ksppm
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa
Donation
No Result
View All Result
en English id Indonesian
ksppm
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa
Donation
No Result
View All Result
en English id Indonesian
ksppm
Donation
Pemkab Toba Harus Bertanggung Jawab atas Kekerasan Berulang terhadap Masyarakat Adat Natinggir.
  • Oleh:
  • Rocky Pasaribu
  • •
  • 11 Agustus 2025
Reading Time: 2 mins read
A A

Pemerintah Kabupaten Toba tidak bisa terus-menerus menghindari tanggung jawab atas kekerasan yang terus berulang terhadap masyarakat adat, khususnya terhadap masyarakat adat Natinggir hari ini. Kekerasan yang terjadi hari ini bukanlah insiden tunggal atau kebetulan belaka, melainkan konsekuensi dari pembiaran struktural yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap hak-hak masyarakat adat yang telah lama terabaikan.

Sejak tahun 2019, masyarakat adat Pomparan Ompu Raja Naso Malo Marhohos Pasaribu di Natinggir, telah menyampaikan permohonan resmi kepada Pemerintah Kabupaten Toba untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum atas identitas dan wilayah adat mereka. Namun hingga kini, tidak ada satu pun keputusan atau langkah konkret yang diambil oleh pemerintah daerah untuk merespons permohonan tersebut. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya: masyarakat terus-menerus dihadapkan pada intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan dari pihak perusahaan, yaitu PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang mengklaim sepihak wilayah adat sebagai konsesi mereka.

Upaya masyarakat tidak berhenti hanya pada surat permohonan. Pada tahun 2021, pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bersama Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatera, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, dan Pemerintah Kabupaten Toba sendiri telah membentuk tim terpadu untuk melakukan verifikasi dan identifikasi terhadap 18 komunitas adat, termasuk masyarakat adat Natinggir. Hasil verifikasi menyatakan bahwa masyarakat Natinggir memang memenuhi syarat sebagai masyarakat hukum adat dan direkomendasikan untuk melakukan penyelesaian batas wilayah dengan Desa Simare.

Baca Juga

Desak Pemerintah Hentikan Kekerasan

Kunjungan Pastoral : Menguatkan Natinggir Yang Sedang Terluka

Rekomendasi ini langsung ditindaklanjuti oleh masyarakat. Dalam waktu satu minggu setelah verifikasi, masyarakat adat Natinggir dan Desa Simare telah mencapai kesepakatan mengenai batas wilayah adat, yang dituangkan dalam Berita Acara (BAP). Dokumen ini telah diserahkan kembali kepada tim terpadu dan kepada Pemerintah Kabupaten Toba.

Namun, alih-alih menindaklanjuti hasil kerja tim yang justru melibatkan lembaga negara dan kementerian teknis, Pemerintah Kabupaten Toba justru terkesan mengabaikannya. Tidak ada kejelasan, tidak ada tindak lanjut, tidak ada keputusan. Pemerintah daerah seolah menutup mata dan telinga atas proses panjang yang telah ditempuh masyarakat dan lembaga negara, serta atas risiko kekerasan yang terus dialami masyarakat di lapangan.

Padahal, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pemerintah kabupaten memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. Dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah lain yang sudah menjalankan mandat ini, seperti Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengakui masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, serta Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang telah menerbitkan SK pengakuan terhadap beberapa komunitas adat lainnya.

SK pengakuan dari pemerintah kabupaten adalah syarat utama agar Kementerian LHK dapat menetapkan wilayah tersebut sebagai hutan adat. Tanpa SK ini, wilayah adat masyarakat adat Natinggir tetap berada dalam status “kawasan hutan negara”, yang mempermudah perusahaan seperti TPL masuk dan mengeksploitasi lahan tanpa izin dan persetujuan dari masyarakat.

Kegagalan Pemkab Toba untuk menerbitkan SK pengakuan ini bukan hanya bentuk kelalaian administratif, tetapi bisa disebut sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena telah membiarkan masyarakat hidup dalam situasi yang penuh ancaman dan kekerasan. Kekerasan yang terjadi di Natinggir hari ini merupakan akibat langsung dari ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, dan bentuk pembiaran terhadap praktik-praktik kolonial yang terus dilakukan oleh perusahaan atas nama “pembangunan” dan “konsesi negara”.

Sudah terlalu lama masyarakat adat menjadi korban dalam diam. Sudah terlalu lama pemerintah daerah bersembunyi di balik birokrasi tanpa keberpihakan nyata. Saatnya Pemerintah Kabupaten Toba menghentikan praktik pembiaran ini dan menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya: mengakui, melindungi, dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Setiap hari penundaan adalah satu hari tambahan bagi kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hak yang terus berlangsung di atas tanah leluhur masyarakat adat Natinggir.

Rocky Pasaribu
Direktur KSPPM

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Rocky Pasaribu
  • atau artikel terkait
  • Toba

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Sebelumnya

Kronologis Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) Terhadap Masyarakat Adat Natinggir

Artikel Berikutnya

PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak

Pemkab Toba Harus Bertanggung Jawab atas Kekerasan Berulang terhadap Masyarakat Adat Natinggir.
  • Oleh:
  • Rocky Pasaribu
  • •
  • 11 Agustus 2025
Reading Time: 2 mins read
A A

Pemerintah Kabupaten Toba tidak bisa terus-menerus menghindari tanggung jawab atas kekerasan yang terus berulang terhadap masyarakat adat, khususnya terhadap masyarakat adat Natinggir hari ini. Kekerasan yang terjadi hari ini bukanlah insiden tunggal atau kebetulan belaka, melainkan konsekuensi dari pembiaran struktural yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap hak-hak masyarakat adat yang telah lama terabaikan.

