Sahala Pasaribu (32) adalah pemimpin organisasi perjuangan Masyarakat Adat Pomparan Ompu Nasomalomarhohos Pasaribu di Dusun IV Natinggir, Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba. Komunitas Masyarakat Adat ini berjuang melawan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. yang menghancurkan ruang hidup warisan nenek moyangnya.
Amani Iren adalah panggilan akrab di komunitas terhadapnya.Dia bekerja sebagai petani. Dia selalu menunjukkan keramahan dan kesantunan dalam bertutur kata jika kita berkunjung ke rumahnya. Dia akan terlihat bercanda gurau dengan anak-anaknya di rumah yang membuktikan bahwa hubungan antara anak dan orang tua memang akrab dan tidak kaku.
Memimipin Komunitas Masyarakat Adat Pomparan Ompu Raja Nasomalomarhohos Pasaribu baginya adalah sebuah kehormatan. Kepercayaan untuk memimpin di usia muda adalah tanggung jawab yang sangat berat. Perjuangan membutuhkan napas yang panjang dan kerelaan untuk berkorban. Artinya, kerelaan meluangkan waktu untuk mengikuti pertemuan dan pelatihan atas undangan dari lembaga pendamping, bahkan mengeluarkan biaya sendiri jika ada kegiatan di luar komunitas dan juga untuk hal lainnya.
Bapak dua anak ini seringkali terpaksa meninggalkan keluarga untuk menghadiri pertemuan dan membangun jaringan dengan pihak-pihak lain yang sepemahaman dengan perjuangan. Meski begitu dia selalu menyakinkan istri dan anak-anaknya bahwa perjuangan yang dilakukan akan membawa perubahan besar bagi komunitas secara umum dan untuk keluarga mereka secara khusus.
Dukungan keluarga dan komunitas menjadikan jiwa kepemimpinan semakin kuat dalam dirinya. Membangun rumah di lahan bekas eucaliptus, dia ingin membuktikan diri sebagai pemilik wilayah adat di huta Natinggir. Dia bersama anggota komunitasnya menduduki dan menguasai lahan serta menanam pohon aren, macademia dan jagung. Hal ini sebagai bentuk perlawanan terhadap perusahaan yang menghancurkan hutan adatnya.
Mereka juga ambil bagian dalam aksi-aksi demo di depan kantor Bupati kab. Toba hingga di depan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta bersama komunitas-komunitas lain yang bergabung dengan Aliansi gerak Tutup TPL. Targetnya adalah pengembalian tanah adat yang sedang diperjuangkan.
Panggilan dari pihak kepolisaan Resort Toba sudah 2 (dua) kali diterima oleh 7 orang anggota komunitas. Sahala Pasaribu termasuk di dalamnya sebagai ketua perjuangan. Hal ini tidak membuatnya gentar dan takut. Bahkan, dia menganggap surat tersebut seperti surat cinta dari kepolisian. Kesolidan komunitas sedang diuji dan digoncang.
Sahala Pasaribu sering mendapat tawaran untuk menduduki posisi-posisi penting di perusahaan. Namun, semua tawaran itu tidak menggoyahkannya. Baginya tanah adat yang diperjuangkan adalah identitas dirinya dan komunitas. “Dang olo hatoban di tanokku. Ikkon raja do au di tanokku“ (tidak mau sebagai budak di tanah sendiri, harus menjadi tuan di tanah sendiri) adalah prinsip yang dipegangnya.
Semangat dan keseriusanya sangat tinggi dalam melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh PT. TPL. Perjuangan atas wilayah adatnya merupakan sebuah keharusan baginya, meskipun dia mengetahui betul bahwa perjuangan ini tidak mudah dan akan berlangsung lama. Sahala Pasaribu berharap pemerintah segera mengakui wilayah adat Pomparan Ompu Raja Nasomalomarhohos Pasaribu dan mengeluarkannya dari wilayah konsesi PT.TPL. Kehadiran perusahaan terbukti menyebabkan komunitas ini menjadi miskin. Perusahaan menebangi hutan kemenyan, menghilangkan tempat penggembalaan kerbau, dan mematikan sumber air. Semuanya diganti menjadi kebun Eucaliptus yang boros air. Perjuangan komunitas ini masih panjang dan membutuhkan waktu yang lama. Kesatuan, persatuan dan saling menyemangati masih sangat dibutuhkan. Kemenangan akan tercapai dengan persatuan. Pihak jaringan dan lembaga pendamping perlu konsisten dan tak kenal lelah berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam berjuang sehingga komunitas ini mendapatkan kemenangan.**