“Setiap tahun kami dipungut pajak, tapi kami tak terima hak kami”, suara keras Pak Jono memenuhi ruangan rapat Desa Janji Maria, Rabu, 16 Maret 2021.
Pak Jono adalah keluarga transmigran yang sudah menetap sekitar 18 tahun di Huta Janji Maria. Tepatnya 26 Desember, dia bersama empat keluarga lainnya dari Ciamis, Jawa Barat, berangkat ke Janji Maria. Lima keluarga tersebut mengikuti program transmigrasi setelah mendengarkan sosialisasi dari Pemkab Ciamis, bahwa akan ada program Transmigrasi ke Sumatera Utara. Pak Jono, yang tidak memiliki tanah di Jawab Barat, dijanjikan akan diberikan lahan pemukiman dan pertanian sekitar 1.25 hektar per keluarga. Selain itu mereka dijanjikan akan dibangun rumah, diberi biaya makan hidup selama setahun dan modal Bertani.
Tepat tanggal 29 Desember 2004, Pak Jono dan empat keluarga lainnya dari Ciamis tiba di Huta Janji Maria. Mereka langsung menempati rumah transmigran yang sudah dibangun Dinas Transmigrasi Kabupaten Toba Samosir tahun 2003. Luas pemukiman sekitar 0.25 hektar dan luas lahan pertanian 1 hektar. Lokasi transmigrasi tahap I tersebut diperuntukkan untuk 100 keluarga. “Selama setahun kami diberikan subsidi jaminan kehidupan (jadup), dan modal pertanian”, kata Pak Jono.
Selain lima keluarga dari Ciamis, di lokasi transmigrasi tersebut juga ada 25 keluarga korban Tsunami Aceh dan 70 keluarga transmigrasi lokal. Sebelumnya pemerintah Toba Samosir, kepada transmigran menjanjikan bahwa dalam waktu 1-5 tahun mereka akan mendapatkan sertifikat tanah. Karena janji-janji pembangunan tak kunjung dipenuhi, empat keluarga transmigran dari Ciamis memilih pulang kampung ke Ciamis. Sedangkan Pak Jono memilih tinggal, di samping tidak ada tanah di Ciamis, dia merasa sangat cocok dengan masyarakat lokal yang ada di sana.
“Saya merasa cocok dengan masyarakat disini, sehingga saya memilih bersabar menunggu pemerintah menepati janjinya kepada masyarakat adat dan transmigran”, kata Pak Jono kepada Tim Komnas HAM.
Janji Pembangunan Tak Kunjung Ditepati
Namun, hampir dua puluh tahun mereka tinggal disana, janji-janji tak kunjung ditepati. Sebaliknya, ketika mereka mempertanyakan haknya kepada pemerintah baik di Kabupaten dan Provinsi, disebutkan data-data mereka sudah tidak ada. “Kami bukan transmigran ilegal, kami bayar pajak juga”, kata Pak Jono.
Hari berganti, bulan berlalu, dan tahun terus bertambah, janji pemerintah tak kunjung ditepati. Pembangunan infrastruktur jalan ke ibu kota kecamatan, sertifikat tanah, sarana pendidikan dan kesehatan tak kunjung ada perbaikan. Nasib mereka semakin terkatung-katung. Tak hanya keluarga transmigran, masyarakat adat yang bertahan disana pun merasa dibohongi. Harapan mereka agar dusun mereka terbuka dan lepas dari ketertinggalan dengan program transmigrasi semakin sirna.
Penempatan lokasi transmigrasi di wilayah adat mereka bukan tanpa tujuan. Dulunya Desa Janji Maria adalah dusun dari Desa Pangururan. Dusun mereka sangat terisolir dari Ibukota kecamatan. Dusun tersebut merupakan wilayah adat Op. Sunggu Barita Pasaribu. Satu persatu keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu pindah ke tempat lain yang lebih ramai. Hingga tahun 2002, hanya ada 16 keluarga yang menetap disana. Mereka pindah karena buruknya infrastruktur jalan dari dan menuju desa mereka ke tempat lain, pasar tradisional yang jauh, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang jauh. Anak-anak SD sekolah berjalan 9 kilo meter ke ibu kota kecataman. Sehingga menjadi hal yang biasa anak-anak mereka jika ingin masuk SD harus kost di Ibukota Kecamatan atau memilih tidak sekolah.
