Dalam 4 tahun terakhir, bencana longsor dan banjir di kawasan Danau Danau Toba terjadi kurang lebih 10 kali. Dari hasil penelitian yang dilakukan KSPPM, penyebab banjir dan longsor, umum nya disebabkan kerusakan hutan di hulu sungai. Seperti yang baru ini terjadi di Sigapiton, setelah perubahan fungsi hutan menjadi areal pengembangan pariwisata, sudah 2 kali terjadi banjir, yang menyebabkan terputusnya akses jalan ke Desa dan sumber mata air masyarakat.
Bencana seperti yang terjadi di Sigapiton dan tempat lainnya sudah lama diprediksi akan terjadi oleh sejumlah peneliti dan media. Misalnya, IT News pada April 2019 mengatakan bahwa perubahan iklim menempati posisi paling atas sebagai penyebab musibah global, seperti bencana alam, cuaca ekstrem, krisis pangan dan air bersih, hilangnya keanekaragaman hayati, dan runtuhnya ekosistem. Salah satu media internasional bahwa menyampaikan bahwa 50 persen dari seluruh spesies yang ada di bumi akan mengalami kepunahan pada abad ini. Tidak hanya itu, perubahan ini juga memberi dampak serius terhadap berbagai sektor, di antaranya sektor kesehatan, pertanian, dan perekonomian. Selain itu, migrasi terpaksa (involuntary migration) akibat perubahan iklim berujung pada ketidakstabilan sosial dan politik yang mendalam. Berdasarkan pemaparan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa bahaya perubahan iklim bukan isapan jempol belaka.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan iklim. Diantaranya adalah alih fungsi hutan secara masif, transportasi yang mengunakan bahan bakar fosil, seperti mobil, kapal, pesawat, pengunaan listrik yang berlebihan dan perilaku manusia yang konsumtif.
Untuk mencegah kerusakan yang semakin parah, dunia melakukan pertemuan pada 2016 lalu di Paris dan menghasilkan Paris Agreement (Kesepakatan Paris). Sebanyak 171 negara menandatangani Kesepakatan Paris ini. Kesepakatan Paris ini merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya, mewakili Indonesia, turut serta dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan tersebut menyepakati bahwa negara-negara di dunia khususnya negara berkembang, seperti Indonesia, berjanji akan ikut berkontribusi dalam mengatasi perubahan iklim. Salah satu langkah yang dilakukan oleh Indonesia adalah meratifikasi Paris Agreement lewat Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change yangdiundangkan pada tanggal 25 Oktober 2016.
Bukan hanya itu, pada tahun 2022, Indonesia bahkan meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca yang semula 29 persen menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional. Peningkatan target ini berdasarkan kebijakan-kebijakan nasional terkait perubahan iklim.
Masyarakat Adat dan Perubahan Iklim.
Perubahan iklim bukan istilah yang familiar (akrab) bagi masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Batak. Namun dalam prakteknya, konsep tata ruang masyarakat adat menempatkan hutan dan Harangan sebagai penopang penting bagi kehidupan masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat adat sangat jarang melakukan penebangan kayu sembarangan di hutan dan harangan, karena hutan dan harangan berfungsi sebagai sumber mata air bagi mereka.
Kasus di Motung tahun 2016 bisa dijadikan contoh. Ketika hutan di Motung, Kecamatan Ajibata, ditunjuk sebagai salah satu area pengembangan pariwisata Danau Toba, masyarakat langsung melakukan penolakan. Menurut masyarakat, hutan tersebut sangat sakral. Salah satu bukti kesakralan itu, para penatua adat adat memberi sanksi adat terhadap anggota masyarakat yang ketahuan mengambil kayu dari hutan.
Bagi sebagian orang, kata ‘sakral’ seringkali disejajarkan dengan ‘kolot’ karena masih percaya pada tahayul. Namun, jika ditelusuri lebih mendalam, sifat ‘sakral’ itu dilekatkan oleh masyarakat karena hutan tersebut merupakan satu-satunya hutan yang tersisa di Kecamatan Ajibata. Jika hutan tersebut dialih-fungsikan, beberapa desa berpotensi mengalami bencana longsor. Juga diketahui kemudian bahwa hutan tersebut berfungsi sebagai sumber air bagi masyarakat di beberapa desa di Kecamatan Ajibata.
Masyarakat adat Natinggir di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, adalah contoh lain dari dampak nyata perubahan iklim. Dari 1.496 hektar wilayah adat mereka yang dipetakan secara partisipatif, tidak menyisakan hutan lagi. Hutan mereka telah berubah menjadi tanaman industri milik Perusahaan Toba Pulp Lestari (PT TPL).
Dalam diskusi bersama masyarakat Natinggir tentang Participatory Assessment of Climate and Disaster Risks (PACDR) disadari bahwa kehadiran PT TPL di wilayah adat mereka telah menyebabkan sejumlah ancaman perubahan iklim, seperti kekeringan, serangan hama, banjir, konflik sosial dan banyak lagi. Ancaman bahaya-bahaya ini menyebabkan gagal panen, merusak sumber mata air, menambah jam kerja petani di ladang, dan merusak relasi sosial di kampung.
