Saat ini, negara kita dengan pemerintah sebagai instrumen utamanya tidak sedang baik-baik saja. Dia tidak hadir untuk menjalankan fungsinya dengan baik di sendi-sendi utama kehidupan rakyat.
Belum pudar dari ingatan kita lahirnya Undang Undang (UU) Cipta Kerja No. 11/2020 yang lazim disebut Omnibus Law yang menggelar karpet merah kepada pemodal besar untuk semakin menghisap, merampas dan mengeksploitasi rakyat Indonesia. Kendati kebijakan ini kemudian dinyatakan inkonstitutional bersyarat oleh putusan Mahkamah konstitusi No. 91/PUU-XVII/2020, dia tetap dijalankan.
Terbitnya UU Cipta Kerja telah membuat rakyat semakin kecewa terhadap pemerintah. Ini hanya menambah kesengsaraan bagi rakyat di kota maupun di desa yang belakangan ini mengalami lenyapnya pupuk subsidi, mahalnya minyak goreng, penggusuran dan perampasan tanah. Hidup rakyat semakin jauh dari sejahtera yang acap kali dijadikan jargon politik oleh pemerintah. Tugas satu-satunya pemerintah mestinya mensejahterakan rakyatnya. Mereka diupah dari uang rakyat, tetapi malah bertindak menjadi komprador. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sama saja keadaannya: tidak pedulu, tidak hadir dan tidak memberi solusi saat rakyat mengalami kesulitan.
Lihat saja Natinggir. Dusun ini terletak di wilayah administrasi desa Simare, Kabupaten Toba. Tanah mereka seluas 1.496 hektar yang merupakan kawasan adat atau tanah warisan leluhur dirampas oleh korporasi jahat bernama PT Toba Pulp Lestari. Mereka tidak lagi memiliki akses terhadap tanah sendiri yang sebelumnya ditumbuhi pohon kemenyan. Mereka kerap diganggu ketika mengelola lahan pertaniannya. Bahkan mereka menghadapi ancaman dan intimidasi saat akan mendirikan rumah di atas tanah milik mereka sendiri. Mereka telah semakin terbiasa dengan ketidakhadiran negara ditengah-tengah kesulitan seperti itu.
Pernyataan mantan Sekda (Sekertaris Daerah) Kabupaten Toba, Audi Murphy Sitorus, yang dimuat di medan.tribunnews.com pada 9 Januari 2022 lagi-lagi membuktikan bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyatnya. Dia menyatakan bahwa tidak ada satupun tanah adat di Kabupaten Toba yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai tanah adat. Ini membuat rakyat semakin enggan untuk berharap kepada pemerintah.
“Sudah capek kami mendatangi dan menjamu pejabat pejabat; kami hanya mendengar ketidakpastian dari mereka,” ucap R. Pasaribu, salah satu anggota masyarakat di Natinggir. Dia mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak melihat wujud konkret keberpihakan pemerintah selama mereka berjuang mati-matian mempertahankan warisan leluhurnya. Pemerintah seolah mempertontonkan persekongkolan jahat dengan perusahaan yang mencuri warisan leluhur masyarakat Natinggir. Pemerintah cenderung membuat kasus mereka “menggantung” tanpa kejelasan.
Rangkaian kekecewaan ini membuat masyarakat Natinggir tidak lagi berharap banyak kepada penguasa/pemerintah. Menunggu kehadiran pemerintah sama saja dengan berharap kepada sesuatu yang tidak pasti dan membuang-buang waktu. Akhirnya, mereka mengambil langkah sendiri untuk memulihkan wilayah kehidupannya, sebagaimana di kawasan Aek Sitio-Tio, Siandor-Andor, Aek Bontar dan Parumaan. Mereka mengolah dan mengelola lahan-lahan di sana dengan kegiatan pertanian dan telah menikmati hasil panen dari jagung, kopi, jahe, kacang merah dan jeruk yang mereka gunakan untuk menopang kehidupan keluarganya.
Hal ini menegaskan sesuatu yang sangat penting. Entah pemerintah hadir atau tidak, entah keberadaan masyarakat adat diakui atau tidak, masyarakat adat harus tetap berdiri tegak dan giat memperjuangkan haknya secara mandiri, khususnya hak atas tanah. Ini membuktikan bahwa rakyat yang mengalami perampasan tanah tidak lagi boleh berharap banyak kepada pemerintahnya sendiri. Gagasan dan langkah-langkah untuk kemandirian rakyat dengan cara merebut kembali haknya harus muncul dari rakyat sendiri di tengah ketidakhadiran dan ketidakpedulian pemerintah.**
(Putra Hutasoit)