Pada Selasa, 11 Oktober 2022. Spanduk raksasa bertuliskan “North Sumatera Women Against Deforestation” terbentang di wilayah Adat Huta Napa, Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Tidak hanya poster raksasa tersebut, hand banner berisi tuntutan masyarakat adat di Tano Batak agar wilayah adat mereka dikeluarkan dari Kawasan Hutan Negara dan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) juga digaungkan. Aksi bentang poster ini dilakukan sebagai bentuk protes atas lambatnya proses penyelesaian konflik tenurial dan hutan adat di Indonesia termasuk di Tano Batak.
Sekitar 100 perwakilan masyarakat adat dari Sembilan komunitas masyarakat di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba hadir di wilayah adat Huta Napa. Mereka khususnya adalah korban kebijakan negara yang memberikan izin konsesi kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan pulp milik Sukanto Tanoto, yang merupakan anak perusahaan Royal Golden Eagle (RGE).
Kehadiran perusahaan ini tidak hanya berdampak terhadap hilangnya ruang hidup masyarakat Batak Toba di Tapanuli tetapi juga melakukan pengrusakan hutan adat. Salah satunya adalah Huta Napa, yang merupakan wilayah adat Op. Bolus Simanjuntak dan Op. Ronggur Simanjuntak. Hutan adat milik kedua komunitas ini, tadinya merupakan hutan kemenyan dan hutan alam, namun sejak kehadiran perusahaan ini, masyarakat adat kehilangan sumber mata pencaharian dari getah kemenyan.
Kerusakan hutan adat selain menghilangkan sumber mata pencaharian mereka, juga menghancurkan sistem pangan lokal petani dan masyarakat adat. Sungai-sungai yang menjadi sumber air minum dan irigasi hancur, kering di musim kemarau dan meluap di musim hujan. Keberlanjtutan sawah sebagai sumber pangan terancam. Tidak hanya, sawah yang terdampak, petani juga saat ini harus bersusah payah menjaga perladangan, karena binatang dari hutan seperti monyet, babi hutan dan beruang menjadi hama bagi pertanian mereka di ladang.
Sebelum kehadiran PT TPL, mereka mengatakan kebutuhan pangan mereka terjamin setiap tahunnya dari sawah, ladang, ternak dan kemenyan. Sayangnya, saat ini sistem pangan mereka yang berdaulat dihancurkan oleh kebijakan yang tidak berpihak kepada petani. Padahal pemerintah dalam dua tahun ini gencar mengingatkan bahwa dunia sedang diambang krisis pangan akibat pandemic dan krisis iklim.
Lewat aksi yang dilakukan di hutan adat tersebut masyarakat adat, petani, perempuan adat dan pemuda adat menyerukan kepada pemerintah, agar tidak hanya menyerukan kekhawatiran saja, tetapi serius menyelesaikan persoalan pangan saat ini dan yang akan datang. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh masyarakat adat di Tano Batak adalah memenuhi hak atas tanah petani dan masyarakat adat di Tano Batak. Karena hak atas pangan hanya bisa terwujud jika atas hak atas tanahnya terpenuhi.
Ada beberapa tuntutan Masyarakat adat kepada kepada Pemerintah, antara lain; menghentikan deforestasi, mengembalikan wilayah adat kepada masyarakat adat, mencabut izin PT Toba Pulp Lestari di Tano Batak, menghentikan upaya kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat yang memperjuangkan wilayah adatnya dan pesan-pesan lainnya.
Tidak hanya kepada pemerintah, masyarakat adat juga menyerukan kepada konsumen di seluruh dunia, agar tidak membeli produk dari perusahaan yang melakukan pelanggaran HAM dan pengrusak hutan dan lingkungan.
Hari Pangan Jangan Hanya Slogan
Aksi bentang poster ini dilakukan juga dalam rangka menyambut Hari Pangan Internasional, yang jatuh pada tanggal 16 Oktober nanti. Masyarakat adat di Tano Batak berpesan agar peringatan Hari Pangan Internasional ini tidak hanya slogan yang tak memberi makna apa-apa.
“Solusi terbaik dari pemerintah adalah dikembalikannya wilayah adat kepada masyarakat adat, sehingga masyarakat adat merasa nyaman mengelola wilayah adatnya. Jangan hanya dalam peringatan Hari Pangan ini kita mengingat bahwa pentingnya tanah yang sudah ada untuk kita kelola”, ujar Ama Rini Simanjuntak dari Ketua Komunitas Op.Bolus.
Ama Desmi Simanjuntak dari Komunitas Op.Bolus menambahkan bahwa, “Tanah ini merupakan warisan ompung kita sehingga kita harus mengelolanya dengan baik”.
Marojahan Sitanggang dari Komunitas Masyarakat Adat Janji Maria sepakat bahwa tanah adat yang menjadi warisan leluhur mereka harus dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat adat. Perjuangan tanah adat harus tetap dilakukan.
Sahala Pasaribu, Komunitas Masyarakat Adat Natinggir juga menyampaikan bahwa perjuangan masyarakat adat menghadapi banyak tantangan, namun tidak bisa menyerah. Jika saat ini negara tidak mengakui keberadaan masyarakat adat, khususnya pengalaman mereka di Toba, di mana pemerintah Kabupaten Toba tidak mengakui keberadaan mereka, tidak berarti perjuangan berhenti, Mereka bahkan sepakat untuk tetap memngelola wilayah adat yang diwariskan leluhurnya kepada mereka. “Kita tidak akan berhenti, mari kuasai dan Kelola wilayah adat kita untuk kesejahteraan masyarakat adat”, ujarnya.
“Tanah adat yang diwariskan kepada kita jangan kita biarkan kosong. Kita hidup dari tanah leluhur kita, kita tanami semuanya dengan tanaman pangan dan tanaman kehidupan. Jangan menyerah hanya karena kita belum mendapatkan pengakuan dari negara. Itu adalah tanah kita untuk hidup kita dan generasi yang akan datang”, kata Menti Pasaribu, dari Komunitas Perempuan Adat Natinggir.
Dalam aksi juga hadir Jonris Simanjuntak, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan. Komunitas mereka telah mendapatkan SK Hutan Adat dari Pemerintah Indonesia pada Februari 2022 lalu. Bagi Jonris bukan itu yang terpenting tapi bagaimana masyarakat adat bersatu mengelola dan menjaga hutan wilayah adatnya untuk kesejahteraan masyarakat adat.
“Hal terpenting dari perjuangan masyarakat adat ini adalah bagaimana masyarakat adat tetap menguasai wilayah adatnya, mengelolanya dengan baik. Perjuangan kita bukan perjuangan selembar surat SK dari negara, tetapi surat dari tanah adat ini adalah kita sendiri. Oleh karena itu kita harus mengelolanya dengan baik, agar kelak bisa diwariskan dengan baik kepada generasi yang akan datang, hutannya kita jaga, tanah adatnya kita tanami tanaman pangan lokal yang menopang pangan kita. Masyarakat Adat harus berdaulat ditanahnya sendiri. Pengakuan dari negara itu tujuan kesekian, bukan yang utama”, kata Darwin Manullang mengkahiri diskusi sehabis aksi tersebut. ***