Menurut Menti Pasaribu, salah seorang perempuan adat di Natinggir, kerusakan lingkungan di Natinggir menimbulkan dampak khusus terhadap perempuan. Perempuan di Natinggir seringkali mengalami beban ganda, karena setelah pulang dari sawah atau ladang, mereka harus pergi lagi mencari air untuk kebutuhan rumah tangga karena sumber air mereka telah rusak. Di saat-saat tertentu, seperti menstruasi, perempuan sulit mendapat air bersih sehingga berdampak pada kesehataan reproduksinya.
Apa yang dialami oleh Menti dan warga Natinggir secara umum tidak berbeda jauh dengan masyarakat adat lainnya yang terdampak oleh kehadiran PT TPL. Kekeringan, serangan hama, kesulitan mendapat air bersih adalah hal-hal yang paling sering dialami oleh masyarakat ketika hutan mereka telah dirusak oleh PT TPL.
Anehnya, saat masyarakat mulai melakukan pemulihan lingkungan dengan mengelola kembali wilayah adatnya, mereka seringkali mengalami kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi oleh perusahaan maupun kepolisian. Data KSPPM dan AMAN Tano Batak menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir sebanyak 89 masyarakat adat mengalami kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan.
Pemerintah Lokal memaknai Isu Perubahan Iklim.
Hampir sama dengan masyarakat adat, pemerintah di tingkat kabupaten ternyata juga tidak familiar (akrab) dengan istilah ‘perubahan iklim’. Bedanya, tanpa mengenal dan banyak mendengar istilah ini, masyarakat adat dalam praktek hidup sehari-hari menjaga lingkungan dengan sistem kearifan lokalnya. Sementara itu, kendati pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menerbitkan kebijakan terkait perubahan iklim, baru ada 4 SK Hutan Adat yang terbit di Provinsi Sumatera Utara.
Sesungguhnya, pemerintah daerah memiliki kontribusi besar membantu pemerintah pusat dalam mewujudkan target pengurangan emisi karbon. Salah satu kontribusi paling nyata yang bisa dilakukan ialah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan menerbitkan sebanyak-banyaknya Surat Keputusan Pengakuan wilayah milik masyarakat adat. Alasannya, semakin banyak pengakuan masyarakat adat dan hutan adat, semakin luas hutan yang diselamatkan dari kerusakan oleh perusahaan seperti PT TPL.
Mestinya, pemerintah daerah harus sepaham dengan pemerintah pusat dalam mewujudkan penurunan emisi karbon. Sektor-sektor yang diandalkan oleh Kementrian Linkungan dan Kehutanan untuk mengatasi perubahan iklim, seperti hutan, pertanian dan lainnya, berada di daerah.
Anehnya, pemerintah daerah justru sering menjadi pihak yang menghambat penyelematan hutan. Peristiwa tahun 2022 di Kabupaten Toba bisa menjadi contoh. Rekomendasi untuk pengakuan hutan adat oleh tim verifikasi dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan malah terkendala karena tidak terbit surat keputusan di tingkat kabupaten.
Ini menunjukkan bahwa komitmen Pemerintah Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca akan sulit tercapai jika kejadian di Kabupaten Toba masih terulang. Dalam menyikapi isu perubahan iklim, belum ada kordinasi yang baik dan kesepahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pengakuan Hutan Adat Pilihan Strategis Mengatasi Perubahan Iklim
Perubahan iklim itu nyata, semua sudah merasakan. Oleh karena itu semua pihak harus berkolaborasi untuk mengatasinya. KSPPM memandnag bahwa sudah semestinya pemerintah (baca:negara), menjadikan masyarakat adat sebagai mitra strategis mengatasi perubahan iklim. Bukankah faktanya, semua hutan yang dikuasai dan dikelola masyarakat adat jauh lebih terjaga dari hutan yang diklaim negara sebagai Kawasan Hutan?
Pengembalian hutan adat kepada masyarakat adat sebagai salah satu upaya mengatasi perubahan iklim sudah tepat. Saat ini ada empat SK Hutan Adat yang sudah diterbitkan di Sumatera Utara, antara lain Hutan Adat Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta Humbang Hasundutan, Hutan Adat Bius Huta Ginjang Tapanuli, Hutan Adat Onan Harbangan, dan Hutan Adat Aek Godang-Tornauli di Kabupaten Tapanuli Utara.
Masyarakat Adat meyakini bahwa dengan berada di wilayah kekuasaan dan pengelolaan mereka, hutan-hutan yang mayoritas kemenyan tersebut akan terjaga dan lestari. Keyakinan tersebut juga sudah mulai menjadi pertimbangan pemerintah dalam menerbitkan SK Hutan Adat tersebut.
Di Tano Batak, saat ini hutan alam yang tersisa sudah tidak banyak. Perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan hutan adatnya harusnya dipandang sebagai langkah bersama untuk menyelamatkan bumi ini. Hanya dengan berkolaborasi dengan masyarakat adat, komitmen negara mengatasi perubahan iklim dan menyelamatkan hutan rainforest yang tersisa bisa terwujud.***