Tornauli (17/03). Pagi hari tepat pukul 9:30, Komunitas Masyarakat Adat (MA) di Kecamatan Parmonangan, Tapanuli Utara kedatangan tamu spesial dari Jakarta, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada kesempatan ini, Komnas HAM ingin berbincang-bincang tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) dan pihak-pihak lain terhadap komunitas MA yang ada.
Komunitas yang datang berkumpul adalah MA Tornauli, MA Keturunan Op. Panggal (Aek Raja) dan komunitas MA Bonan Dolok (Huta Tinggi). Mereka semua menceritakan kronologis permasalahan mereka, sejak PT. TPL datang hingga upaya-upaya yang sudah mereka lakukan memperjuangkan tanah leluhurnya.
Perwakilan MA Tornauli juga menyampaikan bahwa perusahaan pernah mengancam masyarakat terkait keamanan anak-anak mereka yang bersekolah di Siborongborong dan Dolok Sanggul. “Kami sempat diintimidasi dan diancam kalau anak-anak kami yang bersekolah di luar tidak aman karena kami memperjuangkan dan merebut kembali tanah adat kami” ujar ketua komunitas Tornauli.
Parsaoran Sinaga, perwakilan komunitas Op. Panggal juga menjelaskan kronologi upaya-upaya litigasi yang pernah dilakukan oleh komunitas, dari gugatan yang diajukan oleh KR. Siregar yang dimenangkan oleh Pengadilan Tarutung, tetapi kemudian digugurkan oleh Mahkamah Agung di Medan. “Walaupun kami sudah memberikan bukti mengenai tuntutan di Tarutung (Pengadilan) kepada polisi, sampai saat ini kami masih mendapatkan surat panggilan dari Polres Tapanuli Utara” jelasnya.
Pada bulan Oktober 2021, saat tim dari Kementerian Kehutanan melakukan verifikasi Komunitas Adat di Parmonangan, prosesnya diganggu oleh orang-orang yang berafiliasi dengan perusahaan. Pada hari kedua atau saat akan memverifikasi komunitas Keturunan Op. Panggal, tim verifikasi dicegat oleh orang-orang yang pro-TPL di Balai Desa Aek Raja.
“Saat itu (proses verifikasi), tim jadi tidak melakukan verifikasi terhadap objek wilayah yang kami ajukan, dan malah lebih mendengarkan masyarakat yang keberatan atas verifikasi itu. Bahkan kami tidak pernah ditemui atau dimediasi oleh pemerintah, dan bahkan seperti disalah-salahkan terkait batas wilayah dan hukum-hukum adat oleh tim verifikasi” ujar Rosmian Purba, perempuan anggota komunitas Pomparan Op. Panggal Manalu.
Berita acara tim verifikasi Tapanuli Utara mengatakan bahwa komunitas Op. Panggal perlu melakukan mediasi dengan tetangga-tetangganya, tidak ada penjelasan mengenai alasan mengapa mereka jadi tidak diakui oleh tim Verifikasi (mendapatkan SK Hutan Adat).
Sampai saat ini PT TPL bahkan masih melakukan penebangan baru di sekitar wilayah konsesinya. Air di sini juga berkurang karena perusahaan tidak mematuhi peraturan tidak ada penamanan sejauh 50 meter di Daerah Aliran Sungai (DAS). Sekarang bahkan tanaman eukaliptus berada 1 meter di dekat DAS.
Komunitas meminta Komnas HAM untuk memberikan perlindungan bagi mereka, perlindungan dari intimidasi-intimidasi yang dilakukan oleh perusahaan dan aparat negara. “Sampai saat ini kami tidak mengerti harus melaporkan kemana” ujar Parsaoran Sinaga. Komunitas Bonan Dolok juga meminta kejalasan mengenai hukum mana yang dapat melindungi MA supaya dapat mengerjakan tanah adatnya dengan aman dan tenang.
Ketua Tim dari Komnas HAM, Hairansyah menjelaskan, “Kami memerlukan informasi dari masyarakat supaya dapat menghadapi pihak-pihak terkait, seperti kepolisian, perusahaan, Kementrian Kehutanan dan jajarannya dan lainnya yang terlibat di proses verifikasi pada waktu itu”. Harapannya, dengan adanya pertemuan ini, Komnas HAM menyampaikan aspirasi masyarakat, pengalaman-pengalaman masyarakat, agar dapat mendorong intansi terkait mengeluarkan pengakuan komunitas MA, terutama kepada pemerintah daerah yang sudah mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
“Kita ini sudah menjadi negara merdeka, maka dari itu seharusnya seluruh masyarakatnya merasakan kemerdekaan itu” tangkasnya.**
(KZ)