“Hanya Kebaikan Tuhan yang Menyelamatkan Kami”, tanggapan beberapa warga yang terdampak banjir bandang di Baktiraja mensyukuri selamatnya mereka dari bencana ekologis yang terjadi pada Selasa, 14 November 2023 lalu di kampung mereka.
Hujan yang turun sejak pagi, membuat warga yang baru bangun dari tempat tidurnya tidak bisa berbuat banyak selain menanti hujan reda. Bukannya reda, tapi hujan semakin deras dan debit sungai Aek Silang semakin tinggi, sekitar pukul 10.00 WIB air sudah mulai merendam jalan-jalan desa. Sungai Aek silang meluap. Mengingatkan warga pada peristiwa banjir bandang 2017 lalu.
Ada empat desa yang terdampak banjir di lembah Bakkara, yaitu Desa Marbun Tonga Dolok (Martodo), Desa Marbun Toruan, Desa Siunong-Unong Julu (Sinju) dan Desa Simamora. Banjir yang merupakan bencana ekologis ini berdampak pada kerusakan pemukiman dan persawahan. Dari hasil pemantauan tim KSPPM, puluhan hektar sawah mengalami kerusakan. Selain persawahan, rumah yang tersebar di Dusun I Kompleks GBI, Dusun II Kompleks Gereja HKBP, Desa Marbun Tonga, Marbun Dolok, Dusun III Marbun Toruan, Siunong Unong Julu ikut terdampak.
Beberapa rumah bahkan terendam sampai tidak bisa ditinggali lagi.
“Ini rumah di depan saya, tergenang air dan lumpur. Total lumpur yang dibersihkan setelahnya ada sebanyak dua mobil pickup” ujar Op. Elisa Lumban Gaol, salah satu warga Desa Martodo.
Op. Elisa masih sedikit beruntung, karena rumahnya tidak sampai terendam karena posisinya yang lebih tinggi dari jalan desa. Walau ia dan keluarganya pun tidak bisa keluar rumah karena dikelilingi genangan air.
“Hanya kebaikan Tuhan yang membuat kami selamat, kalau tidak mungkin semua air dari Aek Silang sudah turun ke sini dan seluruh Desa akan terendam” pungkasnya.
Hal itu disampaikannya, karena ternyata pada saat Aek Silang meluap, salah satu bendungan di Tombak Sulu Sulu jebol tembok pembatasnya. Jebolnya tembok ini membuat konsentrasi luapan air tidak hanya ke Desa Martodo, melainkan dialirkan ke aliran sungai lain yang sudah sempat kering.
Dampak lebih parah bisa mereka bayangkan, dan fakta jebolnya tembok bendungan mau tidak mau membuat mereka sedikit mensyukuri yang mereka alami.
Sementara penduduk Desa Siunong Unong Julu, menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir, bencana banjir terjadi sebanyak dua kali. Sebelum kejadian ini, banjir pernah terjadi pada tahun 2020. Namun tidak pernah separah ini, apa lagi sampai dapat disebut Banjir Bandang.
“Kami tidak tahu pasti kenapa belakangan banjir bandang melanda, 25 tahun saya telah hidup di kampung kami ini, belum pernah sebelumya terjadi banjir separah ini. Tapi kami tahu, di dekat hulu, di Hutagalung memang ada penebangan, jadi air pun tidak ada lagi yang menahan. Mungkin juga karena pembangunan bendungan (PLTA)”, terang salah seorang ibu.
Warga Desa Martodo lainnya tidak hanya mengalami dampak banjir pada kediaman, tetapi juga areal sawahnya. Salah seorang warga bermarga Marbun mengalaminya. Sekitar 5 petak sawahnya terendam air saat banjir dan tertimbun pasir, lumpur, dan bebatuan yang membuatnya tidak mungkin ditanami lagi.
Lagi-lagi mereka tetap bersyukur, karena mereka bisa membayangkan dampak yang lebih besar. Di samping fakta bahwa konsentrasi luapan air terbagi, banjir juga terjadi hanya beberapa hari sebelum mereka melakukan penanaman. Sebagaimana disampaikan seorang Ibu Boru Purba, bahwa kalau semua luapan air sungai dari hulu terkonsentrasi ke arah Desa mereka, mungkin semua areal sawah akan batal ditanami.
“Baiknya Tuhan itu, air itu dibuat terbagi. Coba kalau tidak, bisa-bisa kami batal marsuan (menanam padi), harus mulai rendam bibit dari awal lagi, atau malah tidak bisa menanam apa-apa karena sawah ditimbun batu semua” ujarnya sembari tersenyum.
Bencana ekologis ini tidak bisa tidak dikaitkan dengan kerusakan ekosistem di hulu Sungai Aek Silang. Selain PLTA yang kaitannya perlu dikaji lebih lanjut, perlu dicermati pula kondisi Hutan Produksi serta wilayah Konsesi Perkebunan Eukaliptus di Sektor Tele.
Hal ini mencermati pernyataan dalam konferensi pers pihak perusahaan Toba Pulp Lestari, menanggapi bencana ekologis banjir bandang di Sihotang. Ia mengakui, bahwa Daerah Tangkapan Air TPL mengalir ke arah barat daya (Aek Silang) dan barat laut (Lau Renun). Kerusakan hutan yang terjadi di DAS Aek silang sejak kehadiran perusahaan tersebut tidka bisa dipungkiri, di mana hutan-hutan alam yang tadinya menjadi hulu Aek Silang tepatnya di Kecamatan Pollung saat ini hampir seluruhnya berubah menjadi tanaman monokultur eukaliptus.
Artinya, ada hubungan antara aktivitas perkebunan tersebut dengan bencana ekologis yang terjadi di Kecamatan Bakti Raja dan daerah hilir Sungai Aek Silang. Fakta tersebut harus dicermati serius oleh pemangku kepentingan khususnya pembuat kebijakan untuk mengevaluasi izin-izin perusahaan yang berkontribusi merusak hutan dan lingkungan di Kawasan Danau Toba. Jika tidak mengambil langkah cepat, bisa jadi ke depan kita akan lebih sering memanen bencana daripada memetik nikmatnya kesejahteraan.
“Kalau sudah begini, rakyat kecil yang paling besar kerugiannya. Sementara yang menyebabkannya adalah kerjaan orang-orang kaya dan pemerintah” tutup Op. Elisa Lumban Gaol. ***
Oleh: Josua Sihite, Dion Pardede