Jumat, 21 November 2025, Kementerian Hak Asasi Manusia bersama Sekretariat Bersama Gerakan Oikumene Keadilan Ekologi Sumatera Utara serta masyarakat korban TPL dari enam kabupaten mengadakan pertemuan di Sopo KSPPM Parapat.
Dari Kementerian HAM hadir Munafrizal Manan (Rizal) selaku Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, didampingi oleh Staf Khusus Menteri HAM, Joshep, serta tiga tenaga ahli: Taufan Damanik, Tasbi, dan Ester Yusuf. Turut hadir pula Kepala Kantor Wilayah Kementerian HAM Sumatera Utara, Flora Nainggolan.
Pertemuan dibuka oleh Rocky Pasaribu yang menegaskan bahwa berbagai dialog sebelumnya antara pemerintah dan masyarakat belum menghasilkan perubahan yang berarti. Ia menyebut bahwa sejumlah rekomendasi, termasuk hasil pertemuan dengan Komisi XIII DPR RI di Medan, tidak pernah ditindaklanjuti di lapangan. Sebaliknya, tindakan perusahaan semakin agresif. Karena itu, ia berharap pertemuan hari ini tidak berhenti sebagai formalitas, tetapi menjadi awal penyelesaian persoalan di Tano Batak—termasuk tuntutan masyarakat untuk menutup PT TPL.

Munafrizal kemudian menjelaskan bahwa kunjungan kerja Kementerian HAM ke Parapat bertujuan mendengar langsung permasalahan yang dialami masyarakat selama puluhan tahun berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari. Ia menyampaikan bahwa sebelumnya kementerian telah bertemu dengan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan selanjutnya akan berdialog dengan pihak perusahaan.
Menurutnya, Kementerian HAM telah menerima banyak pengaduan masyarakat, termasuk pengaduan yang disampaikan kepada Komisi XIII DPR RI terkait dugaan pelanggaran HAM oleh PT TPL. “Tim kami sudah dibentuk melalui SK Menteri dan telah mulai bekerja. Kami memetakan persoalan, menelaah dampaknya, serta mencari penyelesaian yang dapat diterima semua pihak,” ujarnya.
Setelah paparan kementerian, masyarakat dari enam kabupaten—Simalungun, Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Tapanuli Selatan—menyampaikan kesaksian mereka.
Rumenti Pasaribu dari Masyarakat Adat Natinggir membuka kesaksian dengan menyampaikan hilangnya rasa aman pasca penanaman paksa di lahan garapan pada 7 Agustus. Kejadian tersebut memicu bentrok yang menyebabkan kerusakan rumah, sepeda motor, serta pemukulan terhadap warga. Anak-anak mengalami trauma akibat pelemparan rumah yang dilakukan pihak perusahaan saat mereka berada di dalam rumah.
Ompung Moris Ambarita dari Sihaporas menyampaikan rangkaian panjang kriminalisasi sejak awal tahun 2000-an, dengan puncaknya pada 22 September 2025 ketika masyarakat mengalami pemukulan, pembakaran rumah, perusakan kendaraan, serta pemutusan akses jalan menuju ladang dan kampung di tiga titik. Akibatnya, ekonomi masyarakat lumpuh, anak-anak terancam putus sekolah, dan ritual adat tidak dapat dilaksanakan karena kerusakan hutan.
Dari Humbang Hasundutan, Eva Lumbangaol menuturkan bahwa penggundulan hutan telah mengganggu sumber air, memicu banjir, dan menyebabkan longsor. “Mata air yang dulu melimpah kini menjadi air mata,” katanya. Ia menekankan bahwa perempuan menjadi pihak paling terdampak.
Jonris Simanjuntak dari Tapanuli Utara menambahkan bahwa produksi kemenyan menurun drastis dan konflik horizontal antarwarga meningkat. Senada dengan itu, Rajin Sinaga dari Samosir menceritakan bagaimana masyarakat sempat terjebak semalaman di hutan setelah akses pulang ditutup alat berat perusahaan. “Kami bermalam tanpa makan dan hanya minum air hujan,” tuturnya.
Perwakilan dari Tapanuli Selatan, Holil Simanjuntak, menyampaikan adanya intimidasi dan kriminalisasi sejak 2023. “Kami sering diadukan ke polisi oleh perusahaan, tetapi ketika kami melaporkan kerusakan lahan oleh perusahaan, tidak ada tindak lanjut,” ujarnya.

Usai penyampaian kesaksian, Pdt. Adventus Nadapdap dari Sekber menjelaskan alasan keterlibatan organisasi keagamaan dalam advokasi ini. “Empat puluh tahun masyarakat berjuang tidak didengar. Gereja mengambil peran karena menyangkut martabat manusia dan keberlanjutan hidup,” katanya. Pastor Walden menambahkan harapannya agar pertemuan ini menghasilkan keputusan yang konkret.
Menanggapi seluruh masukan, Munafrizal menegaskan bahwa Kementerian HAM tidak dapat membenarkan tindakan apa pun yang mengganggu aktivitas masyarakat, merusak lingkungan, atau memicu kekerasan. “Sepanjang menyangkut kemanusiaan, kami berkewajiban memastikan hal itu tidak terjadi lagi,” tegasnya.
Senada dengan itu, Taufan Damanik menambahkan bahwa kementerian sangat prihatin karena kasus seperti ini telah berlangsung terlalu lama. Laporan Kementerian HAM, katanya, akan disusun berdasarkan fakta lapangan dan menjadi bahan rekomendasi kepada Presiden. Tasbi menegaskan komitmen kementerian dalam memastikan keadilan dan perlindungan bagi pembela HAM. Sementara itu, Flora Nainggolan menyatakan kesiapan Kanwil Kemenham Sumut menindaklanjuti laporan masyarakat.
Mendengar respons kementerian, Mersi Silalahi dari Sihaporas menekankan perlunya tindakan cepat pemerintah. Ia menjelaskan bahwa sejak kejadian terakhir, masyarakat tidak diperbolehkan memasuki perkampungan dan ladang mereka karena dipasangi portal oleh perusahaan, dan kondisi ekonomi semakin memburuk.
Pdt. Mardison Simanjorang menegaskan bahwa meskipun tuntutan penutupan PT TPL mungkin belum dapat diputuskan hari ini, pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk situasi mendesak di beberapa komunitas, terutama Sihaporas. “Hari ini kita ingin melihat apakah wibawa negara masih ada di hadapan TPL,” ujarnya tegas.
Menanggapi hal tersebut, Taufan Damanik menyampaikan bahwa salah satu agenda kementerian adalah mengunjungi Sihaporas untuk melihat kondisi terkini, dan jika masyarakat menginginkan kunjungan segera, kementerian siap melakukannya.
Setelah itu, Sekber menyerahkan data pelanggaran HAM oleh TPL sejak 1983–2025. Pertemuan kemudian ditutup, dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Aek Nauli, lokasi portal yang dipasang oleh TPL.






