“Semua kebenaran di dunia ini harus melewati tiga langkah. Pertama, ditertawakan. Kedua, ditentang dengan kasar. Ketiga, diterima tanpa pembuktian dan alasan.”
Ungkapan di atas sangat tepat mendeskripsikan perjalanan hidup Dorman Sigalingging sebagai petani. Semangat dan ketekunan Bapak berusia 56 tahun tersebut dalam mewujudkan mimpi tidaklah mudah. Banyak cemoohan dan cacian yang diterima, baik dari keluarga maupun orang lain. Namun, cemoohan tersebut tidak membuatnya menyerah, tetapi justru dijadikan batu loncatan untuk mencapai cita-citanya. Dia yakin dan berprinsip bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dengan serius dan ikhlas akan berbuah baik.
Dorman Sigalingging, akrab dipanggil Pak Servis, merupakan petani yang tinggal di Desa Sigumbang, Kabupaten Tapanuli Utara. Dorman menikah dengan Riris Siburian dan memiliki enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Dari keenam anaknya, salah satu dari mereka memutuskan untuk tinggal di kampung bersama orang tua. Lima lainnya memilih mengadu nasib di perantauan.
Pak Servis lahir dan besar di kampung, hingga berusia 30 tahun. Kehidupan ekonomi keluarganya sangat sulit pada masa itu, sehingga beliau memutuskan untuk mengadu nasib di kota lain. Dengan harapan bisa membantu orang tua, Pak Servis bekerja di perusahaan ekspedisi angkutan laut dan darat di Kota Sibolga. Peran ini ditekuninya selama kurang lebih 10 tahun. Namun, krisis moneter pada tahun 1998 berdampak pada perusahaannya bekerja. Pak Servis terpaksa pulang kampung.
Seperti kebanyakan perantau yang terpaksa kembali ke kampung, Pak Servis sering menghabiskan waktu di lapo atau warung untuk bercanda dan berbagi cerita. Di sana, ia bertemu dengan sesama perantau yang pulang karena krisis moneter. Mereka bertukar keluh kesah dan berbagi cerita hidup di perantauan, mendiskusikan strategi dan mencari-cari cara bertahan hidup ke depan. Tentu saja, pertanian menjadi sumber penafkahan utama bagi mereka.
Akhirnya di tahun 2001, Pak Servis bersama kawan-kawannya memutuskan untuk mengolektifkan diri dalam kelompok tani. Dalam prosesnya, mereka menyadari kebutuhan pendamping, yang dapat membantu mereka dalam meningkatkan produksi pertanian.
Tidak terlalu lama, keinginan mereka terwujud. Pak Servis dan kawan-kawannya pernah mendengar KSPPM sebagai lembaga yang mendampingi petani. Mereka berinisiatif menghubungi KSPPM melalui Darwin Manullang. Darwin pada waktu itu merupakan staf pengorganisasian KSPPM.
Mereka mengundang Darwin untuk hadir pada rapat kelompok. Pertemuan ini menjadi awal bagi Kelompok Tani Mandiri, untuk terus memperjuangkan hak-hak petani. Termasuk, menjadi pelaku pertanian yang selaras dengan alam.
Perjalanan Panjang Pertanian Organik
Ketika tiba di Desa Sigumbang, Pak Servis menghadapi banyak tantangan. Sawah-sawah milik bapaknya ternyata sudah tergadai. Tanpa pilihan lain, ia tetap menanam padi dengan sistem mamola pinang (sistem sewa dengan bagi hasil). Kondisi ini sangat merugikan, namun ia tidak menyerah.
Pak Servis mempelajari pertanian organik dengan mengikuti banyak pelatihan yang dilakukan KSPPM dan membaca berbagai buku. Ia menyadari bahwa tanpa ternak, pertanian organik tidak akan berhasil.
Tahun 2005, ia mulai beternak babi di dekat sawahnya. Ilmu yang diperolehnya membuatnya sering diundang oleh tetangga dan masyarakat desa untuk mengobati ternak babi yang sakit.
Pada tahun 2008, ia berhasil memiliki puluhan ekor babi. Dari hasil beternak, ia mampu memenuhi kebutuhan hidup, menyekolahkan anak-anaknya, dan menutupi biaya sehari-hari serta adat.
Pak Servis pertama kali menerapkan pertanian organik saat menanam cabai merah. Meskipun hasilnya memuaskan, harga yang tak menentu membuatnya beralih ke tanaman padi. Pada tahun 2017, ia mencoba teknik menanam padi dengan metode jajar legowo (pola tanam berselang-seling). Pengetahuan ini diperolehnya saat aktif dalam organisasi petani.
