Sejak Presiden Jokowi mencanangkannya pada Juni 2020, program Food Estate di Humbang Hasundutan sudah berjalan selama dua tahun. Awalnya banyak kalangan merasa optimis dengan Proyek Strategis Nasional ini sebab proyek ini dinarasikan sebagai jalan menghadapi risiko krisis pangan di negara ini. Pembangunan jorjoran dilakukan, dana digelontorkan untuk pengadaaan berbagai alat-alat pertanian, pupuk, pestisida dan bibit. Hampir setiap hari para pejabat pusat berduyun-duyun mengunjungi Humbang Hasundutan. Sebagian besar petani yang tergabung dalam program Food Estate juga optimis akan beruntung, apalagi modal pertanian 100% disubsidi pemerintah. Dalam sekejab, lahan yang tadinya dipenuhi semak belukar dan sebagian pohon pinus itu pun berubah menjadi hamparan pertanian bawang merah, bawang putih dan kentang.
Cerita mulai berubah ketika panen perdana dilakukan di awal tahun 2021. Pemerintah di satu sisi mengaku bahwa panen perdana sukses, sedangkan para petani mengatakan hasilnya kurang memuaskan. Framing sebagian besar media juga mendukung klaim pemerintah. Namun fakta di lapangan tidak bisa dipungkiri.
Ada banyak persoalan yang terjadi selain hasil panen yang menurut sebagian besar petani tidak memuaskan atau jauh dari harapan. Selain itu, ada praktek tidak transparan dalam perumusan kontrak dan pembentukan Koperasi Usaha Bersama (KUB). Perjanjian awal, petani menjual hasil panen ke KUB dengan skema 60% hasil penjualan dikembalikan kepada petani, 30% dipegang oleh KUB untuk modal penanaman tahap kedua, dan 10% untuk biaya administrasi di KUB.
Sayangnya, skema pembagian ini tidak berjalan lancar. Semua petani yang memasarkan produknya di KUB harus gigit jari. Tidak ada kejelasan tentang 30% hasil penjualan yang ditahan oleh KUB untuk modal penanaman kedua hingga hari ini. Tidak ada pihak yang bertanggungjawab terhadap ketidakjelasan ini. Kabarnya, pengurusnya juga sulit dijumpai. Artinya petani rugi 40% di KUB dari penjualan produk mereka.
Kurangnya Minat Di Penanaman Tahap Kedua
Di penanaman kedua, minat petani yang bergabung dalam program Food Estate mulai berkurang. Ada beberapa alasan mengapa banyak petani enggan terlibat di penanaman kedua.
Pertama, Perubahan skema atau mekanisme pengembangan Food Estate. Pada penanaman pertama, pemerintah menyediaan subsidi modal pertanian hampir 100%. Dengan skema begitu, kalaupun hasil panen jauh dari harapan, kerugian bukan 100% ditanggung oleh petani. Kerugian terbesar ditanggung oleh negara dari dari APBN yang sebenarnya bersumber dari rakyat juga.
Dalam penanaman kedua ini, petani harus menggunakan modal sendiri atau bekerjasama dengan perusahaan sebagai offtaker. Tidak semua petani punya modal yang cukup untuk melanjutkan penanaman dengan skema baru ini. Mengadu nasib di penanaman kedua ini, beberapa petani menggadaikan sertifikat tanah yang diserahkan oleh Presiden Jokowi melalui program sertifikasi pada akhir 2020 yang lalu. “Disekolahkan”, begitu mereka menyebut serifikat tanah yang diagunkan ke bank melalui program KUR (Kredit Usaha Rakyat) berbunga rendah.
“Sekarang, hampir setiap hari pihak Bank BRI dan Mandiri datang menawaran KUR kepada kami”, kata seorang ibu boru Lumban Gaol. Tapi dia masih menolak untuk meminjam ke bank, takut tidak mampu membayar seperti beberapa temannya yang ada di sana.