Sejak tahun 2019, masyarakat adat Pomparan Ompu Raja Naso Malo Marhohos Pasaribu di Natinggir, telah menyampaikan permohonan resmi kepada Pemerintah Kabupaten Toba untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum atas identitas dan wilayah adat mereka. Namun hingga kini, tidak ada satu pun keputusan atau langkah konkret yang diambil oleh pemerintah daerah untuk merespons permohonan tersebut. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya: masyarakat terus-menerus dihadapkan pada intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan dari pihak perusahaan, yaitu PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang mengklaim sepihak wilayah adat sebagai konsesi mereka.

Upaya masyarakat tidak berhenti hanya pada surat permohonan. Pada tahun 2021, pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bersama Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatera, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, dan Pemerintah Kabupaten Toba sendiri telah membentuk tim terpadu untuk melakukan verifikasi dan identifikasi terhadap 18 komunitas adat, termasuk masyarakat adat Natinggir. Hasil verifikasi menyatakan bahwa masyarakat Natinggir memang memenuhi syarat sebagai masyarakat hukum adat dan direkomendasikan untuk melakukan penyelesaian batas wilayah dengan Desa Simare.

Baca Juga

Desak Pemerintah Hentikan Kekerasan

Kunjungan Pastoral : Menguatkan Natinggir Yang Sedang Terluka

Rekomendasi ini langsung ditindaklanjuti oleh masyarakat. Dalam waktu satu minggu setelah verifikasi, masyarakat adat Natinggir dan Desa Simare telah mencapai kesepakatan mengenai batas wilayah adat, yang dituangkan dalam Berita Acara (BAP). Dokumen ini telah diserahkan kembali kepada tim terpadu dan kepada Pemerintah Kabupaten Toba.

Namun, alih-alih menindaklanjuti hasil kerja tim yang justru melibatkan lembaga negara dan kementerian teknis, Pemerintah Kabupaten Toba justru terkesan mengabaikannya. Tidak ada kejelasan, tidak ada tindak lanjut, tidak ada keputusan. Pemerintah daerah seolah menutup mata dan telinga atas proses panjang yang telah ditempuh masyarakat dan lembaga negara, serta atas risiko kekerasan yang terus dialami masyarakat di lapangan.

Padahal, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pemerintah kabupaten memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. Dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah lain yang sudah menjalankan mandat ini, seperti Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengakui masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, serta Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang telah menerbitkan SK pengakuan terhadap beberapa komunitas adat lainnya.

SK pengakuan dari pemerintah kabupaten adalah syarat utama agar Kementerian LHK dapat menetapkan wilayah tersebut sebagai hutan adat. Tanpa SK ini, wilayah adat masyarakat adat Natinggir tetap berada dalam status “kawasan hutan negara”, yang mempermudah perusahaan seperti TPL masuk dan mengeksploitasi lahan tanpa izin dan persetujuan dari masyarakat.

Kegagalan Pemkab Toba untuk menerbitkan SK pengakuan ini bukan hanya bentuk kelalaian administratif, tetapi bisa disebut sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena telah membiarkan masyarakat hidup dalam situasi yang penuh ancaman dan kekerasan. Kekerasan yang terjadi di Natinggir hari ini merupakan akibat langsung dari ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, dan bentuk pembiaran terhadap praktik-praktik kolonial yang terus dilakukan oleh perusahaan atas nama “pembangunan” dan “konsesi negara”.

Sudah terlalu lama masyarakat adat menjadi korban dalam diam. Sudah terlalu lama pemerintah daerah bersembunyi di balik birokrasi tanpa keberpihakan nyata. Saatnya Pemerintah Kabupaten Toba menghentikan praktik pembiaran ini dan menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya: mengakui, melindungi, dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Setiap hari penundaan adalah satu hari tambahan bagi kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hak yang terus berlangsung di atas tanah leluhur masyarakat adat Natinggir.

Rocky Pasaribu
Direktur KSPPM

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Rocky Pasaribu
  • atau artikel terkait
  • Toba

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Sebelumnya

Kronologis Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) Terhadap Masyarakat Adat Natinggir

Artikel Berikutnya

PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak

Related Articles

Aksi di depan kantor Bupati Toba, Balige

Desak Pemerintah Hentikan Kekerasan

16 Agustus 2025
Kunjungan Pastoral : Menguatkan Natinggir Yang Sedang Terluka

Kunjungan Pastoral : Menguatkan Natinggir Yang Sedang Terluka

13 Agustus 2025
Tindakan PT TPL di Wilayah Adat Natinggir

Tindakan PT TPL di Wilayah Adat Natinggir

13 Agustus 2025

PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak

11 Agustus 2025

Kronologis Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) Terhadap Masyarakat Adat Natinggir

11 Agustus 2025

Dampak Kehadiran Industri PT. Inti Indorayon Utama-PT Toba Pulp Lestari

21 Juli 2025

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. Pada tahun 1984, pendahulu kami sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia…Selengkapnya 

  • Girsang 1, Kec. Girsang Sipangan Bolon, Kab. Simalungun - Parapat, Sumatera Utara 21174
  • pksppm@yahoo.com
  • +0625 42393
Facebook Instagram X-twitter Youtube

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. Pada tahun 1984, pendahulu kami sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia…Selengkapnya 

  • Girsang 1, Kec. Girsang Sipangan Bolon, Kab. Simalungun - Parapat, Sumatera Utara 21174
  • pksppm@yahoo.com
  • +0625 42393
Facebook Instagram X-twitter Youtube
© Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat - KSPPM. All Rights Reserved.
Home
Home
Buletin
Buletin
Channel
Channel
Explore
Explore
No Result
View All Result
en English id Indonesian
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa