Masyarakat Adat Nagasaribu Mendapatkan SK Hutan Adat (Part-3)

Sebuah Perjalanan Berliku

Membangun Kembali Organisasi

Setelah kepengurusan yang baru dipilih pada November 2020, untuk pertama kali setelah dinamika panjang yang dilalui, masyarakat pun melakukan rapat umum dan mengundang KSPPM. Saya yang hadir pada pertemuan tersebut terharu karena rapat umum seperti ini sudah lama tidak pernah ada. Semua orang yang berbicara memperlihatkan rasa emosionalnya. Dalam pertemuan tersebut, masyarakat bersepakat untuk melanjutkan perjuangan yang tertunda.

Seusai rapat umum tersebut, KSPPM kembali rutin berkunjung dan live-in di Nagasaribu seperti dahulu. Tapi ada sedikit perubahan dalam pendekatan yang dipilih. Staf yang live-in tidak lagi di rumah pengurus. Semua rumah penduduk Nagasaribu mesti dikunjungi dan tinggal disana. Diskusi bulanan juga kembali dilakukan, baik di kampung maupun di sopo. Program penguasaan wilayah adat juga kembali dilakukan.

Suasana di kampung pun berangsur normal, kendati masih ada 2 kubu yang pro-kontra terhadap perusahaan. Namun suasana tiba-tiba memanas kembali saat masyarakat yang kontra, perusahaan melakukan penanaman jagung di wilayah adatnya. Aksi penolakan dilakukan oleh pihak perusahaan dan masyarakat yang pro-perusahaan.  Hampir terjadi bentrok antara masyarakat dengan perusahaan dan masyarakat yang pro-perusahaan. Namun petugas keamanan yang hadir di lokasi berhasil melerai. Malam hari sesudah kejadian itu, masyarakat mengadakan rapat umum di bawah selembar tenda. Mereka saling menguatkan dan bersepakat bahwa musuh mereka adalah perusahaan, bukannya masyarakat Nagasaribu. Sejak kejadian itu, rasa solidaritas mereka pun tumbuh semakin kuat.

Sebulan setelah kejadian di Nagasaribu, tepatnya Mei 2021, masyarakat adat Natumingka yang kebetulan tetangga mereka, juga mengalami kekerasan yang sama dari PT TPL.  Sebagai bentuk solidaritas, masyarakat Nagasaribu berkunjung ke Natumingka untuk memberikan dukungan moril.

Rentetan kekerasan yang dilakukan oleh PT. TPL terhadap masyarakat adat Tano Batak di beberapa tempat memunculkan aspirasi spontan dan seruan agar PT.TPL segera ditutup. Masyarakat melakukan konsolidasi untuk membentuk Aliansi Gerakan Tutup TPL yang di deklarasikan di Natinggir pada 10 Juni 2021. Masyarakat adat Nagasaribu hadir saat konsolidasi dan Jonris terpilih sebagai pengurus Aliansi Gerakan Tutup TPL. Konsolidasi seluruh masyarakat adat di Natinggir ini semakin meningkatkan semangat dan komitmen masyarakat Adat Nagasaribu. Generasi muda pun mulai aktif dalam setiap kegiatan, baik yang dilakukan komunitas maupun di Aliansi Gerakan Tutup TPL.

Seiiring menguatnya Gerakan Aliansi Tutup TPL di seluruh penjuru kampung, KLHK akhirnya mengeluarkan kebijakan mengenai tim terpadu untuk verifikasi masyarakat adat dan hutan adat. Tujuan verifikasi adalah penyelesaian konflik agraria di Tano Batak. Dari 20 (dua puluh) komunitas yang akan diverifikasi, Nagasaribu Onan Harbangan adalah salah satunya. Selama persiapan verifikasi, saya melihat langsung keseriusan masyarakat mempersiapkan segala sesuatu yang sekiranya dibutuhkan tim. Bahkan sebelum tim datang, mereka terus berdiskusi baik dengan KSPPM maupun sesama mereka.

Setelah proses verifikasi selesai, pada November 2021, Aliansi Gerak Tutup TPL melakukan aksi bersama perwakilan komunitas masyarakat adat Tano Batak di Jakarta, mendesak Presiden dan KLHK untuk segera menutup PT.TPL dan mengembalikan wilayah adat kepada masyarakat adat Tano Batak. Masyarakat adat Nagasaribu memberangkatkan 4 (empat) orang perwakilannya. Masyarakat ikut mengumpulkan uang untuk kebutuhan selama di Jakarta. Bukan hanya itu, masyarakat yang tinggal di kampung bergotong-royong di sawah keluarga yang berangkat ke Jakarta. Saat itu kebetulan sedang musim tanam.

Mendapatkan SK Hutan Adat

Setelah kegiatan yang sangat padat dan melelahkan selama 2021, pada awal tahun 2022, masyarakat mendapat kabar menggembirakan. Pemerintah Kabupaten Taput mengundang masyarakat ke rumah Dinas untuk menerima Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Pengakuan Masyarakat Adat dan wilayah adat Nagasaribu Onan Harbangan bersama 2 (dua) komunitas lainnya. Masyarakat adat Nagasaribu pun terlihat gembira mendengar pengumunan tersebut. Mereka tak henti-henti mengucapkan rasa syukur dan terimakasih.

Seminggu sesudah pertemuan dengan Bupati Taput, masyarakat menggelar acara Bona Taon (Tahun Baru) bersama, sekaligus syukuran atas penandatanganan SK Bupati tersebut. Selama acara Bona Taon, tangis dan haru terpancar di wajah anggota masyarakat yang hadir. Delima Silalahi, Direktur KSPPM, yang hadir di acara tersebut menyampaikan, “Jika dalam waktu dekat SK Hutan adat belum diberikan, maka KSPPM bersama masyarakat akan segera berangkat ke Jakarta untuk menjemputnya”. Masyarakat semakin bersemangat dan bergembira mendengarnya.

Momen bersejarah itu tiba pada 3 Februari 2022, tepatnya seminggu setelah syukuran tahun baru di Nagasaribu. Bersamaan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kawasan Danau Toba untuk meresmikan beberapa Proyek Strategis Nasional, ada kabar bahwa Presiden juga akan memberikan SK Hutan Adat Masyarakat Nagasaribu bersama 6 (enam) komunitas lainnya. Benar saja tanggal 3 Februari 2022, ketua Komunitas Jonris Simanjutak dipanggil ke Bakkara untuk bertemu Presiden Joko Widodo, dan menerima SK Hutan Adat Masyarakat Nagasaribu Onan Harbangan.

Sebelum menuju Bakkara, Jonris pun diberangkatkan secara adat oleh penatua adat Nagasaribu, kemudian diantar sampai ke Siborong-borong. Sepulang dari Bakkara, Jonris juga di tunggu oleh sekitar 30 orang anggota masyarakat di Sopo Siborong-borong. Rasa haru dan gembira tergambar jelas di wajah mereka semua.

Sesampainya di kampung, Jonris disambut oleh masyarakat Nagasaribu dengan memberikan Boras sipir ni tondi (sejenis ritual bagi masyarakat batak, agar selalu dilindungi oleh yang maha kuasa). Selanjutnya, dia diarak masuk ke rumah salah satu penatua dan diakhiri dengan makan itak gurgur (makanan khas batak yang terbuat dari beras) sambil menunjukkan SK Hutan Adat Nagasaribu Onan Harbangan.

Pemberlajaran dan Refleksi Pribadi

Perjuangan masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan selama kurang lebih 6 (enam) tahun dengan segala dinamikanya memberi banyak hikmah.  Saya sebagai staff KSPPM yang terlibat di pengorganisasian sejak awal banyak belajar dari perjalanan Nagasaribu Onan Harbangan hingga mendapatkan SK Hutan Adat.

