individual, dan berharap organisasi bisa berjalan dengan dorongan secara bersama-sama dari seluruh anggota dan komunitas.
Setelah terbentuknya pengurus, para peserta dan juga pendamping mengusulkan nama-nama untuk organisasi ini. Dari banyaknya usulan, terpilihlah nama Naposo Pature Bona sebagai nama organisasi.
Delima Silalahi mengatakan nama ini bermakna sangat baik. Pada pokoknya, pemuda yang bertani adalah sama dengan kembali ke akar dan memperbaikinya. Nama ini adalah wujud kesadaran, bahwa hidup di desa bukan sekadar kepentingan masing-masing saja, melainkan juga didasari kepedulian
akan keberlanjutan kampung halaman.
Manogu Simanjuntak berharap, nantinya keseluruhan masalah, cita-cita, hingga potensi yang telah didiskusikan dapat menjadi hal yang ingin dikerjakan oleh Naposo Pature Bona.
Sebelum makan malam, seluruh peserta berfoto dan meneriakkan “Naposo Pature Bona! Horas! Horas! Horas!”.