Sejak masuknya Industrialisasi di Kawasan Danau Toba di awal tahun 1990-an, diawali hadirnya industri Hutan Tanaman Industri (HTI), kita diperhadapkan dengan semakin parahnya kerusakan hutan. Hutan-hutan yang diklaim negara sebagai Kawasan Hutan Negara di berikan kepada perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) melalui izin konsesi. Saat ini ada sekitar 167.000 hektar wilayah konsesi PT TPL di Sumatera Utara. Sekitar 25% merupakan Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Pemberian izin konsesi tersebut, sangat berkontribusi besar dalam rusaknya hutan di Kawasan Danau Toba.
Selain eksploitasi dan penghancuran hutan-hutan alam oleh industri HTI, kerusakan hutan dalam lima tahun terakhir juga diduga disebabkan oleh maraknya penyadapan getah pinus oleh masyarakat, baik yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) maupun oleh masyarakat umum lainnya.
Ada banyak pro-kontra menyikapi aktivitas penyadapan getah pinus ini. Tapi pernahkah kita menelisik, mengapa petani banyak memilih meenyadap getah pinus? Itulah yang akan disorot oleh tulisan ini, khususnya mengenai perjuangan sehari-hari Pak Erwin Situmorang untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Pak Erwin berprofesi sebagai petani di Desa Saor Nauli Kecamatan Palipi. Dia merupakan salah satu pengurus di Kelompok Tani Langge Marsada dan anggota Komunitas Op. Parlanggu Bosi Situmorang. Pada satu kesempatan, Pak Erwin berbicara tentang kondisi penghidupan petani di Desa Saor Nauli. Dia mengatakan bahwa sejak sekitar tahun 2018 banyak petani di desanya beralih ke komoditas getah pinus. Aktivitas ini mereka namai mangkoak.
Peralihan ke komoditas getah pinus ini disebabkan oleh penurunan hasil produksi kopi dan komoditas lainnya serta terbatasnya prasarana dan sarana pertanian. Akibatnya, banyak petani yang tidak lagi mengerjakan ladangnya dan mulai menyadap getah pinus.
Dahulu, mereka mengelola wilayah adatnya sebagai areal perladangan secara tradisional. Selama tiga tahun mereka mennaam padi gogo dan tanaman lainnya. Setelah tiga tahun, lalu tanah selama berpuluh tahun, membiarkan tanah ditumbuhi ilalang agar unsur hara tanah pulih untuk penanaman berikutnya. Selama tanah ini diistirahatkan, mereka pindah berladang ke lahan lain di sekitarnya. Lahan yang diistirahatkan dijadikan tempat penggembalaan ternak. Begitulah cara mereka berladang saat itu.
Namun, sejak wilayah adat mereka yang dipergunakan untuk menanam padi gogo (jenis padi darat) ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Negara lewat SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan, mereka tidak lagi menanam padi hingga saat ini.
Pak Erwin mengatakan bahwa sejak menyadap getah pinus, pendapatan petani memang meningkat. Namun, Pak Erwin menyadari bahwa getah pinus tidak bisa memberikan penghidupan baginya untuk jangka panjang karena berdasarkan pengalamannya, pohon pinus akan mati jika terus disadap getahya. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menjadikan pekerjaan menyadap getah pinus sebagai aktivitas sampingan dan kembali bertani.
“Prediksi saya, kalau getah pinus ini habis karena disadap, tentu pertanian yang bisa menghidupi kami untuk jangka panjang. Saat anak-anak semakin besar, pasti pertanian yang akan menyekolahkan mereka”, kata Pak Erwin.
Menyadap getah pinus adalah kegiatan mengerok pohon pinus yang akan membuat beberapa ─ bisa mencapai 10 ─ lubang yang cukup dalam. Setelah itu, lubang-lubang tersebut akan disemprot dengan cuka untuk merangsang keluarnya getah. Getah bisa dipanen hingga dua kali dalam satu bulan dengan kuantitas 200-300kg/orang setiap panen. Setelah panen, getah dijual kepada tauke dengan kisaran harga Rp.14.000 – Rp.16.000/kg.
Penyadapan getah pinus di Desa Saor Nauli juga telah menciptakan tenaga kerja upahan(wage employment). Banyak orang meninggalkan lahan pertaniannya untuk menyadap pinus milik orang lain dengan gaji bersih sebesar Rp.100.000 selama 5 jam kerja/hari. Gaji penyadap pinus lebih tinggi dari gaji buruh di usaha pertanian komoditas lainnya yang biasanya digaji sekitar Rp.80.000/hari. Bagi Pak Erwin, kenyataan ini berdampak bagi usaha tani komoditas lainnya dalam bentuk kekurangan tenaga kerja. Tidak ada orang di desa yang bisa diajaknya untuk marsirumpa (gotong-royong) ataupun pekerja untuk dibayar.
“Saat ini juga tidak ada kita temukan orang marsirumpa; orang sekarang lebih banyak menggaji orang lain untuk menyadap pinus. Hal ini juga menimbulkan kendala bagi kami; kalo saya elek (bujuk) kawan ke ladang untuk kerja, saya tidak mampu lagi membayar gajinya karena sudah banyak yang bekerja mangkoak (menyadap getah pinus). Jika bekerja mangkoak, mereka hanya kerja 5 jam sehari digaji Rp. 100.000 di luar rokok dan makan. Itu gaji bersih. Bisa dibilang, setiap orang yang mempekerjakan orang lain untuk menyadap pinus pasti habis 150 ribu untuk menggaji. Memang kalaupun ada orang yang mempekerjakan orang lain dan harus membayar 150 ribu, itu juga dia tidak rugi. Kalau kita ajak orang untuk mangula (bertani dan beternak) kita harus membayar upah yang sama dengan mangkoak, sementara hasil yang didapat terkadang tidak sebanding dengan gaji yang kita bayarkan”, kata Pak Erwin.
