BNI, CIMB, dan ICBC, mendapatkan reputasi bank paling buruk sedangkan merek Procter &
Gamble, Mondelēz, dan Nissin Foods masih tertinggal dari rekan-rekan mereka
Kamis, 16 Juni 2022. Perusahaan merek dan bank multinasional raksasa gagal menghentikan
deforestasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam praktik bisnis mereka, menurut
laporan terbaru Rainforest Action Network (RAN). Laporan ini mengevaluasi kebijakan publik dan
komitmen yang dikeluarkan oleh perusahaan merek dan bank yang menggunakan dan mendanai
komoditas yang berisiko terhadap hutan hujan tropis terakhir di dunia dalam produksi mereka. Hasil
evaluasi menemukan tak satupun dari 17 merek dan bank multinasional telah mengambil tindakan
yang memadai untuk mengurangi kontribusi mereka terhadap perusakan hutan, perampasan lahan,
dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat dan lokal.
Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Malaysia CIMB, dan bank multinasional milik China ICBC,
mendapatkan reputasi paling buruk dengan nilai ‘F’ dalam evaluasi. Sedangkan perusahaan merek
raksasa seperti Procter & Gamble, produsen coklat Mondelēz, dan produsen makanan Jepang
Nissin Foods juga tertinggal dari rekan-rekan mereka dalam mewujudkan kebijakan untuk
mengakhiri deforestasi dan pelanggaran HAM dalam rantai pasok komoditas yang berisiko terhadap
hutan.
“Kebijakan NDPE perusahaan-perusahaan ini tidak berlaku untuk semua pemasok, penerima
investasi, dan klien yang memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan, serta tidak menyertakan
semua komoditas yang berisiko terhadap hutan yang dibeli atau didanai perusahaan dan hanya
berlaku pada satu komoditas. Ini menjadi celah besar yang harus diperbaiki,” ungkap Fitri Arianti
selaku Juru Kampanye Hutan RAN.
“Lemahnya tindakan yang dilakukan termasuk metode penerapan kebijakan yang tidak kredibel juga
menjadi dasar penilaian perusahaan-perusahaan ini mendapat nilai buruk. Kami menilai perusahaan
merek dan bank ini tidak memiliki tolak ukur yang jelas dalam menerapkan kebijakan ini,” Fitri
menambahkan. RAN juga mengingatkan bahwa klaim yang telah dibuat oleh banyak perusahaan
merek dan bank tentang penghapusan deforestasi atau pelanggaran HAM yang dilakukan hingga
saat ini tidak dapat dipercaya karena tidak adanya mekanisme verifikasi independen yang kredibel
yang digunakan untuk memastikan kebijakan NDPE tersebut dipatuhi.
Meski banyak merek dan bank ini telah mengadopsi berbagai komitmen dan kebijakan NDPE dan
menjunjung tinggi HAM dan Masyarakat Adat dalam praktik bisnis mereka setelah COP26. Namun,
sejak diadopsinya Perjanjian Paris, bank-bank raksasa dunia ini terbukti telah memberikan
setidaknya USD 22,5 miliar kepada perusahaan komoditas berisiko hutan yang beroperasi di tiga
kawasan hutan tropis terbesar di Indonesia, Cekungan Kongo, dan Amazon. JPMorgan Chase
adalah yang terbesar, memberikan USD 6,9 miliar, sementara MUFG mengikuti dengan USD 4
miliar.
BNI, CIMB dan ICBC masih tertinggal karena tidak memiliki kebijakan NDPE sama sekali, meski
dalam beberapa tahun terakhir bank-bank lain seperti MUFG menerbitkan kebijakan NDPE parsial
untuk sawit. Namun, MUFG tidak mewajibkan perusahaan pedagang minyak sawit untuk mematuhi
kebijakan ini, dan gagal dalam mengatur pemberian pinjamannya kepada komoditas lain seperti pulp
& kertas dan daging sapi yang juga berisiko terhadap hutan.
Disisi lain MUFG masih terus mendanai Indofood, perusahaan makanan terbesar di Indonesia yang
dikeluarkan dari skema sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atas pelanggaran praktik buruh oleh salah satu anak perusahaan kelapa sawit miliknya, PT. London Sumatera
(Lonsum). Padahal bank-bank seperti Citigroup, Standard Chartered, dan perusahaan merk
PepsiCo, semuanya telah memutuskan hubungan bisnis dengan Indofood, sedangkan MUFG tetap
terus mendanai, meskipun baru-baru ini berjanji untuk membersihkan investasi minyak sawit
mereka.
“Semenjak dikeluarkan dari RSPO kondisi buruh di perkebunan Lonsum terus memburuk. Meski
sudah mendapatkan suntikan dana yang begitu besar dari MUFG, Lonsum masih saja tidak
memberikan hak pesangon terhadap lebih dari 200 buruh yang mereka PHK selama pandemi.