Bahkan menurut salah seorang aparat desa yang tidak mau disebutkan namanya, pada pertengahan Mei lalu, petugas dari salah satu bank di Dolok Sanggul datang untuk menagih ke petani yang gagal bayar beberapa bulan. Hampir terjadi keributan. Dia khawatir ke depan akan semakin cepat proses pergeseran kepemilikan tanah di Desa mereka karena tidak mampu membayar utang ke bank.
Salah satu resiko program sertifikasi ini memang adalah bergesernya arti dan nilai tanah dari nilai historis dan sosilogis menjadi nilai ekonomis semata. Tanah hanya dilihat sebagai aset produksi yang bernilai ekonomis. Selama ini, masyarakat di wilayah Food Estate yang masih memegang teguh adat istiadat, termasuk dalam pengelolaan tanah secara komunal, memaknai tanah secara sosiologis dan historis. Biasanya, masyarakat adat tidak pernah mengetahui pasti luas tanahnya. Yang mereka tahu hanya batas-batas alam dan kesepakatan dengan tetangga batas. Berbeda dengan saat ini, yang pengukurannya menggunakan alat ukur meter yang dikalkulasikan dengan rupiah. Sertifikasi semakin mendekatkan tanah-tanah milik petani ke pasar yang sulit mereka kendalikan.
Kedua, selain modal yang terbatas, faktor penyebab lainnya adalah tidak transparannya penyusunan kontrak antara perusahaan dengan petani. Ibu Simbolon, misalnya, menjelaskan bahwa saat penyusunan kontrak, mereka hanya disodorkan kontrak yang sudah berisi dan tinggal ditandatangani. Belajar dari kekecewaan mereka terhadap pengelolaan KUB yang tidak jelas dan tidak transparan, sebagian dari petani memilih menanami sendiri lahan mereka dengan produk lain yang tidak merupakan tanaman program FE, seperti jagung, cabe dan kol. Mereka merasa lebih beruntung menanam produk tersebut.
Food Estate Siria-Ria Saat ini
Ada yang berbeda ketika menyusuri Desa Siria-Ria, Jumat 27 Mei 2022, dibandingkan dua tahun lalu ketika desa ini banyak dikunjungi para pejabat negara, seperti Presiden Republik Indonesia dan beberapa Menteri. Sejak akhir tahun 2020 hingga pertengahan Juni 2021, areal Food Estate di desa ini terlihat ramai oleh petani yang sedang bekerja di ladang, dan areal FE dipenuhi hamparan tanaman bawang merah, bawang putih dan kentang. Kali ini yang terlihat hanya satu dua orang saja, tidak ada kesibukan yang menandakan areal ini adalah lokasi Food Estate.
Tidak hanya terlihat sunyi, sebagian besar lahan ditumbuhi rumput atau ilalang. Pada beberapa titik ada hamparan jagung, kol, dan sedikit tanaman kopi. Hanya sedikit tanaman bawang merah dan kentang. Kami tertarik untuk mampir di sebuah kedai kopi kecil, milik inang br Simbolon. Selain menjual kopi dan teh, kedai inang tersebut juga menyediakan mie gomak dan soto ayam.
“Sejak pagi tidak banyak yang laku, karena sudah banyak yang tidak kerja di lahan food estate”, katanya ketika saya menanyakan perkembangan kedainya.
“Sekarang perusahaan yang ada di sini tinggal PT Parna Raya, itu pun sudah jarang datang. Banyak pemilik lahan yang mengelola sendiri lahannya tanpa bekerja sama dengan perusahaan”, jelasnya.
Suaminya, marga Lumbangaol, sedang mengerjakan lahan bawang merah. “Holan saotik nama hu lean hami dikelola Food Estate. Mabiar hami rugi muse, alana sistemna sonari bibit ingkon dibayar dung panen. Sementara di pembibitan pe nunga godang na gagal (Hanya sedikit lahan yang kami serahkan dikelola Food Estate saat ini. Kami takut gagal lagi, karena sekarang sistemnya bibit harus dibayar setelah panen. Padahal di pembibitan saja sudah banyak yang gagal)”, katanya.