Untuk mengatasi masalah kurangnya tenaga kerja ini, Pak Erwin beserta keluarga dekatnya memutuskan untuk marsirumpa. Mereka yang masih sekeluarga ─ sekitar 7 KK (Kepala Keluarga) ─ sepakat untuk tidak menggantungkan hidup hanya pada komoditas getah pinus yang tidak berkelanjutan untuk jangka panjang, dan supaya hidup mereka tidak susah di kemudian hari, mereka memutuskan untuk kembali bertani dengan komoditas lain seperti cabe, bawang dan kopi.
Namun, setelah masalah tenaga kerja teratasi, mereka juga diperhadapkan dengan masalah lainnya di sektor pertanian seperti mahalnya input pertanian, sarana prasarana yang tidak layak, ancaman gagal panen akibat perubahan iklim, dan fluktuasi harga produk pertanian. Jika diperhadapkan dengan masalah-masalah tersebut, tidak banyak alternatif yang tersedia bagi mereka. Sebabnya, hingga saat ini tidak ada kebijakan jaminan perlindungan dan pemberdayaan petani di Kabupaten Samosir. Maka, tidak heran jika petani saat ini lebih memilih untuk beralih ke komoditas getah pinus daripada usaha tani komoditas lainnya ─ yang membutuhkan biaya dan tenaga yang cukup besar ─ mengingat harga getah yang relatif tinggi dan biaya produksi yang tidak terlalu besar.
Sebenarnya, Pak Erwin dan masyarakat lainnya dipaksa oleh keadaan, yaitu sulitnya mengembangkan usaha tani serta tidak adanya kebijakan mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani. Sementara itu, mereka butuh uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alasan lain yang mendorong masyarakat untuk menyadap pinus adalah kemudahan mendapatkan uang. Sejujurnya, Pak Erwin juga merasa prihatin dengan kerusakan pohon-pohon pinus yang dia sadap dan merasa bahwa resiko kerusakan lingkungan ada di depan mata.
Pak Erwin juga menjelaskan bahwa sebelum ada aktivitas menyadap pinus, dia hidup dari pangulaan (bertani dan beternak). “Sebenarnya aku malas mengkoak ini, tapi supaya dapat duit, jadi ya terpaksa. Sebenarnya aku lebih suka mangula. Memang kita dapat banyak uang dari mengkoak, tetapi kalau ditanya, aku lebih suka bertani. Juga kalau kita lihat kenyataan, pinus itu paling bisa bertahan selama lima tahun sementara anakku paling besar masih kelas 2 SMP dan nomor dua kelas 1 SMP. Artinya, uang dari mengkoak hanya bisa menyekolahkan anakku sampai tamat SMA. Jadi, kalau aku tidak mulai bertani dari sekarang, masa depan anakku pasti hancurnya,” jelas Pak Erwin.
Selain masalah-masalah tersebut, mereka juga menghadapi masalah regenerasi petani yang terkait erat dengan masalah tenaga kerja di usaha pertanian. Setelah lulus dari bangku sekolah, anak-anak muda lebih memilih untuk merantau daripada tinggal di kampung untuk bertani karena anak muda menganggap sektor pertanian itu tidak menjanjikan atau memberikan mereka kesejahteraan. Kalaupun ada anak-anak muda yang memutuskan untuk tinggal di kampung dan bertani, mereka menganggap bahwa bertani itu hanya sebagai pilihan terakhir. “Tidak ada petani di desa ini yang menyatakan bahwa dia suka jadi petani karena banyak pendapatan dari bertani”, kata Pak Erwin.
Pak Erwin dan petani lainnya tentu saja sangat berharap bisa meningkatkan usaha pertanian mereka. Selain masyarakat, pemerintah juga menyayangkan adanya aktivitas penyadapan getah pinus yang berpotensi merusak lingkungan. Namun, saat ini Pak Erwin dan petani lainnya berada dalam situasi yang sangat kompleks. Komoditas lainnya yang biasa ditanam oleh masyarakat tidak memiliki daya jual tetap di pasar. Sementara itu, getah pinus memiliki daya pikat yang lebih tinggi karena mudah mendapatkan hasilnya, sedangkan untuk mengembangkan usaha tani dengan komoditas lainnya memerlukan perjuangan yang lebih keras.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Samosir masih belum melihat aktivitas menyadap getah pinus sebagai ancaman bagi lingkungan. Kalaupun nantinya menyadari hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Samosir harus membuat kebijakan tentang jaminan perlindungan dan pemberdayaan petani yang bisa mendorong dan membantu petani mengembangkan untuk usaha tani yang berjalan baik. “Pertanian kami tidak maju karena akses infrastruktur pertanian tidak baik, Jika itu tersedia, pasti banyak yang bisa dilakukan. Sebenarnya banyak keinginan dan harapan kami di sini tapi terkendala karena akses yang tidak baik. Kami berswadaya untuk memperbaiki jalan, tetapi kekuatan cangkul kami untuk memperbaiki tidak seberapa,” keluh Pak Erwin.**