Pangururan, 9 Agustus 2025 — Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS) mendesak Pemerintah Kabupaten Samosir segera mengambil langkah darurat menghadapi dampak kemarau panjang empat bulan terakhir yang memicu gagal panen jagung, padi, cabai, dan kopi. Produksi di beberapa wilayah anjlok hingga 80%, menurunkan daya beli masyarakat dan memperburuk krisis air bersih.
Dalam konferensi pers yang digelar di Sopo Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Pangururan, bersama KSPPM, STKS menyampaikan tuntutan percepatan pembahasan Peraturan Daerah Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perda P3) sebagai bentuk perlindungan jangka panjang, serta penanganan darurat berupa kompensasi kerugian, bantuan bibit dan pupuk, dan penyediaan akses air bersih yang merata hingga pelosok.

Suara dari Lapangan: Kehilangan Panen, Kehilangan Harapan
Henrika Sitanggang, Ketua Serikat Tani Samosir memulai dengan gambaran langsung kondisi petani:
“Kami hanya punya modal untuk sekali tanam. Musim ini gagal, musim depan kami kelaparan. Hasil panen bukan hanya untuk makan, tapi juga untuk biaya sekolah anak-anak. Jagung kami kerdil karena tidak dapat air tepat waktu, hanya jadi pakan ternak. Modal habis, tidak ada hasil. Saat harga cabai tinggi, kami sudah tidak punya stok lagi.”
Henrika menegaskan bahwa kemarau tahun ini dirasakan petani Samosir jauh lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya:
“Kemarau ini agenda tahunan. Kami sudah berusaha mempersiapkan lahan dan modal, tapi pemerintah seharusnya juga punya rencana dan anggaran untuk mengantisipasi. Nyatanya, dampak tahun ini jauh lebih berat.”
Dolan Dora br Simbolon juga ikut menggambarkan situasi yang dialaminya:
“Produksi jagung hanya 20 persen dari biasanya. Bukan hanya jagung, padi, kopi, dan cabai juga turun drastis. Harga di pasar tidak bersahabat. Kerugian besar ini membuat kami sulit memikirkan masa depan. Kami berharap pemerintah memperhatikan keberlanjutan peran kami sebagai petani, bukan hanya saat krisis.”
Nasir Simbolon menegaskan skala masalahnya:
“Lebih dari 70 persen petani bermasalah dengan hasil panennya. Daya beli menurun, kebutuhan makan dan biaya sekolah anak terancam. Ini kategori darurat. Kami minta kompensasi, bantuan bibit, dan pupuk agar bisa kembali menanam. Modal masyarakat sudah habis.”
Yacob Napitupulu, staf Pengorganisasian KSPPM, menyoroti pentingnya akses air untuk mencegah gagal panen:
“Jika petani memiliki akses air yang baik, mereka bisa mengantisipasi kemarau. Tapi kini, sumber mata air lokal banyak yang kering. Dampaknya, sektor pertanian—yang krusial bagi ekonomi Samosir—lumpuh. Kami mendesak percepatan pembahasan Peraturan Daerah Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perda P3)—walaupun sudah di tahap penyusunan naskah akademik—agar petani punya tempat mengadu dan dilindungi secara hukum.”
Krisis Air Bersih: Luka Tahunan yang Tidak Sembuh
Selain gagal panen, kemarau panjang memicu krisis air bersih. Henrika menjelaskan:
“Bantuan air bersih dari pemerintah hanya menjangkau jalan besar. Warga di pelosok terpaksa meminum air kubangan kerbau yang bercampur lumpur. Petani yang tinggal di pinggir jalan biasanya keluarga mampu, sementara yang miskin di pedalaman justru tak terlayani. Ini tidak adil.”
Susi Halawa, staf studi dan Advokasi KSPPM menambahkan perspektif hak dasar:
“Secara nasional, sejak tahun 2017, Indonesia telah meratifikasi tujuan pembangunan global dalam program Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Sehingga dalam setiap rencana pembangunan nasional maupun daerah harus mengintegrasikannya dalam prioritas pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Termasuk Kabupaten Samosir telah mengadopsinya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjangan Daerah (RPJPD) 20 tahunan dan diturunkan lagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 5 tahunan. Dalam konteks krisis air bersih, prioritas pembangunan dalam SDGs termuat di poin tujuan nomor enam, yakni penyediaan akses air bersih dan sanitasi yang layak. Sehingga, tidak ada alasan bagi Pemerintah Kabupaten Samosir untuk tidak serius menyelesaikan persoalan ini. Karena secara kebijakan dan hukum sudah kuat. Air bersih adalah hak dasar warga. Kita juga melihat dampak khusus pada kelompok rentan: perempuan harus menanggung beban tambahan mengambil air, anak-anak berjalan puluhan menit menembus hutan, lansia mengonsumsi air yang tidak layak, penyandang disabilitas kesulitan mengakses sumber air. Pemerintah harus memastikan akses merata bagi semua.”
Susi juga mengangkat fakta di lapangan:
“Kami melihat langsung di Desa Lintongnihuta, anak-anak membantu orang tuanya mengambil air menyusuri hutan selama 30 menit perjalanan pulang-pergi. Mereka harus mengangkat air di jalur terjal, demi kebutuhan minum dan masak. Lansia yang fisiknya lemah terpaksa mengkonsumsi air yang tercemar, meningkatkan risiko penyakit. Situasi ini tidak bisa terus dibiarkan.”
Data yang Menegaskan Krisis
Data BPS 2024 menunjukkan sektor pertanian menyumbang 49,98% PDRB Samosir, namun trennya menurun dari 51,25% (2022) menjadi 51,08% (2023). Dominasi pekerjaan di sektor pertanian juga turun dari 66,64% (2022) menjadi 59,23% (2024).
Susi menegaskan:
“Penurunan ini mencerminkan berkurangnya minat dan kemampuan bertani akibat risiko iklim dan minimnya perlindungan. Jika tren ini berlanjut, ketahanan pangan Samosir terancam, padahal pemerintah pusat mendorong swasembada pangan. Sayangnya, kenyataan di daerah justru berbanding terbalik.”
Tuntutan Konkret kepada Pemerintah Kabupaten Samosir
- Langkah Darurat:
- Kompensasi kerugian gagal panen.
- Bantuan bibit, pupuk, dan sarana produksi pertanian.
- Distribusi air bersih merata hingga pelosok dengan memperhatikan kelompok rentan.
- Perlindungan Jangka Panjang:
- Percepatan pembahasan dan pengesahaan Peraturan Daerah Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perda P3).
- Perencanaan Berkelanjutan:
- Integrasi penanganan kekeringan dan krisis air bersih dalam perencanaan anggaran daerah, dengan pendekatan adaptasi iklim dan pemerataan layanan puublik.
Pesan Penutup
Henrika menegaskan:
“Kemarau ekstrem tahun ini adalah sinyal keras bagi pemerintah. Petani Samosir tidak bisa menghadapi krisis ini sendirian. Air dan pangan adalah hak dasar. Pemerintah wajib memastikan keduanya tersedia dan terjangkau, agar jeritan petani tidak lagi menjadi agenda tahunan.”




