Saat ada yang berbahagia, biasanya ada juga yang kecewa. Keduanya bagai saudara kembar. Ini persis yang terjadi pada Februari 2022 lalu ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Tano Batak. Pada kunjungan tersebut, Presiden menyerahkan SK Hutan Adat kepada 4 (empat) masyarakat adat. Namun di sisi lain, puluhan komunitas masyarakat adat lainnya merasakan kekecewaan karena konflik mereka tak kunjung diselesaikan.
Keempat masyarakat adat (MA) yang menerima SK tersebut berasal dari Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan, yaitu (1) Nagasaribu Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, (2) Bius Huta Ginjang, Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, (3) Adian Hoting, Kabupaten Tapanuli Utara, dan (4) Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Belum ada masyarakat di Kabupaten Samosir yang mendapatkan SK serupa karena Perda Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) belum disahkan saat tim terpadu dibentuk untuk melakukan verifikasi dan identifikasi. Oleh sebab itu, pada saat tim memutuskan lokasi yang akan diverifikasi, Kabupaten Samosir belum masuk dalam daftar. Alasannya, tim hanya dapat melakukan verifikasi di kabupaten yang sudah memiliki perda PPMHA.
Berbeda dengan Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba, sejak tahun 2020, sudah menerbitkan Perda PPMHA sejak tahun 2020. Secara regulasi, Kabupaten Toba bahkan jauh lebih unggul dibanding kabupaten lainnya di Kawasan Danau Toba. Selain memiliki Perda, Kabupaten Toba juga telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati tentang pembentukan panitia penetapan masyarakat hukum adat, beserta peraturan Bupati tentang pelaksanaan kegiatan tim.
Sebelum tim terpadu melakukan verifikasi dan identifikasi terhadap masyarakat hukum adat pada Oktober 2021 yang lalu, Pemerintah Kabupaten Toba sudah terlebih dahulu melakukan verifikasi dan identifikasi terhadap 7 (tujuh) komunitas masyarakat adat, yakni Natinggir, Sigapiton, Simenak Henak, Matio, Ombur, Natumingka dan Sigalapang. Oleh sebab itu, verifikasi dan identifikasi yang dilakukan oleh Tim Terpadu pada Oktober lalu merupakan kedua kalinya setelah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Toba. Bedanya, Kabupaten Toba sebelumnya tidak melakukan verifikasi dan identifikasi terhadap masyarakat Pomparan Ompu Sunggu Barita di Janji Maria, sedangkan tim terpadu melakukannya.
Khusus untuk Kabupaten Toba, terdapat perbedaan pendapat dalam hasil verifikasi dan identifikasi antara tim Pemerintah Daerah dan Tim Terpadu bentukan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurut Tim Terpadu, dari semua masyarakat adat yang di verifikasi dan identifikasi di Toba, hanya ada 2 (dua) komunitas yang berpotensi memperoleh Hutan Adat yakni, Masayarakat Adat Simenak Henak dan Masyarakat Adat Pomparan Sunggu Barita Janji Maria.
Namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya dapat menerbitkan SK Hutan Adat jika sudah ada terlebih dahulu SK Bupati Toba tentang pengakuan keberadaan masyarakat dan wilayah adat kedua komunitas tersebut. Sayangnya, hingga saat Presiden Joko Widodo menyerahkan SK Hutan Adat pada Februari 2020 lalu, Pemerintah Kabupaten Toba belum menerbitkan SK pengakuan masyarakat dan wilayah masyarakat adat terhadap 2 komunitas yang dimaksud.
Dalih yang Janggal
Dari keterangan berbagai media, Pemerintah Kabupaten Toba berpendapat bahwa belum ada komunitas yang dapat memenuhi 5 (lima) syarat penetepan masyarakat hukum adat seperti yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.52/2014 tentang Pedoman Penetapan Masyarakat Hukum Adat. Alasan ini tentu saja sangat janggal. Tim Terpadu telah merekomendasikan 2 komunitas untuk memperoleh Hutan Adat dan Pemerintah Kabupaten Toba belum melakukan verifikasi dan identifikasi terhadap Masyarakat Adat Pomparan Ompu Sunggu Barita Janji Maria. Darimana datangnya argumen Pemerintah Kabupaten Toba bahwa komunitas ini tidak memenuhi persyaratan sesuai Permendagri No.52/20214 tentang Pedoman Penetapan Masyarakat Hukum Adat?
Sikap Pemerintah Kabupaten Toba yang tidak mau mengakui masyarakat dan wilayah adat hingga saat Presiden menyerahkan SK Hutan Adat oleh Presiden pada Februari 2022 lalu juga menimbulkan spekulasi. Ada anggapan bahwa Pemerintah Kabupaten Toba tidak memahami regulasi tentang mekanisme pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat, juga bahwa Pemerintah Kabupaten Toba tidak memiliki keberpihakan terhadap masyarakat adat. Dugaan ini tentu tidak berlebihan mengingat tetangga Kabupaten Toba yakni Tapanuli Utara dengan meyakinkan berani mengakui 3 (tiga) masyarakat adat dan wilayah adat, yang kebetulan masih satu hamparan wilayah adat dan satu ikatan sosial dengan komunitas di Kabupaten Toba.
Akhirnya KLHK hanya menerbitkan SK Peta Indikatif Lokasi Hutan Adat (PILHA) terhadap Masyarakat Adat Simenak Henak dan Pomparan Ompu Sunggu Barita di Janji Maria karena belum ada pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Toba terhadap masyarakat adat. Hal ini tentu sangat disayangkan. Seadainya kedua komunitas tersebut mendapatkan SK Hutan Adat dari KLHK, maka kewenangan Pemerintah Kabupaten untuk mengatur wilayah tersebut akan bertambah karena statusnya tidak lagi berupa kawasan hutan.
Konsep PILHA ini merupakan kebijakan baru KLHK terhadap masyarakat adat yang belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerahnya, namun berpotensi ditetapkan sebagai Hutan Adat. Dari sudut perundangan-undangan, SK PILHA ini belum memiliki kekuatan hukum karena statusnya masih tetap Hutan Negara. Konflik agraria tetap potensial terjadi di dalamnya.
Apa yang dialami Masyarakat Adat Simenak Henak dan Ompu Sunggu Barita di Janji Maria menunjukkan bahwa proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat itu sangat sulit. Birokrasi kita yang panjang-berbelit membuat proses ini semakin sulit. Dalam cara pandang masyarakat awam, jika KLHK sudah merekomendasikan wilayah Simenak Henak dan Janji Maria untuk ditetapkan sebagai Hutan Adat, semestinya pemerintah tingkat kabupaten mengikuti. Tapi nyatanya tidak begitu!. **