Suntikan dana yang diterima perusahaan tidak dipergunakan untuk memperbaiki hak buruh sawit.”
ungkap Herwin Nasution, Direktur Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha
Kerakyatan (OPPUK).
Saat ini OPPUK, SERBUNDO dan organisasi bantuan hukum lokal LBH Palembang sedang
mengajukan dua tuntutan hukum yang mewakili hampir 200 pekerja Lonsum di Sumatera Selatan
atas hak pesangon mereka. Jika semuanya dimenangkan, Lonsum harus membayar tambahan
uang pesangon sebesar USD 960.000 kepada pekerja, yang berarti bahwa Lonsum sekarang
menghadapi hutang pesangon untuk buruh lebih dari satu juta dolar.
Procter & Gamble juga menjadi perusahaan merek dengan nilai terburuk karena masih menerima
minyak sawit dari salah satu anak perusahaan perusak hutan hujan terbesar di Indonesia, Royal
Golden Eagle group (RGE) yang berada di bawah kendali Sukanto Tanoto. Tidak hanya terhubung
dengan Procter & Gamble, Sukanto Tanoto juga mengendalikan Pinnacle Company Limited yang
menguasai saham perusahaan pulp dan bubur kertas PT. Toba Pulp Lestari (TPL). PT. TPL memiliki
rekam jejak pelanggaran HAM dan konflik lahan dengan Masyarakat Adat Batak Toba di Sumatera
Utara yang belum tuntas hingga saat ini.
PT. TPL mulai menghancurkan hutan-hutan di wilayah adat Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang
Maria sekitar tahun 2003, masyarakat tidak dikonsultasikan dan sama sekali tidak diinformasikan
tentang rencana pembangunan HTI perusahaan mereka. Saat itu, kegiatan TPL selalu dikawal
aparat keamanan dan aparat hukum setempat – sebuah bentuk intimidasi yang nyata untuk
meredam Masyarakat Adat yang tidak setuju.
Koordinator Studi dan Advokasi Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM),
Rocky Suriadi, mengungkapkan bagaimana PT. TPL mulai merebut hutan kemenyan milik
Masyarakat Adat Pargamanan Bintang-Maria. “Hutan kemenyan Pargamanan-Bintang Maria yang
menjadi sumber mata pencaharian, dan hidup masyarakat terancam digunduli untuk ditanami
eukaliptus oleh PT. TPL, sementara masyarakat masih menunggu pengakuan negara atas wilayah
adat dan hutan adat mereka,” Rocky menjelaskan.
Semua bank dan merek yang dievaluasi gagal mensyaratkan bukti Persetujuan Atas Dasar
Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA/FPIC) dari klien, pemasok, dan penerima
investasinya. Hingga saat ini, tidak ada satu bank atau merek pun yang menerbitkan prosedur yang
akan mereka gunakan untuk memastikan hak Masyarakat Adat dan lokal untuk menolak
pembangunan di tanah adat mereka dihormati.
Beberapa merek telah melakukan perbaikan pada kebijakan mereka selama setahun terakhir,
termasuk Colgate-Palmolive, Ferrero, dan Kao, meski masih tertinggal dari rekan-rekan lainnya.
Unilever jadi satu-satunya merek yang telah mengadopsi kebijakan yang kredibel untuk mengatasi
dampaknya berikut risiko dari rantai pasokan komoditasnya. Nestlé tetap menjadi satu-satunya
merek yang berkomitmen untuk mengungkapkan jejak hutannya di seluruh dunia. Bank CIMB
Malaysia memang mengumumkan kebijakan NDPE, namun pengumuman itu tidak menjelaskan
cakupan kebijakan dan tidak merinci komoditas mana yang akan diikutsertakan berikut waktu
pelaksanaan kebijakannya.
Edi Sutrisno dari TuK INDONESIA menanggapi agar bank-bank yang tertinggal dalam evaluasi ini
untuk segera menghentikan pendanaanya dari perusahaan-perusahaan yang terbukti terkait dengan deforestasi dan pelanggaran HAM serta mendorong agar bank-bank yang beroperasi di Indonesia
untuk menyelaraskan portfolio pendanaan mereka dengan Taksonomi Hijau yang baru dikeluarkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun ini.
###
Catatan untuk redaksi:
Perusahaan merk yang dievaluasi adalah: Colgate-Palmolive, Ferrero, Kao, Mars, Mondelēz, Nestlé,
Nissin Foods, PepsiCo, Procter & Gamble; dan Unilever. Sedangkan bank yang mendukung
pembiayaan merek-merek di atas antara lain: ABN Amro, Bank Negara Indonesia (BNI), CIMB,
DBS, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), JPMorgan Chase, dan Mitsubishi UFJ
Financial Group (MUFG). Untuk laporan lengkap dan mengetahui metodologi yang digunakan untuk
menilai kinerja merek multinasional dan bank dapat dibaca melalui ringkasan Evaluasi Merek dan
Bank Pemicu Deforestasi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia 2022 melalui link berikut.