Si ibu menambahkan bahwa saat ini mereka masuk dalam Kelompok Tani yang bekerjasama dengan PT Parna Raya. Sayangnya, menurutnya, ada beberapa kendala dalam kerjasama dengan perusahaan tersebut. Masalah terbesar adalah keterlambatan masa tanam, di mana dua bulan sebelumnya tanah sudah dikelola, diberikan kompos, dan dipasang mulsa, tapi pihak perusahaan tidak memberikan instruksi untuk menanam. Berdasarkan pengetahuan lokal dan pengalaman mereka sebagai petani, keterlambatan proses tanam akan menimbulkan kerugian di masa panen, sementara mereka berkewajiban membayar bibit setelah panen.
Selain keterlambatan, persoalan lainnya adalah ketidakjelasan arahan dari pendamping mereka. Di dalam pola kerjasama ini, mereka harus tunduk pada arahan pendamping. Pola pertanian ini sangat berbeda dari apa yang mereka praktekkan selama ini. Di hati kecil mereka sebenarnya ada protes dengan beberapa arahan, seperti waktu pembibitan, dosis dan lainnya yang berlawanan atau berbeda dari yang biasa mereka praktekkan. Tapi mereka terikat oleh kontrak sehingga harus mengikuti arahan perusahaan yang bekerjasama dengan mereka.
Karena keterlambatan waktu penanaman, mereka memutuskan untuk menarik sebagian lahan mereka dari program Food Estate lalu menanaminya dengan jagung dan kol secara mandiri. Mereka harus memikirkan bagaimana bisa menutupi kewajiban-kewajiban dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Infrastruktur Tak Terurus
Setelah mengobrol panjang lebar tentang pengalaman dua tahun mereka terlibat dalam program Food Estate dan harapan mereka ke depannya, kami pun melanjutkan perjalanan ke beberapa titik di lokasi Food Estate. Kami menikmati jalanan lebar yang mulus menuju lahan Food Estate di Siria-Ria. Masih terdapat papan pengumuman proyek Pembangunan Jalan Akses 1000 hektar (Food Estate) yang dikerjakan oleh PT Karya Murni Perkasa beranggaran Rp. 69.974.145.150,21. Penduduk sekitar mengatakan pemilik perusahaan pembangunan jalan tersebut adalah Harry Lumbangaol, pengusaha politisi putra daerah Humbang Hasundutan yang berdomisili di Medan.
Nama ini memang tidak asing lagi bagi masyarakat Humbang Hasundutan. Saat ini dia menjabat sebagai Ketua DPD II Golkar di Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada pilkada lalu, dia gagal dicalonkan oleh partainya yang lebih memilih mencalonkan petahana.
Masyarakat Siria-ria sangat mengapresiasi pembangunan jalan tersebut karena akses ke kebun menjadi menjadi lebih bagus. Namun beberapa bapak yang kami temui di warung kopi merasa curiga dengan pembangunan jalan yang lebar tersebut. “Kalau hanya untuk lahan kami, sepertinya negara tidak akan membangun jalan sebagus ini, karena jalan ke desa sampai saat ini masih kecil dan kurang bagus. Jadi jalan itu bukan untuk kami, tetapi sepertinya ada hal lain yang mau dituju”, kata seorang Bapak marga Siregar.
Keraguan yang bisa jadi benar, mengingat jalan ke desa yang dilalui ratusan keluarga setiap harinya tidak sebagus dan selebar jalan ke areal Food Estate.