Dinamika yang terjadi di masyarakat Nagasaribu Onan Harbangan  tahun 2020  lalu tidak terlepas dari strategi pengorganisasian yang dilakukan oleh KSPPM selama 4 tahun di sana. Kami sejak awal tidak melakukan pemetaan aktor atas tokoh-tokoh adat di Nagasaribu yang berpengaruh kuat dalam tatanan sosial masyarakat adat di Nagasaribu. Kuasa yang sudah mereka miliki sebelumnya menjadi semakin kuat lagi saat mereka terpilih sebagai pengurus perjuangan.

Selain itu, sejak berkenalan hingga pendampingan kasus struktural masyarakat adat di Nagasaribu Onan Harbangan tahun 2020, KSPPM tidak berhasil membangun kader baru yang mampu mengimbangi tokoh-tokoh adat. Akibatnya, saat beberapa orang tokoh memilih bermitra dengan PT. TPL,  KSPPM kesusahan menemukan tokoh alrenatif yang bisa mengorganisir masyarakat.

Hal lain adalah pola kunjungan dan live-in yang dilakukan oleh KSPPM selama 4 tahun di Nagasaribu, yaitu selalu berada di rumah pengurus atau tokoh adat. Kita jadi tidak cukup memahami kesenjangan pemahaman antara pengurus dan masyarakat umum. Buktinya, saat segelintir orang memilih bermitra dengan perusahaan, masyarakat lainnya ikut-ikutan karena tidak memahami konsekwensinya.

Akhirnya, kita juga belajar dari perjuangan masyarakat adat Nagasaibu Onan Harbangan bahwa masyarakat adat itu tidak luput dari konflik. Namun, masyarakat adat Nagasaribu mampu menyelesaikan konflik secara adat. Mungkin saja orang lain tidak setuju dengan keputusan yang mereka ambil. Akhirnya, 17 (tujuh belas) kepala keluarga yang pernah bermitra dengan perusahaan diberi sangsi adat. Menurut masyarakat adat Nagasaribu, mereka lebih memilih langkah ini daripada kehilangan harta warisan leluhur mereka.

Penutup

PT. TPL di wilayah adat Nagasaribu Onan Harbangan bukan hanya merampas tanah dan merusak lingkungan, tapi turut juga merusak tatanan masyarakat adat Nagasaribu. Konflik horizontal yang terjadi di masyarakat adat Nagasaribu tidak terlepas dari campur tangan PT.TPL. Selain Nagasaribu, masih banyak daerah lain yang mengalami dampak sosial serupa karena kehadiran PT. TPL.

Keberhasilan masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan mendapatkan SK Hutan Adat pada Februari 2022 sungguh di luar dugaan, mengingat perjuangan mereka baru berlangsung selama 6 (enam) tahun. Dibandingkan dengan perjuangan masyarakat adat di daerah lain, apa yang dilakukan oleh masyarakat Nagasaribu mungkin belum seberapa. 

Tidak dipungkiri bahwa faktor penting di balik cepatnya masyarakat adat Nagasaribu mendapatkan SK Hutan adat adalah perangkat adat yang masih berfungsi dan lengkap, selain tentu saja organisasi yang kuat. Seperti yang sudah disampaikan oleh Op. Gres, jarang ada kasus pidana maupun perdata di Nagasaribu Onan Harbangan yang sampai kepada polisi. Masyarakat Nagasaribu masih tunduk pada adat dan ini jarang kita temukan di Tano Batak.

Hingga saat ini KSPPM sebagai pendamping tetap berupaya agar masyarakat adat Nagasaribu kembali bersatu tanpa ada 2 (dua) kubu pro-kontra. Peluang ini semakin terbuka karena konflik mereka dengan perusahaan juga sudah selesai. Tapi KSPPM sebagai orang luar tentu harus berhati-hati, jangan sampai mengesampingkan norma-norma adat yang ada di Nagasaribu. Namun sebagai teman yang sudah 6 (enam) tahun bersama-sama, KSPPM yakin bahwa suatu saat akan ada momen bagi mereka bersatu kembali sebagaimana ketika mengawali perjuangan dahulu.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *