Petani dan pertanian masih menjadi sektor utama penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, sebesar 40,83% dari total angkatan kerja Indonesia bekerja dalam sektor pertanian. Namun demikian, BPS juga mencatat bahwa jumlah rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian berkurang sebesar 5 juta rumah tangga selama 10 tahun (sejak tahun 2003) dan menyisakan hanya sekitar 26,13 juta rumah tangga yang masih hidup dari sektor pertanian (sensus pertanian 2013). Penurunan ini sebagian besar berasal dari petani yang memiliki lahan kecil (0,3 Ha) yang meninggalkan lahan pertanian mereka karena tidak lagi menjanjikan kesejahteraan. Jumlah 26,13 juta rumah tangga tersebut juga lebih banyak didominasi oleh petani kecil yang kemungkinan besar akan meninggalkan pertanian mereka karena tidak adanya jaminan kesejahteraan.
Bertani bukan sekedar urusan individu/keluarga petani dengan kegiatan rutin seperti menyemai, menanam, memupuk dan memanen. Sesungguhnya penghidupan petani tidak terlepas dari konteks ekonomi politik di tingkat lokal, nasional dan bahkan internasional. Kenyataan bahwa banyak problem petani yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh petani adalah bukti bahwa problem tersebut bukan disebabkan oleh perilaku petani tetapi karena kegagalan negara memenuhi tanggung jawabnya. Petani secara umum selalu dihadapkan dengan masalah harga, mahalnya harga input pertanian, infrastruktur, serangan hama, gagal panen akibat bencana alam, dan lain-lain. Hampir semua masalah itu tidak berasal dari petani itu sendiri, tetapi, berkaitan erat dengan kebijakan negara. Kebijakan pemerintah juga tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Program pemerintah terkait pertanian tidak pernah benar-benar menyentuh masalah mendasar petani, hanya sebatas program. Petani masih tetap menjadi objek pembangunan, yaitu bagian dari sistem yang bekerja untuk memberi makan banyak orang. Berbagai perubahan kebijakan terkait pertanian memosisikan petani sebagai pihak yang rentan dan cenderung menjadi korban. Sementara itu, negara sebenarnya memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dalam memajukan HAM.
Berbagai permasalahan tersebut menjadi bukti bahwa negara masih saja belum hadir untuk melakukan tugasnya dalam memenuhi dan melindungi hak-hak petani. Padahal, pada 6 Agustus 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Melalui kebijakan ini, pemerintah mengklaim bahwa petani tidak lagi sendiri. Artinya, negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada petani. Ada 6 lingkup pengaturan dalam UU No.19 Tahun 2013, di antaranya:
- Perencanaan
- Perlindungan Petani
- Pemberdayaan Petani
- Pembiayaan dan Pendanaan
- Pengawasan
- Peran Serta Masyarakat
Menurut UU ini, Perlindungan yang diberikan kepada petani meliputi prasarana dan sarana produksi pertanian, kepastian usaha, harga komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim dan asuransi pertanian. Pemberdayaan yang diberikan kepada petani meliputi pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi dan penguatan kelembagaan petani.
Pada tahun 2019, terjadi banjir bandang di Desa Buntu Mauli, Kec. Sitio-Tio. Kejadian ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat karena lahan pertaniannya rusak. Namun, hingga saat ini tidak ada ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada petani yang lahan pertaniannya rusak. Bahkan mereka juga harus merelakan sebagian lahan pertaniannya yang dekat dengan bibir sungai untuk dinormalisasi. Selain itu, banyak petani terdampak fluktuasi harga produk pertanian di Samosir. Contohnya petani bawang. Seringkali petani ini mengalami kerugian akibat fluktuasi harga. Sementara itu, petani di daerah Ronggur Ni Huta yang dulunya terkenal dengan pertanian kopi, beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan hasil produksi. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang beralih menyadap getah pinus sebagai alternatif pendapatan. Saat ini, komoditas jagung menjadi harapan bagi masyarakat. Namun, tetap saja harga bibit, pupuk dan obat-obatan masih saja mahal.
Lahirnya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani seolah-olah tidak memberikan solusi apapun terhadap problem yang dihadapi oleh petani-petani tersebut. Tambah lagi, UU ini belum diimplementasikan di daerah. Hal ini terlihat dari rendahnya anggaran untuk sektor pertanian. Pada tahun 2021, rata-rata anggaran untuk sektor pertanian di 4 kabupaten pendampingan KSPPM hanya berkisar di angka 2,35%. Bagaimana mungkin memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada petani dengan anggaran sekecil itu? Hal ini juga disebabkan oleh absennya peraturan daerah (Perda) sebagai turunan dari UU Nomor 19 Tahun 2013 sehingga pemerintah daerah masih belum memiliki kewajiban untuk membuat perencanaan anggaran yang menyangkut perlindungan dan pemberdayaan petani. Harapannya, dengan hadirnya perda, maka pemerintah daerah berkewajiban untuk melakukan perencanaan untuk sektor pertanian terkait perlindungan petani, pemberdayaan petani, pendanaan dan pembiayaan, pengawasan dan peran serta masyarakat. Dengan adanya Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, pemerintah kabupaten berkewajiban untuk menyediakan anggaran untuk perlindungan dan pemberdayaan petani di tingkat daerah. Artinya, anggaran untuk sektor pertanian di daerah harus ditingkatkan.
Tentu saja, perda perlindungan dan pemberdayaan petani di daerah belum tentu menjawab semua permasalahan petani. Tetapi, hal ini harus menjadi langkah yang ditempuh sebagai wujud kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak petani. Juga, agar klaim yang dikatakan oleh pemerintah bahwa “petani tidak lagi sendiri” tidak sebatas jargon untuk memoles citra negara.**