Belajar dari Kasus Penebangan Hutan Pinus di Desa Huta Ginjang Kecamatan Simanindo Samosir
Sadar atau tidak, hubungan kita dengan alam saat ini semakin memburuk. Di tengah krisis iklim yang sudah kita rasakan bersama, kesadaran menjaga lingkungan juga tidak kunjung tumbuh. Kita sama-sama mengeluh mengapa badai semakin sering terjadi, mengeluhkan hujan yang berkepanjangan, meratapi banjir bandang dan longsor, mengeluhkan suhu yang semakin panas, kekeringan, gagal panen, serangan monyet ke lahan pertanian, dan keluhan lain yang mengindikasikan bahwa bumi kita sudah berubah.
Kita gagal membangun relasi yang baik dengan alam, karena ego manusia yang semakin kuat. Kita terhipnotis dengan manisnya janji pembanggunan yang selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Sehingga merasa berkuasa menaklukkan bumi ini tanpa memikirkan keberlanjutannya. Sehingga jika ada kerusakan hutan atau lingkungan kita cenderung diam dan membiarkannya. Mungkin kita akan tetap diam, sampai suatu saat diri kita, keluarga kita, orang-orang yang kita cintai dan harta benda kita menjadi korban.
Kerusakan hutan dan lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama. Karena kita berada di bumi yang sama. Bumi adalah tubuh kita, ketika satu sisi tersakiti maka yang lain juga merasa sakit. Satu belahan bumi bermasalah maka belahan bumi di mana kita berpijak juga akan terdampak. Itu sebabnya bicara lingkungan tidak bisa dibatasi wilayah. Mengatasinya juga harus bersama-sama.
Dalam sebulan terakhir, saya banyak dihubungi teman-teman, yang sebelumnya tidak saya kenal, untuk ikut menyuarakan kerusakan hutan atau lingkungan yang terjadi di wilayah mereka, ada dari Pakpak Barat, Dairi, Sipirok, Asahan dan terakhir seminggu lalu dari Samosir, tepatnya Desa Huta Ginjang, Kecamatan Simanindo.
Pada umumnya, teman-teman yang menelepon saya merasa sendirian, karena sudah lelah menyuarakan kerusakan hutan yang ada di depan mata mereka. Mereka butuh dukungan banyak orang untuk bersama-sama menjaga hutan di mana pun kita berada.
Seperti yang dialami oleh Keluarga Ibu Limartha Situmorang, mereka sangat prihatin dengan kerusakan hutan pinus yang terjadi di desa mereka. Penebangan hutan pinus dilakukan di hutan yang kemiringannya 60o(derajat) sejak 7 November 2022 lalu, dan masyarakat telah melaporkannya pada 12 November ke Polres Samosir. Ketika itu penebangan masih sekitar satu hektar.
Setelah pelaporan, kegiatan penebangan sempat terhenti, namun diulangi kembali pada akhir Januari 2023. Penebangan ini kembali dilaporkan oleh masyarakat, sehingga berhenti di akhir Februari 2023. Polisi sempat menangkap truk-truk pengakut kayu tersebut, namun kembali melepasnya tanpa ada alasan yang jelas dari pihak kepolisian.
Tidak ada proses hukum, penebangan kembali terjadi di bulan Juni 2023. Masyarakat kembali mengadukan ke Polres, Dinas Lingkungan Hidup Samosir dan KPH Dolok Sanggul. Polres Samosir sempat menahan alat berat berupa eskavator, namun menurut masyarakat dilepas kembali oleh KPH Dolok Sanggul dengan alasan tidak ditemukan kesalahan pemilik eskavator dalam peristiwa tersebut.
Sangat sulit memahami kasus ini, karena masyarakat sebenarnya sudah memiliki kesadaran sejak awal dilakukan penebangan, namun terkesan ada pembiaran dari pihak-pihak terkait, sehingga bisa belangsung sampai tiga kali. Dan sampai saat ini juga belum ada yang ditahan oleh pihak kepolisian. Akan berbeda tindakannya ketika yang melakukan penebangan adalah masyarakat adat atau petani sekitar hutan walau peruntukannya untuk kebutuhan mereka sendiri seperti membangun rumah, bukan untuk diperjualbelikan.
Kesadaran masyarakat yang tidak langsung direspon oleh para pengambil kebijakan menyebabkan kerusakan yang semakin parah. Dari hasil pengukuran yang dilakukan KSPPM, Kamis, 15 Juni 2023 lalu, penebangan sudah mencapai lima hektar di lereng bukit yang kemiringannya 60o. Di bawah bukit tersebut ada banyak rumah-rumah, persawahan dan perladangan yang berpotensi terdampak bencana longsor atau banjir bandang jika penebangan terus dilakukan. Dari pengambilan gambar drone juga terlihat ada beberapa titik longsor yang membahayakan.
Adapun alasan keluarga Ibu Situmorang menentang penebangan pohon tersebut karena mereka sangat menyadari penebangan pohon di atas sangat membahayakan penduduk yang ada di bawah bukit. Orang tua mereka bersama para tetua adat di desa mereka sejak tahun 1979 menjaga hutan tersebut, menanaminya dengan pinus. Bahkan, dulu ketika hutan pinus itu terbakar, mereka menanaminya kembali. Sehingga, mereka tidak terima, jika apa yang dijaga oleh orangtua mereka dulu dirusak seenaknya oleh pihak lain.
Dari diskusi kami dengan ibu Situmorang, dia berharap ada tindakan tegas dari pihak berwajib terhadap para cukong kayu, supaya ada efek jera bagi pelaku pengrusakan lingkungan. Jika tidak ada tindakan tegas dari kepolisian. Sebenarnya tidak ada alasan bagi polisi membiarkan para cukong kayu tersebut bebas, dan melepaskan truk dan alat-alat berat mereka, karena baik Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Samosir dan KPH Dolok Sanggul mengatakan bahwa tidak ada izin penebangan pohon tersebut. Dugaannya juga, kayu-kayu tersebut dibawa ke Siantar tanpa ada Surat Angkutan Kayu Rakyat (SAKR).
Kejadian di atas hanya sebagian kecil dari ragam peristiwa penebangan hutan baik di Kawasan Hutan maupun di APL yang dilakukan oleh perusahaan dan juga para cukong kayu. Para pemilik modal itu hanya mementingkan keuntungan semata tanpa perduli dampak yang akan ditimbulkannya kedepan kepada masyarakat sekitar dan keberlanjutan bumi ini.
Anehnya lagi, masih banyak orang yang diam saja atau membiarkan para cukong kayu merusak hutan. Bahkan ketika ada pihak yang lantang bersuara dihujat dan kerap mendapat intimidasi. Harusnya, masyarakat yang mau bersuara menentang para perusahaan perusak hutan dan cukong-cukong kayu didukung, karena mereka tidak sedang mementingkan kepentingan diri mereka sendiri, mereka sedang menjaga hutan yang banyak manfaatnya bagi hidup kita.
Ayo, selamatkan hutan kita, untuk bumi yang lebih baik. Tindak tegas para perusahaan perusak lingkungan dan cukong-cukong kayu.***