Tak ingin ikut-ikutan meninggalkan tanah leluhurnya, Tumpan Pasaribu, Keturunan ke-12 Op. Sunggu Barita Pasaribu, dan 15 saudaranya yang lain, memilih menawarkan dusun mereka menjadi lokasi transmigran. Mereka berfikir, jika menjadi lokasi transmigran, pembangunan akan berjalan di dusun mereka. Tahun 2022, mereka mengusulkan dusun mereka menjadi lokasi transmigrasi, dan tahun 2003. Dinas Transmigrasi Toba Samosir membangun pemukiman dan tahun tersebut dusun mereka resmi menjadi lokasi transmigrasi.
Bagi Pak Marojahan Sitanggang, seorang peserta transmigran lokal, kehidupan mereka di Lokasi Transmigran ibarat hidup di penjara, terkungkung di lokasi dengan segudang keterbatasan. Walau di Desa mereka ada jalan berstatus jalan provinsi, namun infrastruktur jalannya sangat buruk. Akses terhadap pendidikan juga sangat terbatas. Hanya ada dua guru berstatus PNS yang mengajar di sebuah SD di sana, enam lagi statusnya honor. Akses Kesehatan, lebih parah lagi. Walau ada bangunan polindes, yang untuk ukuran desa mereka merupakan bangunan mewah, namun menurut Pak Marojahan, bangunan tersebut terlantar tak berpenghuni. Mereka merasakan adanya bidan sampai tahun 2006. Sejak itu tidak pernah ada bidan, hingga tahun 2020, sempat ada bidan sukarela yang tinggal di sana. Namun hanya tiga bulan, karena bidan tersebut meninggal dunia.
Memang, persis di Balai Desa ada bangunan polindes yang tak terurus. Halamannya sudah dipenuhi rumput yang tinggi. Sepertinya memang sudah lama tidak berfungsi.
“Saya masih ingat dua tahun lalu, ketika putri saya akan melahirkan, harus menempuh jalan jelek sekitar tiga jam ke puskesmas terdekat di Kecamatan. Dari kejamatan menempuh tiga jam lagi menuju Rumah Sakit rujukan. Putri saya mempertaruhkan nyawanya menempuh 5-6 jam agar selamat melahirkan. Bagi kami masyarakat di desa ini, yang kami tahu, proses melahirkan tidak bisa ditunda, tidak bisa diatur, tapi kami tidak bisa memilih melahirkan di desa kami, karena tidak ada bidan. Tidak bisa memilih dari jalan yang bagus, karena jalan semuanya buruk”, Pak Marojahan menuturkan persoalan berat yang mereka hadapi kepada Tim Komnas HAM yang sedang melakukan pemantauan ke desa mereka.
Keberadaan TPL Menambah Sengsara
Baik keluarga transmigran maupun masyarakat adat yang ada di sana, merasa terkecoh dengan janji-janji pemerintah. Lebih dari sepuluh tahun mereka pasrah dalam penantian, namun pembangunan yang diharapkan tak kunjung ada. Persoalan semakin pelik ketika di tahun 2018 mereka mengetahui bahwa hampir semua wilayah adat dan sebagian besar lokasi transmigrasi merupakan kawasan hutan negara. Tidak hanya itu, juga masuk dalam konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Menurut warga, ada sekitar 16 hektar lokasi transmigran yang masuk konsesi PT TPL, dan dikelola oleh perusahaan penghasil bubur kertas milik Sukanto Tanoto tersebut. Bagi masyarakat adat, ini merupakan bentuk perampasan tanah, karena pengetahuan mereka, dari nenek moyang mereka, itu adalah wilayah adat Op. Sunggu Barita Pasaribu.
Kepada Komnas HAM mereka memaparkan dampak-dampak kehadiran perusahaan tersebut terhadap kehidupan mereka selama ini. Selain perampasan tanah, merusak hutan kemenyan dan menggantinya dengan eukaliptus, perusahaan juga merusak sumber air minum mereka. Sumber air minum seluruh keluarga selain bersumber dari air hujan, juga dari sungai-sungai yang ada di wilayah adat mereka. Namun kehadiran perkebunan eukaliptus membuat sungai-sungai rusak, airnya semakin sedikit di musim kemarau, dan keruh di musim hujan. Mereka juga mengatakan, bahwa perusahaan menanam tanaman eukaliptus dipinggir sungai yang mereka konsumsi. Sementara pihak perusahaan sering melakukan penyemprotan racun hama eukaliptus. Pupuk dan pestisida kimia merembes ke sungai-sungai yang menjadi sumber air minum mereka.
