Medan, 30 Oktober 2025 — Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan bekerja sama dengan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menggelar seminar bertajuk “Jalan Panjang Konflik Sumber Daya Alam di Sumatera Utara”. Kegiatan ini menghadirkan mahasiswa/i untuk membahas tentang konflik sumber daya alam yang berdampak pada kerusakan ekologi, kehilang ruang hidup, melemahnya ekonomi petani hingga kriminalisasi yang dihadapi oleh Masyarakat Adat dan Petani.
Acara dibuka dengan doa bersama, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Nommensen, serta sambutan dari perwakilan lembaga penyelenggara. Dalam sambutannya, Duad Sihombing, Koordinator JKLPK Wilayah Sumatera Utara, menyampaikan keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas perusahaan ekstraktif di wilayah Danau Toba, seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL). Banyak harapan supaya diskusi ini sebagai wadah untuk menyamakan pikiran, melihat kejadian saat ini merupakan persoalan bersama dan mendorong pemerintah agar tidak menutup mata.
Sementara itu, Angela Manihuruk dari KSPPM menjelaskan bahwa seminar ini merupakan bagian dari rangkaian diskusi diberbagai kampus untuk mengajak mahasiswa terlibat dalam refleksi dan advokasi isu-isu sumber daya alam. “Kegiatan ini lahir dari kegelisahan bersama. Kita ingin mahasiswa menjadi bagian dari gerakan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan,” tutur Angela.
Sambil membuka acara, Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Dr. Janpatar Simamora, dalam sambutannya menegaskan pentingnya tanggung jawab moral dan hukum terhadap lingkungan hidup. Dalam amanat konstitusi menegaskan bahwa lingkungan yang sehat adalah hak setiap warga negara. Mahasiswa hukum harus memiliki kepekaan sosial dan menjadi bagian dari solusi.
Sesi diskusi dimulai yang dimoderatori oleh Angela Manihuruk dan menghadirkan tiga narasumber: Roulina Saragih (Masyarakat Adat Natinggir, Kabupaten Toba), Roki Pasaribu (KSPPM), dan Jinner Sidauruk, S.H, M.H (dosen Fakultas Hukum UHN).
Dalam pemaparannya, Roulina Saragih menyampaikan kesaksian langsung mengenai konflik lahan yang dialami masyarakat adat Natinggir. “Kami sudah turun-temurun hidup di tanah itu. Namun sejak perusahaan menanami eukaliptus, kami kehilangan lahan dan sumber hidup. Kami sering diintimidasi dan tidak tahu lagi harus mengadu kepada siapa,” ungkapnya dengan haru.
Roki Pasaribu menyoroti bahwa konflik agraria seperti yang dialami Natinggir bukan kasus tunggal. Ia menjelaskan bahwa akar masalahnya adalah ketimpangan penguasaan tanah dan lemahnya reforma agraria. Roki menambahkan bahwa penyelesaikan konflik harus menjadi penanganan yang serius dan keberpihakan pemerintah kepada rakyatnya.
Setelah itu, Pak Jinner Sihombing memaparkan sejarah masuknya industri Pulp ke Sumatera Utara. “Pabrik TPL awalnya direncanakan di Filipina, tapi ditolak karena dampak ekologisnya. Sayangnya, Indonesia justru menerima tanpa kajian mendalam. Sejak saat itu, Tapanuli dan Toba kehilangan fungsi agrarisnya, polusi meningkat, dan masyarakat adat kehilangan ruang hidup,” tegasnya.

Ia menambahkan, dampak lingkungan seperti kekeringan, banjir, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat adat adalah bentuk nyata dari kerusakan ekologis yang belum ditangani serius. “Hanya satu jalan keluar: hentikan praktik yang merusak dan kembalikan hak masyarakat adat,” serunya disambut tepuk tangan peserta.
Pada sesi tanya-jawab, mahasiswa mempertanyakan dan merefleksikan persoalan izin konsesi yang belum dicabut padahal sudah merugikan negara, dana CSR dan untuk dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) di setiap Kabupaten yang diduga tidak transparan, hingga bertanya bagaimana langkah konkret mahasiswa bisa berperan dalam gerakan lingkungan.
Menjawab berbagai pertanyaan dan refleksi mahasiswa tersebut, para narasumber memberikan pendapat sekaligus menyampaikan harapan untuk keberlanjutan dari seminar ini. Roki Pasaribu menyampaikan: “Diam melihat ketidakadilan adalah dosa. Mahasiswa harus menemukan caranya sendiri untuk bergerak. Kampus Nommensen punya sejarah panjang keberpihakan pada keadilan,” katanya.
Roulina Saragih mengajak mahasiswa untuk boleh datang ke Natinggir agar melihat realita masyarakat korban dari kehadiran PT. TPL. “Datanglah ke kampung kami, lihat sendiri bagaimana kami hidup. Bahkan pekerja TPL pun hidup susah. Kami ingin keadilan, bukan belas kasihan,” ujarnya.
Pak Jinner Sidauruk menegaskan bahwa bumi diciptakan untuk ditinggali, bukan untuk dihancurkan. Mahasiswa hukum punya tanggung jawab moral dan ilmiah untuk memastikan keadilan itu terwujud.
Seminar diakhiri dengan refleksi bersama mengenai pentingnya keberpihakan pada lingkungan dan masyarakat adat. Para narasumber menegaskan bahwa penyelesaian konflik sumber daya alam harus dilakukan dengan transparansi, penegakan hukum, dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Kegiatan kemudian ditutup dengan sesi dokumentasi dan pernyataan sikap bersama antara mahasiswa, dosen, KSPPM dan JKLPK untuk mendukung perjuangan keberlanjutan sumber daya alam di Sumatera Utara.





