Sebuah Perjalanan Berliku
Dinamika Perjuangan.
Pada awal tahun 2020, KSPPM bersama masyarakat Nagasaribu merayakan tahun baru di Nagasaribu. Momen ini dijadikan sebagai ruang refleksi sekaligus untuk menyusun program kerja. Antusiasme masyarakat sama seperti di acara-acara sebelumnya. Tua-muda dan anak anak ikut ambil bagian dalam perayaan tersebut.
Namun sejak Maret 2020, ketika Covid-19 melanda Indonesia, kunjungan KSPPM ke Nagasaribu menjadi terbatas. Kebijakan pemerintah mengenai work from home (WFH) menyebabkan KSPPM tidak melakukan kunjungan hampir selama 2 bulan ke Ngasaribu. Di sela-sela WFH, KSPPM mendapat kabar bahwa masyarakat telah mengganti ketua, karena tidak sevisi lagi dengan perjuangan. Sontak kami terkejut mendengar kabar itu. Namun karena larangan berpergian masih berlaku, kami hanya bisa berkoordinasi lewat telepon agar persoalan tersebut jangan sampai menimbulkan konflik horizontal.
Setelah kebijakan WFH mulai dilonggarkan, KSPPM berkunjung ke Nagasaribu, untuk mengkonfirmasi beberapa hal termasuk penggantian ketua komunitas dan berdiskusi untuk penguatan organisasi. Sesampainya di Nagasaribu, kami berjumpa dengan beberapa penetua kampung, tetapi sambutan masyarakat tidak sehangat seperti biasanya. Selama berdikusi kami mendengar bahwa masyarakat telah membuat jadwal bertemu dengan managemen PT. TPL. Tujuanya adalah untuk memperjelas batas wilayah adat Nagasaribu dengan kehutanan. Kami sangat terkejut. Sebelumnya masyarakat tidak pernah mau bertemu TPL. Kami bahkan pernah mendengar bahwa PT. TPL hendak memberikan sejumlah uang kepada masyarakat termasuk ketua komunitas agar tidak berjuang, namun ditolak mentah-mentah oleh masyarakat.
Seminggu setelah bertemu dengan perusahaan, berlangsung lagi pertemuan dengan perusahaan, kehutanan dan kepolisian di lapangan (masih bagian wilayah adat Nagasaribu) untuk menentukan batas kehutanan dan tanah masyarakat. Anehnya, hanya ada 2 orang dari masyarakat adat Nagasaribu yang menghadiri pertemuan itu. Waktu kami bertanya kemana warga masyarakat lainnya, kedua orang tersebut menjawab, “Masyarakat yang lain sudah tidak perduli lagi”.
KSPPM semakin kuatir dengan langkah yang dipilih oleh segelintir tokoh masyarakat ditambah mereka tidak mau lagi berdiskusi dengan KSPPM. Bahkan menolak komunikasi lewat telepon. Menolak berburuk sangka, kami memilih untuk diam agar situasi tidak semakin rumit.
Pada Juni 2020, kami mendengar bahwa masyarakat telah bermitra dengan perusahaan. Untuk memastikan kabar tersebut, kami menghubungi sejumlah orang dan memeriksa di media sosial. Masyarakat ternyata benar telah menjalin kesepakatan dengan perusahaan untuk menghentikan konflik. Sebagai hadiah, PT TPL memberi bantuan berupa bibit tanaman. Masyarakat juga telah memberikan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) ke perusahaan sebagai bukti kesediaan bermitra. Semua pengurus dan penatua yang aktif berjuang selama ini juga ikut dalam kemitraan itu.
Menyikapi informasi tersebut, KSPPM berencana meninggalkan Nagasaribu, dengan catatan bahwa kemitraan tersebut benar-benar pilihan bersama masyarakat. Namun jika terdapat unsur paksaan dan ketidakpahaman masyarakat di dalamnya, KSPPM akan mencoba mengorganisir lagi. Namun untuk sementara waktu KSPPM mengambil sikap untuk mendinginkan situasi.
Pasca kejadian tersebut, KSPPM tidak berkunjung ke Nagasaribu. Namun secara tak sengaja, saya (Rocky) bertemu dengan Jonris Simanjuntak, salah seorang anggota masyarakat adat Nagasaribu, di Natinggir. Saya mencoba memastikan kebenaran berita mengenai kerjasama tersebut. Ternyata kerjasama tersebut hanya dilakukan oleh 40 orang, bukan keseluruhan masyarakat Nagasaribu. “Itu pun bukan hasil musyawarah masyarakat,” tegas Jonris. Jonris menambahkan bahwa anggota masyarakat yang menyerahkan KTP dan KK tersebut tidak memahami kemitraan yang ditawarkan oleh perusahaan. “Ini hanya ulah TPL agar masyarakat terpecah,” kata Jonris. Saya lalu bertanya tentang respon masyarakat yang tidak ikut bermitra, apakah masih berjuang seperti dulu? Jonris menjawab, “Saya belum tahu; sesungguhnya orang-orang yang tidak ikut bermitra inipun belum teguh hatinya untuk berjuang”. Jonris lalu menanyakan apakah KSPPM akan bersedia mendampingi jika hanya dia seorang yang mau berjuang. Saya jawab dengan yakin, “KSPPM akan selalu siap mendampingi masyarakat yang mau berjuang”. Pembicaraan kami berhenti di situ karena kami melanjutkan perjalanan masing-masing.