Kami sesekali berhenti mengamati perubahan yang terjadi di areal Siria-Ria paska dua tahun dicanangkan sebagai lokasi Food Estate. Ada banyak pipa-pipa air bermerek Wavin yang sudah putus dan pecah melintasi areal Food Estate. Hampir di semua lahan banyak pipa air yang rusak dan berserakan di tepi jalan. Kami mencoba memutar kran air di titik yang pipa dan kran airnya masih utuh. Sayangnya, kran tersebut tidak mengeluarkan air. Dari petani marga Pandiangan yang ada di lokasi tersebut kami mengetahui bahwa sejak dibangun, pipa-pipa air tersebut tidak berfungsi sama sekali.
Ketidakjelasan keberlanjutan program FE mendorong para petani mengelola lahannya secara swadaya. Menurut mereka, saat pemasangan pipa air di lahan tersebut mereka tidak dilibatkan, sehingga mereka sama sekali tidak mengetahui posisi atau letak sambungan pipa air tersebut. Ketidaktahuan tersebut membuat beberapa pipa air pecah dan rusak pada saat pengolahan lahan. Mereka juga tidak merasa rugi dengan rusaknya pipa -pipa air tersebut karena sama sekali tidak pernah berfungsi sejak dibangun.
Pak Pandiangan sudah tidak lagi bergabung dalam kelompok tani FE. Pada lahan keluarganya sekitar enam hektar, dia menanami kopi, jagung, andaliman dan tanaman muda. Sebenarnya dia sangat berharap program ini bisa berlanjut, tetapi tentunya dengan kebijakan baru yang lebih menguntungkan petani. Pada penanaman pertama, menurutnya mereka sebenarnya tidak mengalami kerugian, karena semua dari subsidi pemerintah. Namun di dalam penanaman kedua, sistemnya adalah mandiri atau bekerjasama dengan perusahaan. Pola ini sangat tidak menguntungkan petani yang tergabung dalam FE. Ini diperburuk lagi oleh kontrak kerjasama dengan perusahaan yang cenderung tidak transparan dan merugikan petani.
Dari lahan Pak Pandiangan, kami kembali menyusuri areal lainnya di lokasi Food Estate. Selain lahan yang banyak terlantar, kami juga menemukan tiga bangunan yang tidak terurus. Bangunan tersebut dibangun tahun 2020 untuk gudang multifungsi komoditas bawang merah. Satu gedung tersebut dibangun dengan anggaran dari APBN Kementerian Pertanian sekitar Rp. 196 jutaan. Jadi tiga gedung tersebut bisa berbiaya sekitar 600 juta rupiah. Kondisi bangunan tersebut sangat memprihatinkan. Atapnya rusak, lantainya berlubang-lubang, dan pintunya rusak, sehingga kami bisa masuk dengan leluasa. Di salah satu gedung kami menemukan tumpukan puluhan karung berisi bibit bawang merah dan bawang putih yang sudah membusuk. Sangat disayangkan, di sisi lain, petani kesulitan mendapatkan bibit untuk ditanam, namun justru di proyek yang bertujuan memperkuat pangan ini, ditemukan bibit-bibit yang tidak disalurkan dan membusuk.
Program FE dan Konflik Agraria yang belum selesai
Masih di areal Food Estate, tidak jauh dari pondok tempat Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan masyarakat Siria-Ria tahun 2021 lalu, sebuah papan pegumuman tepancang. “TANAH INI TANAH ADAT DESA SIRIA-RIA SESUAI SK NOMOR :138/KPTS/1979”, tertulis dalam papan pengumuman tersebut.
Kami pun menjumpai ketua lembaga adat Op. Mangapul Siregar. Kami mendapatkan kisah perjuangan panjang di masa lalu yang berujung manis. Sebelumnya, kami mendengar kisah ini sepotong-sepotong. Tahun 1971-1979 masyarakat Desa Siria-Ria memperjuangkan tanahnya agar dikeluarkan dari Kawasan Hutan. Ketika itu pemerintahan Orde Baru mencanangkan program penanaman pinus di desa mereka dan desa-desa lain di Tapanuli Utara (saat itu desa mereka masih tergabung di Tapanuli Utara). Mereka menyebutnya sebagai perjuangan berdarah-darah karena sungguh banyak korban yang disiksa dan dipenjara oleh penguasa masa itu. Bahkan ada yang meninggal akibat peristiwa tersebut. Para ibu berjalan kaki ke Tarutung, membawa bendera merah putih, menuntut agar tanah mereka dikembalikan dan suami dan anak laki-laki mereka dibebaskan dari penjara. Perjuangan saat itu akhirnya menyita perhatian pemerintah pusat.