Tuduhan masyarakat sepertinya tidak berlebihan, ketika tim dari Komnas HAM berkunjung ke sumber air, ditemukan juga beberapa botol kosong bekas racun dan pestisida mengambang di permukaan sungai. Obat-obatan tersebut merupakan racun pembasmi hama yang diduga digunakan untuk eukaliptus. Tanaman euakaliptus mengelilingi sumber air sungai mereka. Menurut Pak Tumpan Pasaribu, dulu air tersebut juga digunakan sebagai kolam ikan, namun sejak perusahaan menanami eukaliptus di sekitarnya, ikan-ikan tidak ada yang hidup dan berkembang.
Sudah Tidak Ada Data Tentang Transmigrasi
Untuk mendapatkan kepastian terkait status, masyarakat transmigrasi di Janji Maria, sudah berkali-kali menyurati dan melakukan audiensi dengan Dinas Transmigrasi Kabupaten Toba dan Badan Pertanahan Nasional. Rapat Dengar Pendapat di kantor DPRD dengan mengundang berbagai pihak juga sudah dilakukan di tahun 2021. Sayangnya baik pihak Dinas Transmigrasi Kabupaten Toba maupun pihak BPN mengatakan data-data tentang transmigrasi sudah tidak ada di kantor mereka.
Tak puas dengan jawaban Dinas Transmigrasi Kabupaten Toba, mereka pun pergi melaporkan nasib mereka ke BPN Provinsi pada Desember 2021 lalu. Pihak BPN sudah datang ke lokasi namun hanya melakukan pengukuran. Belum ada apapun berita baik terkait dengan hasil kunjungan mereka ke desa mereka.
Pihak pemerintah malah meminta data pada masyarakat transmigrasi. Jika pemerintah sendiri yang harusnya memiliki tata kelola administrasi yang baik kehilangan data, apalagi masyarakat transmigran, yang harus bergulat dengan segudang persoalan di daerah transmigrasi.
“Harusnya pemerintah mencari solusi terkait persoalan kami ini, bukan membebankan kehilangan data kepada kami, sehingga nasib kami terus menggantung”, kata Pak Jono.
Sikap pemerintah kabupaten yang terkesan lepas tangan dengan mengatakan tidak lagi ada data yang tersimpan tersebut, menurut Pak Hariansyah, Komisoner Mediasi dan Kordinator Subkomisi Penegakan HAM, merupakan bentuk pengabaian. Harusnya pemerintah mencari solusi dan melakukan pendataan ulang.
Nasib Masyarakat Adat: Setali Tiga Uang dengan nasib transmigran
Harapan masyarakat adat Keturunan OP. Sunggu Barita Pasaribu, megajukan wilayah adat mereka sebagai lokasi transmigrsi, agar merasakan manisnya buah pembangunan, sepertinya semakin kabur. Janji-janji pembangunan tak kunjung muncul, selanjutnya wilayah mereka malah dijadikan konsesi PT TPL.
Mereka seperti tidak berdaya di wilayah adatnya sendiri. Sehingga ketika tanaman eukaliptus mulai merambah ke wilayah adat mereka, ada perasaan tak mampu melawan. Setiap jengkal tanah mereka diambil untuk ditanami eukaliptus. Getah kemenyan semakin menurun dari tahun ke tahun. Air sungai semakin mengecil dan sumber air minum juga tercemar. Selain itu ada penghilangan makam-makam leluhur di wilayah adat akibat penanaman eukaliptus.
“Ada sekitar enam makam leluhur kami yang hilang akibat penanaman eukaliptus di wilayah adat kami. Penanaman pertama, masih dilindungi dengan pagar yang dibuat dari kayu, namun dipenanaman berikutnya sudah rata dengan tanah dan hilang tak berbekas. Makam-makam tua itu dibuldozer saat kami tidak ada. Kami melawan tapi tidak ditanggapi”, kata Pak Tumpan Pasaribu.
“Bukan lebih baik, kehidupan kami semakin sulit sekarang ini, semakin terisolir, di tanah kami sendiripun kami dibatasi bekerja”, kata Haposan Sitanggang.
“Saya pernah dipenjara selama sembilan bulan, karena dituduh melakukan pidana illegal loging. Lahan yang dikasih pemerintah untuk transmigrasi itu berisi pohon-pohon. Saya menebangnya untuk mengolah lahan tersebut. Tapi saya diadukan pihak TPL dan saya dipenjara sembilan bulan”, katanya lagi. Pada saat itu masyarakat pasrah saja dipersalahkan walau tidak merasa salah, karena yang mereka lakukan adalah membuka lahan transmigrasi yang diberikan kepada mereka. “Karena belum ada yang mendampingi kami, kami terima saja hukumannya”, tambahnya.
