Dua tahun lalu. Tepatnya September 2022, Presiden Jokowi mengatakan “Mengantisipasi kondisi krisis pangan global akibat pandemi COVID-19 yang sudah berkali-kali diingatkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dan mengantisipasi perubahan iklim, serta mengurangi ketergantungan kita pada impor pangan”. Pernyataan yang mengawali program Food Estate (FE) di Indonesia.
Awalnya, bukan hanya pemerintah yang memuji program ini, tetapi para petani yang berada di lahan seluas 215 ha di Desa Ria-ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan juga menyambutnya secara positif. Hal ini terbukti dari jumlah luasan lahan yang diberikan oleh petani untuk program FE tersebut, yaitu mulai dari 1 ha hingga 7 ha/ KK. Akan tetapi, aturan-aturan yang dibuat dan panen perdana menjadi bukti bahwa program FE tersebut tidak seperti yang masyarakat pikirkan selama ini. Ternyata, program FE di Desa Ria-ria membawa banyak kerugian bagi para petani.
Pengalaman Ingot Sitohang, seorang petani FE dengan luas lahan 1 ha, menjadi bukti bahwa pertanian keluarga masih tetap menjadi jawaban bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan ekonomi keluarga. Ingot memutuskan untuk tidak melanjutkan program FE karena mengalami banyak kerugian.
Lahan Ingot Sitohang yang dulunya ditanami kentang dalam program FE, kini sudah ditumbuhi berbagai macam tanaman seperti: bawang merah, bawang batak, cabai, tomat, kentang, kubis, kopi, andaliman dan jagung. Porlak si pitu dai menjadi sebutan yang pas untuk menjelaskan keberagaman produk pertanian di lahan yang dikelola Ingot bersama keluarganya saat ini.
“Kami sudah bebas menanam apa saja di lahan ini dan hasilnya jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan ketika masih mengikuti program FE. Hal ini karena kami sudah mengatur pola tanam setiap komoditas. Kami juga bisa mengatur waktu untuk setiap komoditas. Waktu kerja kami juga sudah jauh lebih santai karena sudah tidak lagi mengikuti aturan di FE. Keuangan keluarga pun jadi lebih baik karena panen untuk tiap komoditas sudah teratur,” kata Ingot Sitohang.
Istri Ingot Sitohang juga mengakui bahwa kebutuhan beras di rumah tangga sudah terpenuhi sepanjang satu tahun. Saat keluarga Ingot masih mengikuti program FE, hasil beras dari sawah hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarga selama enam bulan. Padahal sawah yang dikelola sama luasnya ketika masih mengikuti program FE. Perbedaannya, perawatan padi menjadi kurang maksimal karena waktu tersita habis di program FE. Tombak haminjon yang sepanjang program FE tidak lagi terurus, kini sudah dikelola kembali oleh Ingot.
“Dalam waktu dekat Jokowi akan kembali berkunjung ke sini. Supaya lahan tidak kosong, OPD Humbang mengelola lahan tersebut,” kata seorang petani pemilik lahan FE yang namanya tidak ingin disebutkan pada saat kunjungan saya ke desa tersebut Juli tahun 2022 lalu. Kata mereka, sejak pertengahan tahun 2022, OPD (Organisasi Perangkat Daerah) Humbang Hasundutan pun sibuk mengelola lahan FE yang sudah banyak ditumbuhi pakis-pakisan tersebut. Mereka menyewa tanah murah dari petani dengan harga sekitar Rp.1.000.000/ha/tahun, Ketidakmampuan petani mengelola seluruh lahannya menjadi kesempatan emas bagi beberapa pihak untuk menyewa tanah dengan murah. Informasinya ada sekitar sepuluh OPD Humbang Hasundutan yang menyewa tanah di lokasi FE. Mereka menanam jagung. Lahan yang dikelola oleh OPD itu juga tidak terawat dengan baik. Belum diketahui, dari mana sumber dana pengelolaan lahan tersebut oleh OPD. Namun setidaknya ini membuktikan bahwa program FE yang digadang-gadang pemerintah hingga saat ini bukan berbasis pada kebutuhan petani di Ria-Ria.
Proyek FE di Desa Ria-ria dilakukan demi kepentingan perusahaan agribisnis menguasai sektor pertanian pangan melalui kebijakan pemerintah. Pemerintah lebih memilih korporasi sebagai mitra dalam merumuskan kebijakan daripada petani dan masyarakat adat sebagai produsen pangan. Proyek FE sudah terbukti gagal membantu petani. Petani akhirnya kembali ke pertanian keluarga dengan budaya pertanian “porlak si pitu dai”.***