Masyarakat desa Parsaoran Sibisa dengan populasi sekitar 50 keluarga telah lama menantikan tindak lanjut dari pemerintah tentang pelaksanaan TORA (Tanah untuk Obyek Reforma Agraria). Sejak tahun 2019, masyarakat sudah mengajukan ke Pemerintah Kabupaten Toba saat Bupati yang menjabat adalah Darwin Siagian. Namun, pemerintah melalui Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada saat itu tidak menindaklanjuti berkas pengajuan TORA ke Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara. Sebelumnya masyarakat telah menyerahkan persyaratan, seperti bukti kependudukan. Masyarakat malah mengetahui bahwa berkas yang diajukan adalah berkas orang lain yang beberapa merupakan pengusaha dan bukan masyarakat desa Parsaoran Sibisa. Sementara syarat mengajukan TORA adalah wilayah yang berada di Kawasan Hutan yang sudah dikuasai untuk lahan pertanian oleh masyarakat desa (by name by address).
Terlihat bahwa tindakan pemerintah dalam proses pengajuan ini tidak sesuai dengan syarat dan tidak mencerminkan nawacita Presiden Jokowi untuk meredistribusi lahan yang diprioritaskan untuk petani yang tidak memiliki tanah dan untuk kesejahteraan masyarakat.
Kendati masyarakat sudah menantikan proses percepatan ini selama 2 tahun, belum ada tanda-tanda pemerintah akan melakukan verifikasi atas pengajuan tersebut. Staf BPKH Provinsi Sumatera Utara menjelaskan bahwa akses TORA ini seharusnya di-lobby oleh Bupati. Anggaran pelaksanaan TORA sebelumnya berasal dari APBN, namun tertunda karena dialihkan ke Kabupaten Asahan meskipun terdapat 3 sumber penganggaran untuk program ini seperti APBN, APBD dan dana tidak mengikat lainnya. Namun, DPRD Toba dan Dinas Pertanahan mengatakan bahwa belum ada penganggaran dari APBD. Tampaknya Pemerintah Kabupaten masih mengharapkan anggaran dari APBN sehingga masyarakat masih harus menunggu tanpa kepastian mengenai legalitas tanahnya.
Masyarakat Desa Parsaoran Sibisa pun merencanakan untuk langsung bertemu dengan kementerian terkait sebagai upaya untuk mendesak percepatan program tersebut. Pak Manurung, salah seorang warga Desa Sibisa mengatakan bahwa ada ketimpangan akses tanah di Sibisa. Ini terlihat dari adanya beberapa orang dari luar Desa Parsaoran Sibisa yang merupakan kalangan elit pemerintahan dan pengusaha yang memiliki tanah di desa ini.
Hal ini membuktikan betapa kekuasaan politik dimanfaatkan untuk menguasai lahan demi kepentingan pribadi. Para elit ini memanfaatkan status tanah yang belum legal (dalam hal penguasaan dan kepemilikan atas tanah), dan juga tanah-tanah yang masih masuk ke dalam Kawasan Hutan Negara yang seharusnya diperuntukan bagi rakyat sebagai TORA.
Regulasi pemerintah dalam pengawasan sistem pengelolaan lahan di Kawasan Hutan Negara ternyata masih lemah dan tidak menempatkan masyarakat miskin dan petani yang tidak memiliki tanah sebagai prioritas.
Selain program TORA, masyarakat juga ditawari program perhutanan sosial. Perhutanan sosial dianggap sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. (PP. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Ps. 1).
Salah satu program dalam perhutanan sosial adalah hutan kemasyarakatan (HKM). Mengapa masyarakat harus mengajukan HKM untuk mengelola Kawasan Hutan? Masyarakat mengetahui bahwa secara historis tanah tersebut merupakan warisan nenek moyang yang membuka perkampungan tersebut/tanah adat. Namun, regulasi pemerintah berupa SK.579/Menhut-II/2014 tanggal 24 Juni 2014 menetapkan kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara seluas 3.055.795, yang diklaim sebagai Kawasan Hutan Negara. Klaim ini tentu membuat masyarakat yang telah lama bermukim dan menggantungkan hidupnya dari hasil hutan harus mendapatkan legalitas dari negara. Bentuk perhutanan sosial yang diajukan masyarakat adalah hutan kemasyarakatan (HKM).
Motung dan Pardamean Sibisa adalah dua desa yang termasuk dalam program perhutanan sosial dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKM). Kedua desa inipun dibagi menjadi empat kelompok tani HKM. Pak Sitorus yang adalah mantan ketua Gapoktan dan kini menjadi karyawan di Persemaian Modern tersebut mengaku bahwa pemerintah telah mengeluarkan ijin HKM Desa Parsaoran Sibisa dan Motung pada tahun 2013. Luas lahan yang diperuntukkan bagi program HKM mencapai 610 Ha. Namun, dengan peralihan dari SK 44 ke SK 579 dan dilakukan penataan batas baru, luasan HKM pun berkurang menjadi 510 hektar. Tidak berhenti di situ, luas HKM berkurang lagi sebanyak 200-an hektar karena diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata BPODT. Pada tahun 2020 muncul ijin baru dimana luas HKM hanya sekitar 95 hektar karena ada yang dialokasikan untuk pengembangan persemaian Modern Toba. “Inilah negara ini, dulunya semua tanah ini diberikan oleh nenek moyang kami kepada pemerintah untuk program penghijauan saja, kemudian masuk register 85 yang kini ditetapkan sebagai Kawasan Hutan milik Negara”, kata pak Sitorus.