Teknik jajar legowo mendapat banyak tantangan. Ia sempat berdebat dengan istrinya, yang tidak yakin dengan metode tersebut. Masyarakat pun mencemooh, menganggapnya gila. Namun, Pak Servis tetap teguh.
Panen pertama dengan teknik ini mengalami peningkatan hasil, meskipun masih sulit diterima oleh keluarganya. Baru pada tahun 2020, keluarganya mulai mendukung sepenuhnya, sehingga seluruh sawah ditanami dengan teknik tersebut.
Kepercayaan dari keluarga menambah semangat Pak Servis untuk mengembangkan pertanian organik. Pada tahun 2023, ia memberanikan diri untuk tidak menggunakan pupuk kimia pada satu rante padi. Hasil panen yang melimpah membuat tujuh orang yang sebelumnya ragu, kini mencoba teknik tersebut.
Masa panen tiba, dan kini Pak Servis dipuja oleh masyarakat desa karena hasilnya yang melimpah. Perjuangannya yang panjang dan penuh tantangan akhirnya berbuah manis, membuktikan bahwa kebenaran yang ia yakini tidak sia-sia.
Menanam Aren, Memanen Berkat, Menjaga Bumi
Selama di lapo, Pak Servis dan sahabat-sahabatnya sering minum tuak (minuman beralkohol dari fermentasi nira) yang saat itu berasal dari luar desa. Ia melihat peluang ekonomi dalam menanam pohon aren untuk masa depan. Dengan semangat yang gigih, ia menanam sekitar lima puluh pokok aren di tepi ladangnya. Selain aren, ia juga menanam bambu dan pohon lainnya di lahan kritis untuk mencegah longsor dan sebagai sumber penghasilan tambahan.
Apa yang dilakukan Pak Servis banyak mendapat cemoohan dari masyarakat sekitar, termasuk keluarganya sendiri. Ia dianggap “gila” karena pada saat itu, kebutuhan dan kebiasan utama masyarakat Desa Sigumbang adalah bertani sayur-mayur.
Masyarakat sering menyebutnya “paragat agat so minum, Pangula naso mangan” (penyadap aren yang tidak minum, petani yang tidak makan). Namun, Pak Servis tetap teguh, mengabaikan cemoohan, dan terus menanam pohon di ladangnya.
Waktu berlalu, dan kini pohon aren yang ditanamnya telah berhasil menghasilkan air nira. Bambu yang ditanamnya kini digunakan sebagai tangga untuk memanjat pohon aren, dan pohon-pohon lain yang ditanamnya telah digunakan untuk membangun rumah dan kedai unutk memasarkan hasil tuak yang sudah berproduksi.
Setiap hari Pak Servis dibantu anaknya mampu menjual dua sampai tiga kaleng tuak per hari. Dia tidak lagi harus pergi ke lapo untuk menikmati segelas tuak yang kualitasnya tidak bisa dijamin. Sebaliknya, dia menyediakan kebutuhan tuak di kampungnya dan mendapatkan penghasilan setidaknya Rp 200.000 setiap harinya.
Lahannya pun saat ini tidak lagi kritis seperti dua puluh tahun lalu, sekarang dipenuhi ragam pohon. Kegigihannya menanam pohon di masa lalu mewariskan lahan yang asri bagi anak-anaknya di kemudian hari.
Pak Servis merupakan kader Serikat Tani Taput (ST Taput) yang maju dalam pertanian selaras alam, hal ini dibuktikan dengan kerja-kerja nyata yang masih tekun dilakukan hingga saat ini. Sejak memulai pertanian lagi hingga sekarang, Pak Servis tetap konsen melakukan pemulihan di tanah-tanah kritis dengan menanam pohon-pohon dan bambu.
Dia menyadari bahwa hidup tidak hanya tentang menghasilkan uang, tetapi juga tentang bagaimana memperbaiki lingkungan. Banyak orang saat ini berlomba-lomba untuk menghasilkan uang, namun mereka sering melupakan bagaimana memperbaiki lingkungan.
“Saya sadar tindakan yang saya lakukan pada saat, banyak orang yang mencemooh, khususnya menaman pohon aren, tapi saya hiraukan ocehan itu dan saat ini saya sudah menikmati buah yang di tertawakan orang orang 20 tahun yang lalu’ katanya.