Sampai sekarang, pihak perusahaan kerap melarang masyarakat beraktifitas di ladang mereka, dengan alasan itu adalah areal konsesi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten semakin tidak perduli dengan nasib para transmigran. “Kami bertarung sendiri dengan apa yang ada di desa ini, hasil pertanian kami tidak bisa diangkut ke pasar karena buruknya transportasi, Hidup kami tetap miskin”, kata Pak Jono.
“Kami ingin lepas dari keterisoliran ini, kami ingin merdeka, mendapatkan kepastian dan pengakuan di tanah kami, kami mulai berjuang tahun 2019”, Kata Pak Marojahan Sitanggang.
Berangkat dari semangat berdaulat di tanah sendiri tersebut, sejak 2019, masyarakat Janji Maria sudah mulai melakukan berbagai upaya advokasi melepaskan wilayah adat dan lokasi transmigrasi dari Kawasan hutan dan konsesi TPL. Bersama KSPPM mereka mengajukan permohonan kepada Menteri KLHK agar wilayah adat mereka dikembalikan.
“Pemerintah dalam hal ini KLHK sudah mulai merespon tuntutan kami, tim verifikasi sudah datang ke desa kami ini, dan hasilnya pada saat Pak Jokowi datang ke Bakara, SK Hutan Adat kami sudah diberikan seluas 118 hektar. Luas ini tidak sesuai dengan tuntutan kami. Kalau dari pemetaan partisipatif yang kami lakukan luas wilayah adat kami sekitar empat ribuan hektar, namun dalam SK yang diserahkan, hutan adat kami yang diakui hanya sekitar 118 hektar”, jelas Pak Sitanggang.
Masih menurut pak Sitangang, bahwa SK tersebut juga belum SK defenitif, tapi SK indikatif wilayah adat, karena Pemkab Toba, dalam hal ini Bupati, tidak mau menandatangani SK Pengakuan dan Penetapan masyarakat adat di Toba. Walaupun Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ada, tetapi bupati sepertinya tidak mau mengakui adanya masyarakat adat di Kabupaten Toba.
Bagi masyarakat adat Janji Maria, sikap bupati ini sangat janggal dan tak masuk akal, di mana KLHK sendiri sudah menerbitkan SK indikatif berangkat dari verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi. Tapi justru Bupati Toba yang harusnya melindungi mereka enggan memberikan pengakuan.
Karena ketiadaan SK Penetapan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat dari Pemkab Toba kepada Masyarakat Adat Janji Maria, maka KLHK hanya bisa menerbitkan SK Penetapan wilayah indikatif wilayah adat melalui Surat Keputusan Nomor 7893/Menlhk-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2021 tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Janji Maria dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita seluas 118 (seratus delapan belas) hektar di Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Sementara, salah satu syarat terbitnya SK Hutan Adat, selain adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, juga harus dibarengi dengan SK Penetapan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.
Harapan Masyarakat Janji Maria Kepada Komnas HAM
Pemantauan yang dilakukan tim Komnas HAM ke Janji Maria pada Rabu, 16 Maret 2021 diharapkan mempercepat pemenuhan hak-hak yang terabaikan selama ini.
“Kami mengatahui bahwa kehadiran bapak dari pusat sana, tepatnya dari Komnas HAM, sangat tepat ke kampung kami ini, karena persoalan pelanggaran HAM yang kami hadapi saat ini sudah berlarut-larut cukup lama. Sebagai lembaga yang menangani urusan HAM, kami menitipkan persoalan kami ini kepada Bapak/Ibu agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hak-hak kami dipenuhi, janji pemerintah ditepati. Dan bagaimana Pemkab Toba mau memberikan penetapan masyarakat adat kepada kami. Supaya kami nyaman dan aman bekerja di ladang kami”, harap Pak Marojahan Sitanggang.
Selain berdiskusi dengan masyarakat di Janji Maria, Tim Komnas HAM juga melakukan peninjauan lapangan ke jalan provinsi yang rusak parah, memantau wilayah adat yang sudah ditanami eukaliptus, meninjau sumber air minum yang dikelilingi tanaman eukaliptus dan juga ke makam tua yang ada di wilayah adat tersebut.
Masyarakat berharap bukti-bukti yang disampaikan kepada tim Komnas HAM dan juga hasil pengamatan tim di lapangan, membuka jalan pada penyelesaian konflik yang mereka alami selama ini. Sehingga hak-hak mereka sebagai masyarakat adat dan masyarakat transmigran dipenuhi oleh negara.***
(Delima Silalahi)