Puncaknya terjadi tahun 1979. Laksamana TNI (Purn) Sudomo yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) akhirnya turun tangan menyelesaikan konflik yang terjadi. Hasilnya, Bupati Tapanuli Utara ketika itu mengeluarkan SK Nomor 138/KPTS/1979 tentang Pengakuan Tanah Adat Penduduk Siria-Ria atas Areal Sigende, Parandalimanan, Parhutaan, Adian Padang dan Sipiuan seluas 794,6 hektar dengan peta terlampir.
Sayangnya, setelah lebih empat dekade, masyarakat kembali diperhadapkan dengan klaim Kawasan Hutan negara di sebagain besar wilayah yang mereka perjuangkan pada tahun 1979. Mereka mengetahui ini setelah ada pematokan oleh tim terpadu Food Estate yang dilakukan tahun 2021.
Tidak hanya berkonflik dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, konflik horizontal pun tak terelakkan dengan masyarakat Desa Parsingguran I. Sejak dijadikan areal Food Estate, sebagian wilayah adat yang mereka perjuangkan tahun 1979 diklaim penduduk desa tetangga sebagai wilayah desa mereka. Pada Oktober 2021, pemerintah Kabupaten dan BPN sempat mensosialisasikan program sertifikasi di wilayah yang mereka sebut “Sigende” kepada penduduk Desa Parsingguran I. Masyarakat Adat Desa Siria-Ria pun menyampaikan protes ke bupati dan BPN karena wilayah tersebut adalah wilayah adat mereka, sehingga tidak tepat diberikan kepada penduduk yang bukan anggota masyarakat adat mereka.
Konflik ini sudah berjalan lebih dari setahun. Masyarakat adat Desa Siria-Ria juga sudah melakukan berbagai upaya untuk penyelesaian konflik ini. Namun, menurut mereka, pemerintah sangat lambat merespon konflik ini. Padahal, potensi konflik horizontal cukup besar.
“Harusnya selesaikan dulu konflik tanah yang terjadi baru program Food Estate ini dijalankan. Karena sejak ada program ini semakin banyak orang yang mengklaim wilayah adat yang kami perjuangkan sebagai wilayah mereka. Padahal kami bersaudara. Jangan sampai ada pertumpahan daerah lagi di desa kami”, kata Ketua Lembaga Adat.
Kondisi ini memang sangat disayangkan sebab terus berulang tiap kali pembangunan besar hadir di wilayah masyarakat adat. Pemerintah secara sepihak menentukan pembangunan apapun tanpa pernah melakukan konsultasi yang bermakna terhadap masyarakat sekitar proyek. Akibatnya, konflik-konlik agraria bermunculan sementara konflik lama tidak terselesaikan.
Harusnya, sebelum proyek ini dijalan pemerintah lebih dulu memperjelas kepemilikan lahan, baik dari perspektif pemerintah maupun dari perspektif masyarakat lokal.
Refleksi
Kegagalan Program Food Estate di Sira-Ria saat ini sebenarnya menegaskan kembali kegagalan berbagai kebijakan pangan di Indonesia sejak dulu. Ini juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mau belajar dari kegagalan-kegagalan kebijakan tersebut, malah mengulangnya terus-menerus.