Paskah pertemuan di Natinggir, mulai terbuka komunikasi personal dengan Jonris. Pada Agustus 2020, ketika KSPPM dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak melakukan focus group discussion (FGD) tentang Percepatan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara di Kantor Bupati, saya mengabari dan mengundang Jonris untuk hadir. Jonris datang bersama 1 (satu) orang temannya dari Nagasaribu.
Sebulan setelah acara di Kantor Bupati, KSPPM, ST Taput dan Komunitas Op. Bolus Simanjuntak merayakan Hari Tani Nasional di Napa (wilayah adat Op. Bolus). Saya kembali mengabari dan mengundang Jonris. Beliau datang, kali ini bersama 3 (tiga) orang temannya dari Nagasaribu.
Setelah pertemuan di Napa, Pak Ester, salah seorang perwakilan masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan yang kebetulan abangnya Jonris, menghubungi saya. Dia meminta pendapat saya mengenai Nagasaribu. Kami pun bercerita banyak bagaimana menyikapi kondisi Nagasaribu. Sesudahnya, Pak Ester semakin instensif berkomunikasi lewat telepon, sekedar berdiskusi atau memberitahu kondisi masyarakat di Nagasaribu. Hingga suatu ketika dia menghubungi saya, mengabari bahwa masyarakat yang bermitra dengan perusahaan mau mengundurkan diri tetapi tidak tahu caranya. Saat saya menanyakan alasan mengundurkan diri, Pak Ester menjawab, “Selama 3 (tiga) bulan bermitra dengan perusahaan, masyarakat tidak mendapatkan apa-apa; masyarakat juga sudah paham bahwa kemitraan tersebut justru akan meniadakan hak mereka atas tanah adatnya”. Pak Ester juga menambahkan bahwa masyarakat yang tidak ikut bermitra ingin melanjutkan perjuangan. Lalu saya meminta Pak Ester untuk mendata kembali siapa saja yang mau mengundurkan diri dan ingin berjuang.
Sejak saat itu, hampir setiap hari saya dengan Pak Ester berkomunikasi lewat telephone. Komunikasi by phone ini kami pilih karena keadaan dikampung belum stabil. Pak ester tidak mau kehadiran kami justru dituduh sevagai provokator. Setelah diskusi yang intens selama kurang lebih 1 (satu) bulan dengan Pak Ester, akhirnya dia menyampaikan bahwa saat ini sudah ada 72 KK yang mau berjuang dari 89 KK jumlah penduduk Nagasaribu. Saya pun terkejut dengan perkembangan yang disampaikan oleh Pak Ester. Lalu saya bilang, langkah pertama yang harus dilakukan ialah menyurati Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar KLHK tahu bahwa yang melakukan kerjasama tersebut bukan atas nama seluruh masyarakat dan pengunduran diri dari hutan kemitraan.
Oktober 2020, masyarakat pun menyurati KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi, KPH Balige, Bupati Taput, DPRD Taput, dan camat, untuk menyampaikan bahwa pola kemitraan yang ditawarkan oleh TPL bukan solusi yang baik bagi masyarakat, justru telah mencederai persaudaraan mereka di Nagasaribu, dan menyatakan bahwa masyarakat Adat Nagasaribu masih berjuang untuk mendapatkan tanah/hutan adat nya. Sekaligus menyatakan pengunduran dari hutan kemitraan.
Akibat surat pengunduran yang disampaikan ke KLHK, Konflik horizontal pun tidak terhindarkan, relasi sosial yang selama ini baik, mulai memburuk. Pemerintah kecamatan pun merespon dengan mempertemukan kedua belah pihak di kantor camat, namun hasilnya buntu, karena kedua belah pihak sama-sama ngotot dengan pilihannya. Satu pihak berkeinginan tetap bermitra dengan Perusahaan sementara pihak satu lagi menolak bermitra dengan Perusahaan.
Untuk merespon kondisi tersebut, KSPPM menyarankan masyarakat dapat menahan diri agar konflik horizontal tidak meningkat, KSPPM menyarankan jikalaupun sebahagian masyarakat tidak ingin berjuang bersama lagi, jangan dipaksa, dimusuhi, apalagi sampai bentrok. Puji syukur masyarakat pun menerima saran KSPPM, sehingga dapat meredam emosi masyarakat. Setelah semuanya berjalan normal, masyarakat pun memilih Jonris Simanjuntak sebagai ketua komunitas menggantikan Jimmi Simanjuntak. **