Konflik Tanah antara Masyarakat Adat dan Pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) masih saja terus berlanjut. Ketika masyarakat adat bekerja di lahannya, pihak perusahaan langsung melaporkan anggota masyarakat adat ke polisi. Biasanya alasan yang digunakan adalah pengrusakan tanaman perusahaan. Perusahaan mengklaim bahwa lahan adalah wilayah konsesi, di sisi lain masyarakat mengklaim itu adalah wilayah adat mereka dan mereka memiliki hak untuk mengelolanya.
Konflik yang sudah berlangsung lama ini tidak kunjung terselesaikan, sehingga masyarakat adat kehilangan rasa aman dan nyaman bekerja di wilayah adatnya. Sewaktu-waktu mereka bisa di kriminalisasi.
Setidaknya itu yang dialami oleh masyarakat adat di Natinggir, Desa Simare, Kecamatan Borbor Kabupaten Toba. Perusahaan melalui pihak Polres Toba telah dua kali melakukan pemanggilan terhadap warga yang diduga melakukan pengrusakan.
Padahal, konflik antara Masyarakat Adat Natinggir dengan Pihak Perusahaan saat ini sedang dalam proses penyelesaian konflik oleh pihak KLHK. Komunitas ini, termasuk yang sudah dilakukan verifikasi masyarakat adat oleh Tim verifikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Hasil verifikasi menyatakan akan dilakukan mediasi sebagai tindak lanjut proses penyelesaian konflik. Sayangnya, bukan tindak lanjut proses penyelesaian konflik yang terjadi, sebaliknya, proses kriminalissi yang terus berlanjut.
Tidak hanya dikriminalisasi, perusahaan juga dengan semena-mena mengintimidasi masyarakat adat dalam aktivitas sehari-hari termasuk ketika kedatangan tamu dari luar komunitas. Pada 31 Juli lalu, staf KSPPM bersama tim media dari Jakarta sedang berkunjung ke komunitas masyarakat adat, untuk meliput tentang aktivitas perempuan adat di Dusun Natinggir. Kunjungan staf KSPPM dan tim media tersebut, direspon tidak baik oleh pihak perusahaan, di mana humas perusahaan, tiga petugas security dan kontraktor perusahaan, menjumpai warga, mempertanyakan kehadiran “orang lain” di Desa mereka. Mereka menyatakan keberataan akan kehadiran “orang luar” yang dianggap akan memecah belah masyarakat di desa.
Rudolph Pasaribu, anggota masyarakat adat, segera menepis pernyataan humas dan security yang datang, bahwa KSPPM dan tim media yang datang adalah tamu mereka, bukan pemecah belah. Rumenti Pasaribu, perempuan adat, juga menyatakan bahwa mereka berhak mendatangkan siapa saja yang bekerjasama dengan mereka, sama dengan anggota masyarakat lain yang bekerja sama dengan TPL, juga bebas mendatangkan siapa saja ke desa mereka. Jadi tidak ada alasan bagi siapapun untuk melarang mereka kedatangan tamu. LSM dan media bukan memecah belah warga, sebaliknya perusahaan lah yang merusak kehidupan dan lingkungan mereka.
Setelah mendengar penjelasan anggota masyarakat adat, pihak humas, pertugas keamaan perusahaan dan kontraktor pun terdiam dan bergeas pulang.
Perusahaan Terus Mencoba Menanami Wilaya Adat Natinggir
Senin, 1 Agustus 2022, sekitar 15 orang Masyarakat Natinggir pergi ke Tombak Nadao untuk melihat wilayah adat mereka yang menurut informasi yang mereka dengar, telah kembali ditanami pihak perusahaan. Padahal, sebelumnya, mereka sudah meminta agar TPL menghentikan aktivitas penanaman eucalyptus di lahan tersebut.
Ternyata, pada 31 Juli 2022, pihak perusahaan justru menurunkan Buruh Harian Lepas (BHL) untuk menanami pohon eucalyptus di tombak tersebut. Sehingga masyarakat Natinggir beramai-ramai ke lahan untuk meminta perusahaan menghentikan aktivitas penanaman di wilayah tersebut. Masyarakat tidak menghendaki ada kekerasan fisik di lokasi tersebut, sehingga para orangtua mendatangi para BHL dan meminta mereka tidak menamam di lokasi tersebut. Pada saat itu, BHL segera memasukkan bibit pohon eucalyptus yang akan ditanam ke truk dan segera keluar dari wilayah adat mereka.
Tindakan semena-mena perusahaan, kriminalisasi, intimidasi dan teror akan terus dilakukan jika pemerintah tidak serius menyelesaikan konflik ini.