Tahun 2000-an masyarakat yang memperluas wilayah pertaniannya ke kawasan hutan kerap ditangkap oleh polisi hutan. Masyarakat yang bertani di kawasan tersebut dicap illegal dan ditangkap karena dianggap melakukan perambahan hutan. Lewat mekanisme legalisasi yang ditawarkan oleh negara, masyarakat akhirnya mengajukan kelompok HKM. Namun, tanpa persetujuan atau konsultasi dengan masyarakat, pemerintah selalu mengambil langkah sendiri melakukan pengurangan dan pengalihan fungsi lahan HKM. Ini adalah salah satu bentuk arogan pemerintah dalam mengelola Kawasan Hutan yang secara historis adalah milik orang tua pendahulu masyarakat.
Pengembangan persemaian di lokasi HKM seluas 27 hektar berdampak terhadap sekitar 90 keluarga petani yang kemudian kehilangan sumber penghidupan. Pak Sitorus mengaku bahwa petani mengerjakan lahannya baru selama 1,5 tahun semenjak ijin terbaru keluar.
Persemaian Modern Toba yang telah dibangun tampaknya merupakan Bupati Toba Poltak Sitorus. Dirilis oleh merdeka.com (12 Desember 2021), beliau menyampaikan harapannya bahwa persemaian ini kelak akan menjadi tempat edukasi dan wisata dan juga untuk pelestarian lingkungan. Pertanyaannya, bagaimana narasi besar seperti pariwisata dan pelestarian lingkungan berjalan beriringan dengan penghilangan sumber penghidupan masyarakat?
Salah seorang warga yang terdampak oleh persemaian HKM ini dan bekerja di dalamnya mengatakan bahwa setelah lahannya ditariknya dari HKM, mereka tidak bertani lagi, dan hanya berharap bisa tetap bekerja. Upah sebagai buruh di persemaian sekitar 80 ribu per hari. Masyarakat yang terdampak pun telah bekerja di persemaian beberapa bulan terakhir dengan jadwal tertentu karena adanya pembagian shift kerja sehingga terhitung hanya sampai sekitar 2 minggu bekerja dalam sebulan, sisanya mereka hanya bisa menganggur karena tidak ada tanah yang bisa dikerjakan.
Malangnya, persemaian modern ini tidak memiliki alat perlindungan diri untuk pekerja, juga tidak ada jaminan serta asuransi kecelakaan kerja. Selain itu, tidak ada jaminan akan berapa lama masyarakat yang terdampak ini akan bisa tetap bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan program besarnya dalam memberikan akses tanah dan mengatasi masalah kemiskinan masyarakat.
Persemaian Modern Toba yang beroperasi sejak tahun ini mempekerjakan masyarakat yang terdampak untuk menanam benih, melakukan perawatan dll, dengan jam kerja sejak jam 8 pagi hingga 4 sore. HKM yang dikelola oleh masyarakat Sibisa dan Motung ini dialihkan juga untuk pembangunan BPODT sehingga tanaman masyarakat harus diratakan. Muncul perdebatan di tengah masyarakat karena diskriminasi yang terjadi. Warga yang lahannya diperuntukkan bagi BPODT memperoleh ganti rugi sedangkan warga terdampak oleh pengembangan persemaian tidak mendapatkan hak ganti rugi atas tanamannya. Masyarakat hanya memahami bahwa mereka sama-sama mendapatkan legalitas pengelolaan HKM.
Lagi-lagi pemerintah melakukan alih fungsi lahan tanpa konsultasi dengan masyarakat. Jika pengelolaan hutan memang demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, mengapa kehadiran BPODT dan persemaian seolah memperlihatkan bahwa pemerintah tidak serius menjawab persoalan kemiskinan masyarakat saat ini? Lewat regulasinya, pemerintah hanya mendisiplinkan masyarakat agar tidak merusak hutan, namun tidak menjawab bagaimana agar penghidupan masyarakat yang bermukim di dekat Kawasan Hutan berkelanjutan. Perubahan fungsi hutan untuk pengembangan pariwisata dan Persemaian justru berkontribusi bagi terjadinya deforestasi.
Masuknya masyarakat Desa Motung dalam program HKM menegaskan dominasi negara atas hutan yang secara historis adalah milik masyarakat Desa Motung. Kebijakan seperti HKM dan TORA terbukti belum menjawab hak atas tanah bagi rakyat, selain memunculkan permasalahan baru dimana program ini tidak menjamin keberlanjutan hidup petani. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akhirnya menjebak masyarakat yang terdampak HKM menjadi buruh di persemaian tersebut.**