Program Food Estate sebagai wajah pertanian kontrak tidak akan pernah menguntungkan petani. Pertanian kontrak sebagai program kemitraan antara pengusaha dan petani kecil bertujuan memberikan keuntungan kepada para pihak yang terlibat dalam kontrak. Ini hanya akan terwujud jika kekuatan kedua belah pihak setara. Masalahnya, dalam pertanian kontrak yang dipraktekkan selama ini, posisi perusahaan selalu lebih tinggi dan kuat dari posisi petani kecil. Prinsip saling menguntungkan tidak terwujud dalam pertanian kontrak yang dipraktekkan dalam program Food Estate. Alih-alih mewujudkan ketahanan pangan dan mensejahterakan petani, yang ada justru menggerogoti keuangan negara. Cerita kegagalan ini akan terus berulang jika pemerintah terus memaksakan praktek pola-pola pertanian kontrak.
Ada banyak masalah dalam sistem pertanian kontrak yang merugikan petani. Pertama, penyusunan kontrak yang tidak transparan. Petani tidak dilibatkan sejak awal dalam merumuskan isi kontrak tersebut yang isinya meliputi produk yang ditanam, jangka waktu, sistem pengelolaan dan pemasarannya. Semua ditentukan oleh perusahaan. Dengan begitu, petani dengan sendirinya kehilangan kedaulatan, tidak hanya atas tanahnya, tetapi juga atas produk, konsumsi, harga dan pengetahuan pertanian tradisionalnya.
Kedua, hilangnya peran negara dalam melindungi petani. Keberlanjutan pertanian diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah lebih berpihak kepada perusahaan melalui kebijakan-kebijakan yang diterbitkan. Petani dibiarkan berhadap-hadapan dengan perusahaan yang memang tujuannya adalah akumulasi keuntungan. Saling menguntungkan dan saling berbagi resiko hanyalah slogan sistem pertanian kontrak. Pada prakteknya itu sulit terwujud dengan ketimpangan berbagai sumber daya antara perusahaan dan petani lokal.
Ketiga, siapa sesungguhnya yang diuntungkan dalam program FE? Kita bisa melihat bahwa petani tidak mendapatkan apa-apa selain fasilitas jalan yang lebih baik dan pembukaan lahan. Tapi bukankah pengadaan infrastruktur jalan dan fasilitas pertanian memang tanggungjawab pemerintah? Apakah pemerintah baru akan memperbaiki infrastruktur jalan dan fasilitas pertanian jika ada proyek-proyek besar seperti Food Estate yang memberikan keuntungan kepada perusahaan?
Implementasi program Food Estate Siria-Ria selama 2 tahun sebenarnya menegaskan bahwa keberpihakan pemerintah bukanlah kepada petani-petani keluarga yang selama ini memegang peran penting menjaga stabilitas pangan, tetapi kepada perusahaan-perusahaan industri pangan yang ingin dan sudah terlibat dalam program Food Estate. Program Pengembangan Food Estate hanyalah karpet merah bagi hadirnya berbagai industri pangan berskala besar di wilayah Food Estate. Pengadaan jalan yang bagus dan lebar serta penyediaan jaringan pengairan selama dua tahun ini sebenarnya hanya untuk memfasilitasi atau mempermudah perusahaan mengembangkan usahanya.
Program Food Estate menjadi jalan bagi perusahaan mendapatkan akses yang tidak terbatas terhadap lahan, tenaga kerja murah, pasar bibit, pupuk dan pestisida serta infrastruktur yang dibiayai oleh anggaran negara. Ujung-ujungnya yang paling diuntungkan adalah pihak perusahaan. Melihat rentetan kegagalan yang terjadi sejak dulu hingga saat ini, sudah saatnya kita menyuarakan kepada pemerintah untuk tidak lagi melanjutkan program Food Estate lainnya di Nusantara ini. Untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan, pemerintah harusnya lebih fokus mengembangkan sistem pertanian yang berbasis pada penguatan petani-petani lokal, dengan cara menjamin hak petani atas tanah melalui reforma agraria sejati, memperbaiki infrastruktur pertanian di pedesaan tanpa diskriminasi, dan mempermudah petani mengembangkan produk pangan lokalnya.***